Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kisah Perusahaan Raksasa: Glencore, Tambang dengan Cuan $215 Juta

        Kisah Perusahaan Raksasa: Glencore, Tambang dengan Cuan $215 Juta Kredit Foto: Reuters/Arnd Wiegmann
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Banyak orang menyebut pandemi virus Covid-19 sebagai peristiwa "black swan event" atau peristiwa yang datang tiba-tiba. Pada gilirannya, dunia sangat tidak siap dengan dampak ekstrem yang ditimbulkan olehnya.

        Akhirnya, penurunan ekonomi global menjadi petunjuk tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, terutama pada berbagai sektor industri. Salah satunya pertambangan. 

        Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: McKesson, Suplier Obat Terbesar

        Industri pertambangan terjebak dalam gejolak. Krisis yang disebabkan Covid-19 terhadap industri pertambangan sejalan dengan keruntuhan ekonomi dunia. 

        Melemahnya industri pertambangan umumnya disebabkan oleh penurunan permintaan. Ketika pertumbuhan ekonomi melambat, aktivitas tambang-menambang secara umum ikut tersendat. Ujungnya sudah jelas, permintaan produk tambang turun sehingga menyebabkan jatuhnya harga.

        Akan tetapi untuk pertama kalinya, penurunan permintaan disertai dengan pergolakan di sisi penawaran yang signifikan. Dalam laporan The Conversation, tambang tetap dibuka di beberapa negara. Tetapi seperti di Peru, operasi penambangan sangat dibatasi sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengendalikan pandemi. Meski demikian, di lokasi tambang tertentu, virus Corona telah menyebabkan operasi tersebut ditutup.

        Untungnya, pandemi Covid-19 sama sekali tidak memengaruhi raksasa pertambangan dunia, Glencore, untuk tetap beroperasi. Raksasa ini merupakan perusahaan pertambangan terbesar yang memproduksi logam, mineral, dan energi, serta pertanian. Glencor berasal dari Inggris dan bermarkas di Baar, Swiss.

        Raksasa pertambangan yang bermarkas di Swiss itu mengalami tahun yang cukup menantang pada 2019, atau sebelum pandemi Covid-19 melanda. Perusahaan itu pada 2020 turun satu peringkat ke posisi 17 karena membukukan kerugian 404 juta dolar AS, menurut laporan Global 500 versi Fortune.

        Hal itu disebabkan karena melemahnya harga komoditas, terutama untuk batu bara. Perusahaan juga mengalami penurunan nilai sebesar 2,8 miliar dolar AS pada 2020, sebagian terkait dengan operasi penambangan tembaga di Republik Demokratik Kongo (RDK) dan Zambia.

        Sementara itu, Glencore terus dirundung oleh penyelidikan oleh regulator Amerika Serikat dan Inggris terhadap tuduhan penyuapan dan korupsi pada tahun yang sama. Namun sayangnya, semua tuduhan tersebut dibantah oleh perusahaan.

        Pada Januari 2020, Glencore dituding bekerja sama dengan kelompok kriminal oleh otoritas Swiss dalam operasinya di RDK. Terlepas dari proses hukum yang sedang berlangsung, saham perusahaan pertambangan tersebut melambung pada kuartal II, sejalan dengan lonjakan harga tembaga.

        Meski demikian, akibat mendapat laba minus 111,9 persen, raksasa Glencore hanya mampu mencatatkan pendapatan tahunan sebesar 215,1 juta dolar AS. Untuk nilai perusahaan di pasar mencapai 30,4 juta dolar AS.

        Seperti apa perjalanan panjang perusahaan raksasa pertambangan dunia, jika dilihat dari pendapatan tahunannya? Kali ini, Senin (31/8/2020), Warta Ekonomi berkesempatan mengulas kisah Glencore. Dikutip dan diolah dari berbagai sumber, kami sajikan perjalanan raksasa tambang itu ke dalam artikel sebagai berikut. 

        Semua bermula pada dekade 1970-an. Tepatnya ketika Marc Rich & Co. AG didirikan oleh Marc Rich pada 1974. Pria kelahiran Belgia itu pada masanya merupakan seorang miliarder komoditas perdagangan, khususnya tambang dan mineral. Kekayaannya didapat saat dia menghindari embargo minyak Arab untuk membeli minyak dari Iran dan Irak seharga 12 dolar AS per barel, pada tahun yang sama. Dari hasil penjualan itu Rich mendapat keuntungan besar yang didapat dari perusahaan-perusahaan AS.

        Setelah mendapat untung fantastis, perusahaan bentukan Rich berfokus pada pemasaran dan penjualan logam besi dan non-besi serta mineral dan minyak mentah. 

        Perjalanan perusahaan memasuki periode 1980-an. Perusahaan Rich mengakuisisi perusahaan biji-bijian Belanda pada 1981. Pencaplokan itu menandai perluasan bisnis pribadi miliarder Belgia itu. Sejalan dengan itu, komoditas pertanian dan batu bara ditambahkan ke dalam daftar produk yang diperdagangkan. 

        Sayangnya, kejayaan Marc Rich sedikit terusik pada 1983. Pada waktu itu, Rich didakwa oleh pengadilan AS atas tuduhan kriminal meliputi penggelapan pajak, pemerasan, dan pelanggaran embargo. Rich juga diduga bekerja dengan dinas rahasia Israel, Mossad, untuk membuat saluran pipa rahasia untuk menjual minyak Iran ke Israel. 

        Pengacara AS yang menuntut kasus Rich, Rudolph Giuliani mengklaim kejahatan yang dilakukan Rich adalah "kasus penggelapan pajak terbesar dalam sejarah AS". Untuk embargo, dia dituduh membeli jutaan barel minyak mentah dari Iran selama krisis 1979-1981, sehingga Rich melanggar larangan perdagangan. Dari tuntutan itu, taipan minyak asal Belgia melarikan diri ke Swiss dan tetap berada dalam daftar pencarian orang FBI selama hampir dua dekade.

        Alasan kuat Rich kabur ke Swiss karena tuntutan hukum menyatakan miliarder itu bisa dijerat kurungan penjara 300 tahun. Meski begitu, dia memprotes dirinya tidak bersalah. Dia bisa sembunyi namun tidak bisa melarikan diri. Alhasil, perusahaan miliknya harus membayar denda 90 juta dolar AS untuk pelanggaran.

        Terpisah dari kasus hukum yang menimpa Rich, perusahaan memperbanyak komoditas perdagangannya pada 1987. Mereka membeli 27 persen saham pabrik peleburan alumunium di AS. Setahun kemudian, perusahaan itu membeli dua pertiga saham di tambang timah dan seng di Peru. Selanjutnya, perusahaan menjadi terkenal. Besarnya nama perusahaan milik Rich akibat dari strategi pembiayaan utang --cara sengaja yang diadopsi Rich.

        Rich dan perusahaannya terus menuliskan kisahnya pada periode 1990-an. Nasib buruk dialami Rich pada 1993. Di tahun itu, dia kehilangan 172 juta dolar AS sekaligus kendali atas perusahaannya akibat gagalnya menguasai perusahaan pengolah seng. Akhirnya Rich menjual mayoritas saham perusahaanya, Marc Rich & Co. AG, kepada Glencore International. Tahun berikutnya, Glencore terlahir kembali dan Willy Strothotte duduk sebagai CEO perusahaan.

        Usai dibentuk sebagai Glencore, perusahaan itu membeli perusahaan proyek batu bara, Prodeco di Kolombia, pada 1995. Saat ini, perusahaan itu menjadi pengekspor batu bara termal terbesar ketiga di Kolombia. Lima tahun kemudian, perusahaan itu membeli saham produsen utama tembaga African Copperbelt, Mopani di Zambia.

        Keajaiban datang menghampiri Marc Rich. Pada 2001, meskipun dalam kontroversi, Presiden AS Bill Clinton mengampuni semua tuduhan miliarder Belgia itu. Dalam sebuah laporan diketahui, istri Marc Rich, Denise Rich, memberikan sumbangan sejuta dolar AS kepada Partai Demokrat. 

        Pengampunan Bill Clinton ternyata membawa angin segar pada Glencor. Pada 2002, perusahaan itu melakukan penawaran umum perdananya (IPO) di London. 

        Sayangnya dalam laporan Radio ABC pada 2005 menyatakan, Glencore dituduh "melakukan transaksi ilegal dengan negara-negara 'jahat': apartheid Afrika Selatan, Uni Soviet, Iran, dan Irak (Saddam Hussein)". Selanjutnya CIA menemukan bahwa Glencore dilaporkan telah melakukan tansaksi suap senilai lebih dari 3,2 juta dolar AS untuk mendapatkan minyak, dalam rangka program PBB "oil-for-food" untuk Irak. Namun dengan tegas perusahaan menolak tuduhan tersebut. 

        Salah satunya yang terjadi pada 2005 adalah terungkapnya hasil penjualan minyak Glencore. Hasil penyelidikan menunjukkan, keuntungan perusahaan dihasilkan dari penipuan dan korupsi di Republik Demokratik Kongo (RDK). 

        Meski kontroversi dan masalah terus menerpa, fokus Glencore tidak terpecah. Pada 2007, Nikanor bergabung dengan Katanga dalam transaksi senilai 3,3 miliar dolar AS. Empat tahun kemudian, Glencore menjadi perusahaan publik dengan menjual sahamnya di Bursa Saham London dan Hong Kong. Nilai bisnis yang dihasilkan perusahaan dalam kegiatan itu mencapai lebih dari 60 miliar dolar AS. 

        Pada 2011, lima organisasi non-pemerintah mengajukan pengaduan ke OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) terhadap anak perusahaan Glencore atas tuduhan bahwa tambang yang dimilikinya di Zambia mungkin tidak membayar cukup pajak atas labanya. Keluhan ini karena dugaan manipulasi keuangan dan akuntansi yang seharusnya dilakukan oleh anak perusahaan kedua perusahaan, Mopani Copper Mines Plc (MCM), untuk menghindari perpajakan di Zambia.

        Draf laporan Grant Thornton menuduh bahwa penghindaran pajak oleh Glencore di Zambia merugikan Pemerintah Zambia ratusan juta dolar karena kehilangan pendapatan. Penghindaran tersebut diduga dilakukan melalui transfer harga dan biaya yang meningkat di Tambang Tembaga Mopani Glencore, yang dikendalikan melalui Kepulauan Virgin Britania Raya. Namun pada tahun yang sama pula, Glencore dan auditornya, Deloitte, menolak tuduhan tersebut. 

        Bersama dengan beberapa produsen batu bara besar lainnya, Glencore juga merupakan pemegang saham besar di globalCOAL, platform perdagangan batu bara fisik daring, pada 2011.

        Pada 2013, Glencore menyelesaikan proses penggabungannya dengan perusahaan pertambangan Xstrata. Kesepakatan yang memakan waktu 450 hari, menciptakan perusahaan dengan 190.000 karyawan di 50 negara. CEO Glencore Ivan Glasenberg memimpin perusahaan baru tersebut. Sejak itu menurut Reuters, Glencore dikenal dengan "strategi akuisisi oportunistik tetapi menguntungkan".

        Kesedihan pun menyertai kebahagiaan perusahaan itu. Pada tahun yang sama, sang pendiri, Marc Rich meninggal dunia. 

        Harga global untuk sejumlah aset yang diperdagangkan Glencore, khususnya seperti batu bara dan tembaga, perusahaan mencatatkan kerugian operasional bersih sebesar 656 juta dolar AS di paruh pertama 2015. Saham perusahaan pun ikut turun sejalan dengan hasil buruk yang ditorehkan di saat itu.

        Utang Glencore pun menggunung mencapai 30 miliar dolar AS. Pada 7 September 2015, perusahaan berusaha meyakinkan investor untuk memangkas utang mereka sebesar 10 miliar dolar AS pada akhir tahun depan. Akhirnya perusahaan menjual aset dan sahamnya, guna menambal lubang utang yang ada.

        Sayangnya itu tidak berhasil dan kekhawatiran pun meningkat. Kepanikan terjadi pada 28 September 2015 dan saham anjlok lebih dari 28 persen dalam sehari, menjadi kurang dari 70p. Sehari kemudian, saham tersebut kembali pulih secara signifikan setelah perusahaan menyatakan bahwa "secara operasional dan finansial kuat".

        Setelah rumor bahwa Glencore terbuka untuk tawaran pengambilalihan, saham tersebut melonjak 7 persen lagi pada 5 Oktober 2015, dengan saham naik sebanyak 70 persen dalam perdagangan Hong Kong. 

        Untuk memastikan sumber pembiayaan berkelanjutan dan berjangka panjang, Glencore mulai membentuk kemitraan dengan sejumlah negara, seperti Qatar Investment Authority (QIA), yang memiliki 8,2 persen saham Glencore. Pada 2017, QIA dan Glencore membeli 19,5 persen Rosneft, perusahaan energi negara Rusia. Dana kekayaan kedaulatan lainnya, dari Norwegia, Uni Emirat Arab, Singapura, dan China juga menjadi investor utama Glencore.

        Glencore telah mengumumkan hasil keuangannya untuk kuartal I 2020, yang ditandai oleh penurunan produksi tembaga sebesar 29 persen dan penurunan produksi kobalt sebesar 44 persen  dibandingkan dengan kuartal pertama  2019, dengan pandemi Covid-19 yang menyebabkan penutupan tambang dan gangguan rantai pasokan di seluruh operasinya.

        Perusahaan telah mengalami penurunan produksi yang luas, dengan timbal, ferrokrom, dan produksi emas masing-masing turun 17 persen, 3 persen, dan 1 persen. Meskipun ada titik terang, seperti peningkatan 13 persen dalam produksi timbal dibandingkan dengan kuartal I 2019, tren keseluruhan mengecewakan penambang.

        Gangguan ini telah menyebabkan penambang menurunkan banyak perkiraan produksinya untuk sisa 2020. Glencore memperkirakan penurunan produksi tembaga sebesar 45.000 ton dibandingkan dengan perkiraan sebelum pandemi.

        Memang, penambang mengharapkan produksi jatuh pada semua komoditasnya, dan sebagian besar mineral akan mengalami tingkat produksi yang lebih rendah daripada 2019. Satu-satunya pengecualian adalah produksi seng, yang masih diharapkan Glencore akan meningkat, menargetkan produksi 1.160 kiloton pada 2020, dibandingkan dengan 1.078 kiloton pada 2019.

        Penambang juga telah merevisi belanja modalnya, memotong pengeluaran dari 5,5 miliar menjadi antara 4 miliar dan 4,5 miliar dolar AS.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Muhammad Syahrianto
        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: