Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Perangi Black Campaign Sawit? Ini Strateginya!

        Perangi Black Campaign Sawit? Ini Strateginya! Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Mengingat potensinya yang besar, tak ayal kelapa sawit dimusuhi oleh sejumlah stakeholders, lembaga, bahkan negara yang antisawit. Motivasi pihak-pihak ini untuk mengkambinghitamkan kelapa sawit tidak jauh dari ketakutan akan ancaman besar yang diberikan sawit terhadap komoditas minyak nabati lain.

        Sengitnya persaingan dagang memunculkan berbagai isu, mulai dari deforestasi, pengelolaan lahan gambut, bahkan hak asasi manusia (HAM). Isu-isu tersebut digulirkan sebagai amunisi untuk menjatuhkan industri kelapa sawit, baik di pasar domestik maupun global.

        Beberapa dekade terakhir, industri perkebunan kelapa sawit mendapatkan perlakuan tidak adil dari pihak antisawit. Isu lingkungan terutama deforestasi seolah menjadi topik abadi yang terus disuarakan oleh pihak antisawit tersebut untuk menghambat perdagangan minyak kelapa sawit dan produk turunannya di pasar domestik dan global.

        Baca Juga: Emisi GRK Industri Sawit? Ini Teknologi Jawabannya

        Baca Juga: Dari Sawit: Tidak Ada Kata Setop untuk Daulat Energi!

        Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Prof Yanto Santosa merangkum beberapa tudingan terkait deforestasi di Indonesia yang disebabkan pengembangan perkebunan sawit dari berbagai sumber.

        Mengacu pada laman Palm Oil Indonesia, beberapa tudingan terkait deforestasi Indonesia yang disuarakan di antaranya, (1) minimal 56 persen kebun sawit Indonesia berasal dari hutan seluas 1,7 juta hektare (Koh dan Wilcove, 2008); (2) perkebunan kelapa sawit menyebabkan 1 juta hektare deforestasi di wilayah Kalimantan, Sumatera, Papua, Sulawesi, dan Maluku selama periode 2000–2010; (3) industri perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama deforestasi di Indonesia (Greenpeace, 2008, 2015, 2017, 2018, dan 2019).

        Melihat fenomena tersebut, Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno menganalogikan black campaign sawit seperti permainan bola. Belum selesai satu isu, isu yang lain sudah dipersiapkan di depan mata. Alhasil, pemain sulit mencetak gol karena gawang selalu dipindah-pindahkan.

        Dalam pandangannya, upaya melawan kampanye negatif dari LSM antisawit maupun Uni Eropa ini bersifat long-fight. Indonesia membutuhkan strategi yang jelas untuk melakukan white campaign sawit, tidak hanya cukup dengan bersikap reaktif, tetapi juga harus proaktif, ofensif, dan smartly aggressive.

        Menurut Arif Havas, Indonesia membutuhkan strategi berkesinambungan dan terstruktur dalam menghadapi permainan panjang yang terus menekan industri kelapa sawit, seperti dari segi keberlanjutan, kesehatan, teknologi, sertifikasi, dan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).

        Arif menambahkan, pemerintah dan pengusaha perlu meningkatkan studi mengenai keberlanjutan sawit untuk mencegah terjadinya kekeliruan persepsi pasar tentang produk sawit. Sebab, masih banyak negara yang memandang negatif sawit, baik dari segi lingkungan maupun kesehatan.

        Strategi tersebut perlu diiringi dengan peningkatan relasi dengan berbagai mitra, seperti ilmuwan, asosiasi petani sawit di Uni Eropa, sekolah, hingga pengelola kebun binatang. Sekolah hingga kebun binatang di Uni Eropa, menurutnya, dua sektor yang masih luput dari target kampanye sawit.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: