Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Fakta-fakta Ini Dinilai Pemicu Perang Pasifik AS-China, Apa Saja?

        Fakta-fakta Ini Dinilai Pemicu Perang Pasifik AS-China, Apa Saja? Kredit Foto: Wikimedia Commons
        Warta Ekonomi, Washington -

        Sebuah fakta diungkap oleh lembaga Inisiatif Penyelidikan Situasi Strategis Laut China Selatan (SCSPI), yang berbasis di China. Dalam sejumlah data yang dirangkum, terkuak bukti-bukti aksi ilegal militer Amerika Serikat (AS) yang kerap menerobos wilayah China.

        Dalam berita sebelumnya, SCSPI membeberkan data yang membuktikan bahwa militer Amerika sudah melakukan pengintaian terhadap aktivitas Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) lebih dari 10 tahun. Tercatat, militer Amerika sudah ribuan kali melakukan aksi mata-mata lewat udara dengan mengerahkan pesawat-pesawat intai.

        Baca Juga: AS dalam Bahaya, Ribuan Aksi Mata-mata Militer Ketahuan China

        Tak hanya itu, dalam kurun waktu tiga bulan terakhir aksi pengintaian militer Amerika semakin menigkat. Menurut laporan Global Times, militer Amerika sudah melakukan 151 kali aksi mata-mata lewat udara, terhitung sejak Mei 2020.

        Ternyata, SCSPI juga mengungkap data pada Juli 2020 lalu pesawat intai militer Amerika menerobos wilayah China. Pengintaian ini bahkan dilakukan saat Tentara Pembebasan Rakyat China tengah menggelar latihan tempur mulai 1-5 Juli 2020.

        SCSPI menyebut, pesawat intai Amerika itu memasuki wilayah China secara ilegal dengan jarak hanya 40 mil, atau 64,4 kilometer dari pangkalan militer Amerika. Jarak ini adalah yang terdekat dalam operasi pengintaian militer Amerika di wilayah China.

        Sejumlah aksi Amerika ini jelas mengkhawatirkan. Dalam kacamata Hu Bo, Direktur SCSPI, operasi mata-mata militer Amerika ini semakin meningkatkan risko gesekan yang bisa berujung konflik horizontal alias perang. Menurut Hu, ada tiga risiko yang bisa menjadi pemicu perang antara Amerika dan China.

        Yang pertama, Hu menyebut kapal-kapal perang sering masuk tanpa izin ke perairan China dalam jarak 12 mil (19,3 kilometer) dari Kepulauan Nansha, atau lebih dikenal sebagai Kepulauan Spratly.  Armada tempur laut Amerika menganggap bahwa Kepulauan Spratly tidak termasuk wilayah China.

        Dengan keyakinan itu, militer Amerika merasa jika aksinya tidak melanggar hukum internasional. Hingga saat ini, wilayah Kepulauan Spratly disengketakan oleh China dengan lima negara lainnya yakni, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.

        Poin kedua juga masih dari risiko pengintaian militer Amerika yang terlalu dekat. Hu sedikit berkaca, saat pesawat intai Angkatan Laut Amerika (US Navy) EP-3E ARIES II bertabrakan dengan jet tempur Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAAF) J-8II. Jika sampai peristiwa serupa terjadi, bukan tak mungkin perang antar kedua negara bakal meletus.

        Yang ketiga, dengan meningkatkatnya ketegangan baik militer China maupun Amerika sama-sama akan sering menggelar latihan tempur.

        Pengintaian dan pemantauan tentu akan jadi materi wajib yang masuk dalam timeline latihan tempur. Akan tetapi jika tidak saling menjaga jarak maka gesekan pun tidak akan terhindarkan.

        Kembali berkaca pada sebuah insiden yang terjadi pada 2013, saat armada tempur Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAN) yang diperkuat kapal induk Liaoning, melangsungkan latihan di Laut China Selatan.

        Secara tiba-tiba, kapal penjelajah Angkatan Laut Amerika, USS Copwens, melakukan manuver berbahaya dan memotong jalur armada laut China. Tak ada jalan lain, kapal-kapal perang China memaksa USS Copwens untuk berhenti dengan ancaman dengan hanya berjarak 50 meter.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: