Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pemerintah dan BI Berbagi Beban, Tuai Pro dan Kontra di Pasar

        Pemerintah dan BI Berbagi Beban, Tuai Pro dan Kontra di Pasar Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Selama bulan Juli, para pelaku pasar disuguhkan dengan dua langkah penting kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Pertama, pada awal bulan, keduanya menyepakati skema berbagi beban (burden sharing) untuk pembiayaan dana penanganan dan pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Kedua, BI melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, memutuskan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 4%.

        PT Bahana TCW Investment Management sebagai salah satu anak perusahaan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) yang merupakan Holding perasuransian dan penjaminan menilai skema burden sharing antara Pemerintah dan BI memiliki pro dan kontra dari market.

        Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengungkapkan bila Indonesia memang menghadapi situasi darurat dan pelik. Posisi neraca berjalan yang defisit dan terbatasnya dana dalam perbankan Indonesia, memunculkan tantangan berat untuk pembiayaan defisit ABPN 6,3% GDP untuk bertahan menghadapi Pandemi.

        "Tidak hanya terkait kepada keterbatasan kapasitas investor domestik menyerap emisi SBN, tetapi juga daya tahan fiskal yang penting untuk memacu pertumbuhan di kemudian hari. Sebelum wabah COVID-19, sekitar 12% belanja negara dialokasikan untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok. Kini angka itu berisiko melonjak menjadi 17% belanja negara”, ungkapnya dalam keeterangan resmi di Jakarta, Selasa (21/7/2020).

        Baca Juga: Pemerintah dan BI Kembali Sepakati Burden Sharing Pembiayaan APBN

        Budi menilai burden sharing mengurangi supply risk SBN terutama di pasar obligasi domestik. Memang betul, investor asing kini sedang menyikapi dampak pembelian SBN oleh BI terhadap rupiah, terutama setelah BI kembali memangkas bunga.

        Sebagai info, BI akan sepenuhnya menyerap SBN yang dikeluarkan Pemerintah yang ditujukan untuk belanja publik. Belanja untuk manfaat publik ini sebesar Rp 397,56 triliun, meliputi belanja kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, dan sektoral kementerian, lembaga dan pemda Rp 106,11 triliun.

        Sementara untuk belanja barang non publik, BI akan bertindak sebagai stand by buyer melalui penerbitan SBN dengan mekanisme pasar sesuai kesepakatan pada UU nomor 2/2020. BI akan memperoleh bunga sebesar reverse repo rate dikurangi 1%. Belanja non publik ini meliputi bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun dan pembiayaan korporasi non-UMKM Rp 53,57 triliun.

        Budi menilai tekanan terhadap rupiah sebulan terakhir bersifat temporer bila mencermati lonjakan harga emas yang berlawanan dengan pelemahan indeks dollar global (DXY) sementara penurunan suku bunga global LIBOR pada batas terendah dalam sejarah jelas menunjukkan terjadi kelebihan likuiditas.

        Baca Juga: Ini Alasan Pasar Obligasi Indonesia Masih Menarik!

        Selain faktor eksternal pelemahan dollar, potensi penguatan rupiah hingga ke level 13.930 pada akhir tahun dimungkinkan oleh faktor internal penurunan defisit neraca berjalan yang selaras dengan perlambatan ekonomi. Isyarat perlambatan ekonomi Indonesia diperlihatkan oleh surplus neraca dagang Indonesia dua bulan berturut-turut, yakni USD 2,1 milyar (Mei 2020) dan USD 1,27 milyar (Juni 2020). BI dilansir memproyeksikan defisit neraca berjalan (current account deficit, CAD) pada kisaran 1,5% GDP pada akhir tahun 2020.

        Budi menyakini pada akhirnya investor asing akan kembali melirik SBN mengingat imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi dibanding negara lain. Terkait keputusan BI untuk kembali memangkas bunga kebijakan, Budi menilai cukup beralasan mengingat laju penyaluran kredit terbukti sangat lemah sementara suku bunga saat ini masih melebihi proyeksi inflasi yang ditaksir sekitar 3,35% pada tahun 2020.

        “Menyikapi dampak ekspansi moneter sejak krisis keuangan global 2008 yang tidak memacu inflasi, saya tidak terlalu kuatir terhadap dampak inflasi akibat penciptaan uang oleh Bank Indonesia. Semakin nyata bahwa inflasi lebih terkait realitas globalisasi seperti akibat kelebihan kapasitas produksi negara lain yang kita impor, termasuk penurunan harga energi. Sementara kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang lebih gegas sejatinya mencerminkan determinasi Pemerintah untuk melakukan reformasi struktural. Setelah pemerintah dan BI menuntaskan immediate challenge untuk survival, investor selanjutnya mengharapkan keberanian menempuh terobosan untuk revival this country,” kata Budi.

        Budi berharap pemerintah pada semester kedua 2020 ini mempercepat realisasi penyerapan stimulus baik untuk sektor kesehatan, bantuan sosial, penguatan UMKM dan korporasi agar roda perekonomian mulai bergerak. Percepatan stimulus ini sangat penting bagi keberlangsungan perusahaan dan kemauan perbankan untuk kembali menyalurkan kredit.


        “Kami memantau laju pertumbuhan M1 (uang kartal dan uang kiral) berbagai negara. Secara historis, pertumbuhan M1 pada Mei 2020 yang sebesar 9,65% memang terbilang tinggi. Namun, bila dibandingkan negara berkembang lainnya terbilang kurang impresif. Percepatan stimulus yang memperkuat daya beli dan penurunan yield SBN meningkatkan valuasi dan dengan demikian, peluang kenaikan harga saham,” simpul Budi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: