Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pemerintah Harus Dorong Percepatan Belanja Negara

        Pemerintah Harus Dorong Percepatan Belanja Negara Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Pemerintah perlu mendorong percepatan belanja negara, mengingat per 31 Juli 2020, belanja negara telah terserap 45,7 persen atau sekitar Rp1.252,4 triliun dari total belanja sebesar Rp2.739,2 triliun.

        Di tengah pandemi, belanja Pemerintah sangatlah diperlukan untuk mendorong permintaan bagi UMKM. Sehingga, percepatan belanja tidak hanya untuk mendorong serapan anggaran, tapi juga diarahkan menjadi belanja berkualitas yang memberikan trickle-down effect terhadap pemulihan daya beli dan kapasitas usaha masyarakat. Belanja juga dapat didorong dengan mengutamakan terlibatnya pelaku UMKM dalam pengadaan belanja pemerintah.

        Demikian diungkapkan Anggota DPR RI Komisi XI, Putri Komarudin dalam webinar bertema "Peran OJK dalam Pemulihan Ekonomi dan Ketahanan Sektor Jasa Keuangan," Kami (27/8/20).

        Baca Juga: Potensi UMKM Bersama Sawit: Terbuka

        Baca Juga: Dongkrak Ekonomi Nasional, Dompet Dhuafa Ajak UMKM Bangkit

        Hadir sebagai nara sumber dalam seminar virtual tersebut antara lain Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jabar/ Dosen Unpad, Aldrin Herwani dan Praktisi Pasar Modal/Dosen FEB  Unpad, Erman Sumirat.

        Putri mengungkapkan pemerintah juga perlu mengakselerasi serapan anggaran Program Percepatan Ekonomi Nasional (PEN) dimasa AKB. Berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga 19 Agustus 2020, serapan PEN masih berada pada posisi 25,1 persen atau senilai Rp174,79 triliun. 

        Dengan rincian belanja kesehatan Rp7,36 triliun,perlindungan sosial Rp93,18 triliun, sektoral dan pemda Rp12,4 T triliun, insentif usaha Rp17,23 triliun, dukungan UMKM Rp44,63 triliun serta pembiayaan korporasi yang masih dalam proses finalisasi. 

        "Yang perlu diperhatikan adalah agar penyaluran berbagai stimulus ini diarahkan secara tepat sasaran dan tepat manfaat, sehingga dapat mencegah kontraksi lanjutan atas daya beli masyarakat," ungkapnya.

        Selama ini masih ditemukan permasalahan lapangan seperti target error maupun overlapping. Aspek monitoring dan evaluasi secara berkala pun perlu terus ditingkatkan, terutama yang berkaitan dengan akurasi data dan perbaikan mekanisme penyaluran sehingga manfaatnya tepat sasaran. Langkah percepatan ini tentunya tetap harus dilakukan seefektif mungkin dan akuntabel.

        Sedangkan untuk menjaga kinerja UMKM, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur mengenai restrukturisasi kredit bagi debitur terdampak. Ketentuan ini juga memberikan keleluasaan untuk perbankan/perusahaan pembiayaan karena mendapatkan insentif untuk tidak membentuk pencadangan, apabila kredit telah direstrukturisasi dalam kategori lancar.

        Hingga 10 Agustus 2020, OJK mencatat restrukturisasi kredit perbankan terhadap debitur terdampak pandemi COVID-19 mencapai Rp837,64 triliun yang berasal dari 7,18 juta debitur dari 100 bank dengan realisasi restrukturisasi kredit bagi debitur segmen UMKM disalurkan kepada 5,73 debitur dengan nilai sebesar Rp353,17 triliun. Sedangkan restrukturisasi bagi debitur non-UMKM disalurkan kepada 1,44 juta debitur dengan nilai mencapai Rp484,47 triliun.

        Sementara, realisasi restrukturisasi perusahaan pembiayaan tercatat sebesar Rp162,34 triliun dengan jumlah kontrak 4,33 juta debitur dari total 4,95 juta kontrak restrukturisasi yang berasal dari 182 perusahaan pembiayaan hingga 19 Agustus 2020.

        "Saya meminta OJK dan Lembaga Jasa Keuangan untuk meningkatkan edukasi terkait relaksasi kredit sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat," ujarnya.

        Selain itu, pengawasan di lapangan perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi penyalahgunaan penagihan angsuran, apalagi hingga melibatkan tindak kekerasan. Pemerintah dan OJK juga harus menyiapkan mekanisme pengaduan apabila ditemukan lembaga pembiayaan yang masih menagih dengan melibatkan debt collector.

        Putri menambahkan, Pemerintah juga telah melakukan penempatan uang negara kepada Bank Himbara senilai Rp30 triliun yang diharapkan meningkatkan leverage penyaluran kredit minimal tiga kali lipat atas dana yang ditempatkan. Untuk mendukung pemulihan sektor UMKM, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga/margin untuk kredit/pembiayaan UMKM dalam rangka PEN.

        Pada konteks pembangunan daerah, Pemerintah pun telah mengalokasi anggaran untuk Pemda melalui instrumen pinjaman daerah senilai Rp15 triliun sebagai bagian dari program PEN. 

        "Wabah pandemi jelas menekan kapasitas fiskal daerah dalam memenuhi sejumlah agenda prioritas seperti pembangunan infrastruktur dan konektivitas. Untuk itu, Pemerintah daerah juga dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan lain seperti melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk mendukung pembiayaan infrastruktur pelayanan publik yang krusial," jelasnya.

        Selain itu, Pemerintah juga menempatkan uang negara senilai Rp11,5 triliun kepada sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD) (Dengan rincian, Bank DKI (Rp2 triliun), BJB (Rp2,5 triliun), BPD Jateng (Rp2 triliun), BPD Jatim (Rp2 triliun), Bank SulutGo (Rp2 triliun), BPD Bali (Rp1 triliun), Bank DIY (Rp1 triliun). Ia menuturkan penempatan uang negara pada sejumlah Bank Daerah tentunya dapat menambah likuiditas seiring berkurangnya penempatan kas daerah akibat tekanan pendapatan daerah. 

        "Namun, Saya mengimbau agar Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta Bank Daerah untuk memastikan agar uang negara ini digunakan sepenuhnya untuk ekspansi kredit bagi debitur UMKM lokal sehingga dapat mendorong pemulihan ekonomi daerah. Di samping itu, saya juga meminta pemerintah dan pemda memastikan agar penyaluran kredit yang dilaksanakan menggunakan uang negara ini disertai dengan suku bunga yang rendah agar masyarakat dapat mengakses sumber dana murah tersebut untuk kembali menggerakan perekonomian," tuturnya.

        Saat ini baik DPR maupun Pemerintah beserta otoritas terkait tengah fokus untuk memaksimalkan pelaksanaan strategi-strategi tersebut, agar dapat menahan kontraksi  ekonomi yang diharapkan perlahan-lahan mulai membaik pada kuartal III dan IV nanti. Disamping itu, berbagai stimulus tersebut juga bertujuan untuk mengantisipasi dan menahan dampak resesi negara tetangga maupun ekonomi global. 

        Tidak hanya program ini berdampak luas pada kondisi masyarakat ketika pandemi, tetapi juga menggunakan anggaran negara yang luar biasa besar yang juga membutuhkan pertanggungjawaban berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku.  

        "Kami terus berusaha agar fungsi pengawasan DPR atas pelaksanaan program  PEN dan pemanfaatan APBN tahun ini dapat berlangsung dengan optimal dan menyeluruh," ungkapnya.

        Adapun, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jabar/ Dosen Unpad, Aldrin Herwani menambahkan langkah pemulihan ekonomi oleh pemerintah sebenarnya sudah sesuai. Namun, pemerintah harus lebih fokus pada sektor riil karena akan menggerakan sektor lainnya pasca Covid-19.

        "Kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berkahir, sehingga semua harus sinergis dalam pemulihan ekonomi dengan fokus pada sektor ril," ujarnya.

        Jika sektor riil kembali berjalan maka sektor jasa keuangan pun akan kembali menggeliat. Ia mengkhawatirkan NPL industri jasa keuangan akan melonjak tajam diakhir tahun 2020, jika sektor riil tidak kembali bergerak.

        "Kalau hasil hitungan saya, NPL bisa mencapai 7,5 persen diakhir tahun. Tapi semoga saja tidak. Disinilah perlu peran pengawasan yang lebih ketat dari OJK," imbuhnya.

        Dia menegaskan pengawasan yang dilakukan OJK sudah berjalan semestinya dan dimasa depan perlu memperluas kembali fungsi OJK, bukan malah mengurangi fungsi pengawasan, apalagi membubarkan OJK.

        "Ngawur kalau OJK harus bubar, dengan kondisi saat ini saja pengawasan masih ada yang lepas. Kedepan justru harus diperkuat, bisa dengan menambah orang atau membuat produk atau peraturan OJK yang lebih tegas dan transparan," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: