China Klaim Sukses Kendalikan Laut China Selatan, Benarkah?
Pekan lalu kapal-kapal perang Australia dan China sempat berhadap-hadapan di Laut China Selatan. Apakah terjadi konfrontasi atau hanya kontak rutin yang tak direncanakan?
Ada berbagai versi di lingkungan Departemen Pertahanan Australia tentang seberapa serius kontak kedua kekuatan maritim, Royal Australian Navy (RAN) dengan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA-N).
Baca Juga: Terungkap, Militer China Diperintah buat Habisi Pasukan AS di LCS
Pada hari Kamis (23/7/2020), ABC melaporkan bahwa Satuan Tugas Gabungan Angkatan Bersenjata Australia telah melintasi perairan yang dipersengketakan, dalam perjalanan ke Laut Filipina untuk mengikuti latihan bersama Angkatan Laut AS dan Jepang.
Departemen Pertahanan Australia belum memberikan penjelasan resmi apakah lima kapal perang Australia berinteraksi dengan kapal perang China.
Mereka hanya menyatakan "interaksi yang tak direncanakan dengan kapal perang asing selama pelayaran telah dilakukan secara aman dan profesional".
Menurut sumber ABC, pihak China bertindak "sangat sopan" ketika memperingatkan bahwa kapal-kapal Australia akan mendekati Kepulauan Spratly yang kini dijaga oleh China.
Bukan yang pertama kalinya
Kejadian ini bukan yang pertama bagi kapal-kapal perang Australia melakukan kontak dengan militer China di kawasan itu.
Tapi kontak kali ini terjadi di saat meningkatnya ketegangan diplomatik antara Australia dan China yang notabene merupakan mitra ekonomi terbesarnya.
Hubungan Australia dengan China memang sudah bermasalah dan kini semakin meningkat, karena secara resmi mendukung posisi Amerika Serikat yang menyatakan klaim teritorial Beijing di Laut China Selatan itu ilegal.
Dalam sebuah surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, Australia menolak klaim Pemerintah China atas pulau-pulau di jalur perdagangan penting dengan menyebutnya "tidak sejalan" dengan hukum internasional.
Pakar hukum internasional dari Australian National University, Profesor Donald Rothwell menilai langkah ini akan memicu kemarahan Beijing.
"Yang menarik dicermati apakah China akan mengambil posisi lebih tegas yaitu secara fisik menantang kapal-kapal perang Australia ketika melewati Laut China Selatan," ujar Prof Rothwell kepada ABC.
Baca Juga: Kemarin LCS, Kini China Lagi Cari Gara-Gara di Sungai Mekong
Richard McGregor, pengamat dari Lowy Institute, mengatakan pertaruhan di koridor strategis dan termiliterisasi itu sudah sangat tinggi.
"Kita bisa pastikan kapan pun kapal-kapal Australia berada di Laut China Selatan, mereka akan dilacak oleh China," katanya.
"Saya kira konfrontasi bukan kata yang tepat. Tapi mereka akan dikontak, akan ditanya apa yang mereka lakukan di sana dan diminta menjelaskan diri mereka," jelasnya.
Kebebasan pelayaran
Selama beberapa tahun terakhir, para pejabat Dephan Australia semakin gugup menyaksikan Beijing yang terus membangun persenjataan dan landasan pacu di pulau-pulau yang dipersengketakan, termasuk membangun pos-pos untuk keperluan militer.
Berbeda dengan Amerika Serikat, Australia tidak melakukan Operasi Kebebasan Pelayaran (Freedom of Navigation Operations atau FONOPS) dalam menantang klaim teritorial di Laut China Selatan.
Royal Australian Navy atau RAN tetap berhati-hati untuk berada di luar batas 12 mil laut yang diberlakukan di sekitar wilayah yang diklaim oleh China.
Namun Australia tetap menegaskan hak atas kebebasan pelayaran dan penerbangan di wilayah tersebut dengan secara teratur menerbangkan pesawat dan berlayar melalui perairan itu.
Selasa pekan lalu, ketika kapal perang HMAS Canberra dan empat kapal perang Australia lainnya melakukan latihan militer di Laut Filipina, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Mark Esper menyatakan operasi kebebasan pelayaran untuk menantang China akan terus berlanjut.
"Kami ingin melakukan pencegahan terhadap perilaku memaksa yang dilakukan China di Laut Cina Selatan," kata Menhan AS Mark Esper.
"Saya khawatir bila Amerika Serikat dan mitranya fokus saling mendukung dalam masa-masa sulit ini, Partai Komunis China justru terlibat dalam pelanggaran aturan sistematis, paksaan, dan kegiatan merusak lainnya."
Bukannya memperlambat aktivitas China, pandemi COVID-19 justru berdampak memberikan perlindungan bagi militer China dalam mempercepat ekspansi wilayahnya di kawasan itu.
Pemegang kendali kawasan
Saat ini Australia dan negara-negara kawasan telah menerima fakta jika Beijing pada dasarnya memegang kendali militer atas Laut China Selatan, dan upaya menantang kewenangan mereka justru dapat memperkuat pandangan ini.
Menhan AS Mark Esper memperingatkan negaranya akan terus melakukan FONOPS yang bertentangan dengan klaim teritorial Beijing.
"Pada tahun 2019 kami menggelar Operasi Kebebasan Pelayaran terbesar di Laut China Selatan dalam 40 tahun program FONOPS. Kami akan tetap melakukannya tahun ini," tegasnya.
Bukan rahasia lagi di Canberra bila Amerika menginginkan Australia untuk menggelar FONOPS juga, meski hal itu tidak menjadi agenda pemerintah federal.
Sebaliknya ADF berkomitmen membangun kemitraan regional dan berharap bahwa Australia akan diundang kembali dengan latihan militer Malabar yang melibatkan AS, India dan Jepang.
Kalangan pejabat menyebutkan adanya tanda-tanda positif mengenai hal ini. Meskipun latihan yang disebut "Quad" secara simultan digelar oleh AS dengan Australia dan Jepang dan secara terpisah dengan India.
Kini perhatian dunia beralih ke seberapa cepat Beijing bisa membangun Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) atas wilayah yang dipersengketakan, untuk memantau dan mengendalikan pesawat asing.
Laporan dari China menyebutkan perencanaan untuk ADIZ di perairan itu sudah matang, mirip dengan yang diumumkan Beijing untuk Laut China Timur pada 2010, dan diterapkan pada 2013.
Sementara itu, kehadiran Angkatan Laut AS di wilayah semakin dikhawatirkan akan meningkatkan ketegangan yang dapat memicu konflik fisik.
"Secara umum kemungkinan meletusnya konflik di Laut China Selatan kian meningkat," kata Richard McGregor.
Bila dua negara adikuasa berhadap-hadapan di kawasan ini, Angkatan Bersenjata Australia sangat menyadari kesalahan sekecil apapun dapat memiliki konsekuensi yang sangat besar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto