Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Alamak! Australia Gagal Redam Resesi Imbas Covid-19

        Alamak! Australia Gagal Redam Resesi Imbas Covid-19 Kredit Foto: Antara/Image/Bianca De Marchi via REUTERS
        Warta Ekonomi, Sydney -

        Pandemi Covid-19 bukan hanya mengancam kesehatan manusia, tapi juga menghantam perekonomian dunia. Akibat pandemi tersebut, hampir semua negara dunia mengalami resesi, termasuk negara maju. Kendati krisis yang terjadi tidak seberat krisis 1998.

        Berbagai upaya yang dilakukan seperti mengeluarkan paket bantuan miliaran dollar AS demi menjaga stabilitas dan keberlangsungan ekonomi nasional tidak mampu membendung pertumbuhan negatif ekonomi riil. Australia menjadi negara teranyar yang melaporkan adanya pertumbuhan negatif.

        Baca Juga: Seluruh Rakyat Australia Dipastikan Dapat Vaksin Covid-19

        Peristiwa itu tidak pernah menimpa Australia sejak hampir 30 tahun lalu. Seperti dilansir BBC, produk domestik bruto (PDB) Australia menyusut 7% pada kuartal kedua (Q2) dibandingkan Q1, terburuk sejak 1959.

        Padahal, Australia pernah selamat dari krisis moneter pada 2008 mengingat perdagangan dengan China stabil. Tahun ini Australia tidak dapat mengelak. Selain terjadi bencana alam seperti kebakaran hutan yang sangat ekstrem, Australia juga terkena wabah virus corona Covid-19 yang menyebar luas ke negara lain.

        Pertumbuhan ekonomi Australia menurun, menyusul rendahnya daya beli masyarakat. Sekalipun pemerintah dan bank sentral memberikan bantuan keuangan, sebagian bisnis dan perusahaan tidak mampu bertahan dan ambruk. Kendati begitu, Australia masih beruntung dibandingkan negara maju lain.

        Sebelumnya negara-negara maju lain sudah mengumumkan resesi. Ekonomi Amerika Serikat (AS) menyusut hingga 9,5%, sedangkan Prancis dan Jepang masing-masing susut 13,8% dan 7,6%. Inggris bahkan mengalami penurunan hingga 20,4%. Dampaknya di lapangan besar. Selain daya belanja masyarakat menurun, banyak toko dan pabrik di berbagai sektor bangkrut.

        Seperti dilansir BBC, penurunan ini tidak terlepas dari kebijakan lockdown yang melumpuhkan aktivitas bisnis, investasi, dan ekonomi. Tak sedikit toko, hotel, restoran, bengkel, dan perusahaan yang tak dapat beroperasi. Sektor layanan jasa yang menyumbangkan 4/5 dari ekonomi Inggris juga menelan kerugian besar.

        Pembatasan operasi pabrik juga menyebabkan produksi menjadi lambat. Penurunan itu terkonsentrasi pada April atau selama puncak lockdown. Dengan kondisi yang memburuk, Pemerintah Inggris berupaya memulihkan ekonomi dan membuka lockdown pada Juni. Namun, pertumbuhannya masih merangkak-rangkak.

        Pemerintah Inggris mengatakan resesi ini akan menyebabkan lebih banyak pengangguran bulan depan. Antara April hingga Juni saja 220.000 orang telah dipecat. Kanselir Rishi Sunak mengatakan pemerintah akan menjelaskan situasi ini apa adanya dan tidak akan memberikan janji nonrealistis.

        Inggris merupakan salah satu negara maju yang menderita resesi terbesar akibat wabah virus corona Covid-19 pada tahun ini. Ekonominya lima kali lebih kecil dibandingkan akhir tahun lalu. Namun, resesi di Inggris tidak seburuk di Spanyol yang menderita hingga 22,7% dan lebih buruk dua kali dibandingkan Jerman.

        Bank of England menyatakan daya beli masyarakat seperti makan di restoran, menonton konser, atau menonton pertandingan sepak bola merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi Inggris dibandingkan negara Eropa lain. Dengan demikian, tak heran jika Inggris menderita resesi akibat lockdown.

        Pasar Saham Cemas

        Pasar saham di dunia selalu ditutup dengan penuh kecemasan belakangan ini. Alasannya, Covid-19 terus menyebar, terutama di China, Jepang, Korea Selatan (Korsel), Iran, dan Singapura. Tanda gejala resesi mulai menguat karena kondisi ekonomi dunia yang kurang “sehat” setelah terpukul akibat perang dagang. 

        Jepang yang bersikap hati-hati sejak awal kemunculan Covid-19 pada awal tahun ini juga tak dapat menghindari dampak ekonomi yang ditimbulkan. Pergerakan saham di Jepang mengalami kemerosotan tajam akibat reaksi negatif pasar Asia terhadap dunia. Indeks Nikkei 225 turun sekitar 4,5% pada awal 2020.

        Baca Juga: Miliarder Australia Tebar Pesona Demi Izin Buka Tambang di Kanada

        Perusahaan Jepang yang bergantung pada rantai pasokan dunia menelan kerugian paling besar. Saham Toyota Motor turun sebesar 3,7%, sedangkan Uniqlo yang mengambil barang dari pabrik China anjlok 4,2%. Jika terus berlanjut, produk domestik bruto (PDB) Jepang akan terus turun pada sisa akhir tahun ini.

        Dengan kondisi yang tak kunjung baik, Bank of Japan (BOJ) berencana melonggarkan kebijakan moneter untuk memitigasi dampak ekonomi di tingkat nasional dan global.

        “Jika tidak diantisipasi, dampaknya besar, tidak hanya terhadap Jepang, tapi juga dunia,” ujar Gubernur BOJ, Haruhiko Kuroda, dikutip Asahi.

        Sama seperti Jepang, kekuatan ekonomi terbesar di Eropa, Jerman, juga patut cemas. Setelah terseret pabrik-pabrik yang lumpuh akibat terlilit utang, Jerman kini kembali menghadapi sentimen ekonomi. Berdasarkan Indikator ZEW, ekonom pesimis dengan prospek pertumbuhan ekonomi Jerman pada tahun ini.

        Tingkat pertumbuhan ekonomi China dan India juga melambat. Ahli ekonomi dari Bank of America, Ethan Harris, mengatakan negara di Asia harus siap mengantisipasi dampak wabah Covid-19 yang akan memperburuk keadaan setelah dunia dihantam ketidakpastian akibat perang dagang antara AS dan China.

        “Ekuitas global baru saja pulih setelah AS dan China melakukan ‘gencatan senjata’, tapi perusahaan yang bergantung pada pasokan global akan kembali menghadapi ketidakpastian,” beber Harris, dilansir CNN. Tapi, dia meragukan kemampuan ekonomi dunia dalam menahan guncangan virus mematikan tersebut.

        Ahli ekonomi dari CMC Markets, Margaret Yan, menilai ekonomi dunia pada Q1 tahun ini tidak akan mampu diselamatkan.

        “Mereka mungkin kecewa, tapi sementara. Bank-bank sentral di dunia akan siap menyuntikkan likuiditas dan mengurangi suku bunga untuk melindungi ekonomi agar tidak runtuh,” katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: