Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Di Belanda, Masker Bukan Senjata Utama Lawan Corona tapi...

        Di Belanda, Masker Bukan Senjata Utama Lawan Corona tapi... Kredit Foto: Reuters/Eva Plevier
        Warta Ekonomi, Amsterdam -

        Mayoritas negara menganggap, memakai masker jadi tindakan efektif mencegah penyebaran Covid-19. Tapi, itu tidak terjadi di Belanda. 

        Sehari-hari, pemandangan di Amsterdam, Belanda seperti tak beda dari sebelum corona datang menghantam. Warga hilir mudik di jalanan. Sebagian dari mereka asik nongkrong di kafe. Beberapa yang lain, tampak sedang bercukur di tempat pangkas rambut. 

        Baca Juga: Lewat Doodle, Google Minta Pengguna Pakai Masker

        Hal yang bisa bikin kening kita berkerut mungkin, tak ada satu pun dari mereka yang memakai masker. 

        Alasannya, tidak ada rekomendasi dari pakar di negara itu. Soalnya, dari data dan penelitian dilakukan, para pakar  menemukan, tak ada bukti kuat masker dapat mencegah penularan. Meski mereka mengakui, tidak mengenakan masker bisa menghambat perang melawan wabah.

        “Dari semua bukti, masker tidak diperlukan. Tidak bermanfaat. Malah, mungkin bisa berdampak negatif,” ucap kata Coen Berends, juru bicara Institut Nasional untuk Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan Belanda, dikutip Daily Mail.

        Sikap yang berani. Meski mengundang kontroversi. Terutama di tengah ancaman gelombang kedua wabah Covid-19 di Eropa. Sebelumnya, Inggris telah setuju pada gerakan protokol kesehatan. Terutama di tempat umum. Bersama Skotlandia, Spanyol dan Prancis, serta dua negara tetangga Belanda, Belgia dan Jerman.

        “Masker penting untuk mencegah penyebaran droplet via udara,” kata Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.

        Tapi Belanda tidak setuju. Bahkan, warga Belanda mengaku sangat tidak nyaman saat memakai masker. Seperti yang dikatakan Aicha Meziati. Menurutnya, orang-orang yang memakai masker, seperti meletakkan popok di wajah mereka.

        “Aku tidak suka memakainya. Terlihat mengerikan,” ucap Meziati.

        Baca Juga: Kisah Pemuda AS yang Abaikan Masker, Kini Kena Covid-19

        Margriet, karyawan di toko minuman menyebut, sulit membaca ekspresi wajah seseorang saat mereka memakai masker. Kata dia, berkomunikasi bisa lebih mudah tanpa menggunakan masker. Terutama bagi orang-orang yang belanja di tokonya.

        Tim Manajemen Wabah, yang jadi penasehat pemerintah Belanda menjelaskan, ada tiga hal yang lebih penting dilakukan daripada masker. Dan, terbukti mengurangi tingkat penyebaran jika dibandingkan dengan di Inggris. Tiga hal itu adalah, mencuci tangan secara teratur, menjaga jarak fisik minimal 1,5 meter, dan tidak keluar rumah saat sakit.

        Satu-satunya pengecualian dalam pemakaian masker adalah saat berada di transportasi umum. Dimana menjaga jarak jadi lebih sulit.

        “Kami melihat pendekatan ini berhasil. Masker bukanlah senjata utama penangkal penyebaran,” kata Christian Hoebe, profesor penyakit menular di Maastricht dan anggota tim penasihat.

        Hoebe, yang juga kepala pengendalian penyakit menular di Zuid-Limburg, wilayah yang paling terdampak saat pandemi melanda Belanda, merujuk sebuah studi di Norwegia. Di mana 200 ribu orang harus memakai masker bedah selama satu minggu untuk menghentikan satu kasus Covid-19.

        Sayangnya, hanya sedikit yang memiliki masker medis. Sementara di Inggris, saat para pasien dirawat dengan benar oleh  layanan kesehatan pemerintah, orang-orang malah melakukan yang salah. Terutama saat memasang dan membuka masker. 

        Hoebe menambahkan, dirinya baru saja berkunjung ke Belgia. Dia mengaku melihat sendiri bagaimana orang-orang salah memakai masker. Ada yang memakai di bawah hidung, terbalik atau di bawah dagu. Sedangkan yang lain, malah memasukkannya ke kantong.

        “Efektivitasnya tergantung pada bahan yang tepat dan masker juga harus dipakai sangat dekat dengan hidung,” terangnya.

        Hasil studi salah satu spesialis di Universitas Eindhoven menemukan bahwa partikel virus SARS-Cov2 penyebab Covid-19, bisa terjebak di lapisan elektrostatik dalam masker medis. Dan dapat menembus pori-pori seperti yang ditemukan di kapas dan bahkan penyedot debu.

        Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sebenarnya skeptis. Bahkan, mereka memperingatkan, penggunaan masker secara luas oleh orang sehat di lingkungan masyarakat belum didukung bukti ilmiah langsung. Meski akhirnya organisasi itu mengubah rekomendasinya pada Juni lalu. Dan meminta orang sehat pun memakai masker.

        Baca Juga: WHO: Ingat Covid-19 Tak Bisa Disamakan dengan Influenza

        Seperti di beberapa negara Eropa lainnya, Belanda juga mengalami peningkatan infeksi beberapa pekan terakhir. Tercatat ada 1.329 kasus selama dua pekan terakhir. Dan jumlah yang dirawat dan yang meninggal pun cukup tinggi. Saat ini tercatat ada 6.147 kematian akibat Covid-19.

        Namun, tim penasehat kabinet mengatakan, kenaikan itu karena warga yang berkumpul dalam pertemuan keluarga atau pesta. Dimana bisa dipastikan, mereka melepas masker dan melanggar beberapa peraturan soal pertemuan di tempat umum. 

        Klaster lainnya datang dari sebuah bar di Hillegom, dekat Amsterdam. Sebelumnya pemilik bar bilang, bahwa pelanggan bisa duduk berdekatan, berjabat tangan dan berpelukan. Dia yakin,  virus itu tidak aktif. Bahkan, sesumbar di Facebook. Hingga akhirnya mereka salah. Dan ditemukan 39 kasus positif dari klaster itu.

        Belanda yang berpenduduk 17 juta orang, tak melakukan karantina wilayah atauu lockdown total saat puncak wabah. Negeri Kincir Angin lebih mengandalkan kesadaran warganya, alih-alih melakukan pembatasan ketat.

        Meskipun dalam jajak pendapat baru-baru ini menyebutkan dukungan pemakaian masker di tempat umum dan ruangan tertutup, ternyata sebagian warganya tak juga mematuhinya. “Saya lebih suka orang bisa memutuskan sendiri," kata Jesus Garcia, pemilik pangkas rambut di Amsterdam.

        Dia mengaku memakai masker saat pergi ke Spanyol. Dan menurutnya itu tidak benar-benar membantu. Karena, cara pakai yang salah. Atau orang-orang malah meletakkannya di dalam saku. 

        “Saya tidak merasa itu benar-benar membantu karena orang-orang memakai mereka semua salah, meletakkannya di saku mereka, menempatkan mereka di bawah hidung mereka. Dan menurutnya, itu tidak sesuai dengan tujuan pemakaian masker.

        Walikota Amsterdam dan Rotterdam, dua kota terbesar di negara itu, telah mendesak agar masyarakat memakai masker. Terutama di keramaian.

        Wali Kota Amsterdam Femke Halsema, mengaku khwatir, wisatawan dan pemuda membuat kota itu terlalu ramai. Dan dia meminta orang berusia 13 tahun wajib memakai masker. Terutama di kawasan terkenal Red Light District dan pusat-pusat perbelanjaan populer.

        Di sisi lain, wisatawan yang berasal dari negara zona merah wabah seperti Italia, justru merasa aneh saat tiba di Belanda. Michaele Muller salah satunya. Dia merasa heran saat menyeberangi perbatasan Belanda dan tak melihat orang-orang tak memakai masker.

        “Kami memakainya selama lima bulan. Dan kami  melewati Swiss dan Jerman, dimana tiap orang memakai masker. Lalu kami sampai di Belanda dan tidak ada yang memakainya,” ujar Muller.

        Jenny White, asal Inggris, juga merasa aneh. Dia menilai, kehidupan di Belanda terasa lebih normal. Orang-orang seperti sudah melupakan wabah tersebut. “Rasanya sangat berbeda dari Inggris," kata White. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: