Wakil Ketua Komisi VI DPR (2017-2019), Inas N Zubir menilai Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020 hanyak menjadikan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai sapi perah untuk mensubsidi industri tertentu
Karena itu, ia pun mempertanyakan kenapa pemerintah tidak berani menurunkan harga gas dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Namun, malah sebaliknya rela mengurangi bagi hasil negara (PNBP) dan menekan biaya transmisi dan distribusi yang notabene sekitar 90 persen dimiliki PGN.
Baca Juga: Ya Tuhan, Keuangan PGN Makin Ambles Gara-garanya...
Baca Juga: Mantap! Bangun Infrastruktur Gas, PGN Bangun 8 Klaster LNG
"Permen ESDM ini menjadikan PGN sebagai sapi perah untuk menyusui industri yang menjadi anak emas oleh Permen tersebut. Kok pemerintah nggak bisa negosiasi dengan KKKS yang kebanyakan pihak asing," tutur Inas saat diskusi pada Ruang Anak Muda, Sabtu (18/7/2020).
Lanjutnya, ia memastikan dengan ketentuan harga gas USD 6 per millions british thermal units (MMBTU) di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) sebagaimana ketetapan Permen ESDM No 8 Tahun 2020, PGN akan mengalami kerugian lantaran harga yang diterima PGN rata-rata di atas USD 6 per MMBTU.
"Kita tinjau harga gas yang dibeli PGN sebenarnya sudah tinggi. Misalkan di Jawa Barat, PGN membayar USD 5,5 hingga USD 6,9. Cirebon, PGN harus membayar USD 6,7 hingga USD 6,9. Batam USD 5,6 hingga USD 6,3. Pekan Baru USD 7,9 hingga USD 8,4. Dumai USD 6,5 hingga USD 7,5. Medan USD 7,5 hingga USD 8,7. Jatim USD 7,3 hingga USD 7,4. Artinya harga Permen ESDM di bawah harga beli PGN," tuturnya.
Selain itu, Permen ESDM No 8 Tahun 2020 akan berimbas pada perlambatan serapan gas domestik lantaran investasi pada infrastruktur gas tidak mencapai keekonomian dan tidak menarik.
"Kemudian jangan harap akan adanya pertumbuhan pembangunan infrastruktur pipa distribusi dan transmisi nasional kalau begini caranya. Tentu serapan gas domestik juga akan mengalami perlambatan," kata Inas.
Jauh daripada itu, ia mengkhawatirkan pipa gas transmisi dan distribusi saat ini yang sebagian besar dimiliki PGN dan anak usahanya sebagai badan usaha penyalur, akan mengalami kerusakan lantaran pendapatan tidak mampu menutupi biaya operasional dan biaya perawatan aset.
"Jangan sampai PGN dan anak usahanya tidak mampu melakukan operation dan maintenance asset tersebut, yang akhirnya menjadi mimpi buruk karena pipa akan mengalami kerusakan secara masif," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil