Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Startup Berguguran, Terpukul Pandemi atau Tergerus Kompetisi?

        Startup Berguguran, Terpukul Pandemi atau Tergerus Kompetisi? Kredit Foto: Airy
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Saat pagebluk Covid-19 menyerang Indonesia pada awal Maret 2020 lalu, hampir seluruh sektor bisnis mati suri. Lain halnya dengan bisnis digital yang banyak digerakkan oleh para perusahaan startup. Sektor ini digadang-gadang memiliki imun kuat melawan hantaman virus yang telah menewaskan hampir 900 ribu jiwa di seluruh dunia ini.

        Bisnis startup disebut bakal tetap tokcer lantaran hadir sebagai solusi di saat ruang gerak masyarakat dibatasi oleh imbauan social distancing dan physical distancing demi menekan penyebaran virus mematikan itu.

        Baca Juga: Startup Story: Janji Jiwa, Kopi yang Terjual Jutaan Gelas/Bulan

        Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sektor informasi dan komunikasi di kuartal II-2020 termasuk bisnis yang justru berkembang di tengah pandemi Covid-19. Pertumbuhannya tercatat sebesar 10,8%, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya di angka 9,8%.

        "Pandemi justru men-drive bisnis digital karena konsumen awalnya bisa bebas keluar rumah, tapi saat sekarang semakin sulit keluar rumah, digital menjadi solusi. Online shop menjadi solusi, Zoom menjadi solusi, Halodoc menjadi solusi. Secara umum digital menjadi growing," kata pengamat pemasaran Inventure Consulting, Yuswohady, membenarkan hal tersebut katanya kepada redaksi Warta Ekonomi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

        Sayangnya, bisnis startup tak sepenuhnya kebal virus corona seperti yang dielu-elukan. Sejumlah perusahaan rintisan, satu persatu mulai berguguran, menutup layanan mereka secara permanen di Indonesia di antaranya Airy, Sorabel, Stoqo, Eatsy, dan Hooq.

        Sementara Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, berpendapat bahwa secara perkembangan bisnis, dalam kondisi normal sekalipun, tidak semua startup bisa meraih kesuksesan karena salah startegi.

        "Banyak unicorn juga sebenarnya secara balance sheet masih merugi atau bahkan berdarah karena masih yang banyak bakar uang. Pandemi tentu merupakan kondisi yang juga tidak diprediksi dan jika kondisi normal saja berat, apalagi ditekan kondisi akibat Covid-19," kata dia saat dihubungi redaksi Warta Ekonomi.

        Membedah lebih lanjut, berikut sejumlah perusahaan digital dan alasan di balik penutupan bisnisnya yakni

        1. Sorabel (Juli 2020)

        Kebalikan dari sektor pariwisata dan hospitality, e-commerce sebetulnya sektor yang paling menuai berkah dari wabah ini. Survei Nielsen yang terbit Maret 2020 lalu, mengungkapkan, sekitar 30% konsumen Indonesia lebih sering melakukan belanja online.

        Shopee menjadi e-commerce yang meraup cuan besar dengan menghimpun sebanyak 260 juta transaksi di kuartal kedua tahun ini. Direktur Shopee Indonesia Handhika Jahja mengklaim angka ini meningkat pesat 130% dibandingkan tahun lalu.

        Meski sama-sama online shop, nasib mujur tak menghampiri Sorabel, e-commerce produk fesyen. Startup ini resmi bangkrut pada 30 Juli lalu.

        Co-Founder dan CEO Sorabel Jeffrey Yuwono bilang seiring pandemi melanda, cadangan kas perusahaan habis meski sudah mendapatkan beberapa tawaran investasi. Namun, calon investor asing tidak bisa terbang ke Indonesia untuk memverifikasi operasional fisik startup tersebut.

        "Jadi, Covid-19 menyerang pada titik paling rentan dalam strategi pendanaan kami dan menghancurkan basis pelanggan inti kami," ujar Yuwono dilansir dari e27.co.

        Mengamini kondisi Sorabel, Yuswohady, menjelaskan investasi jadi pemicu lain yang membikin startup gugur. Investasi, nyawa startup. Di masa krisis, duit langka. Investor memilih untuk wait and see.

        "Minat untuk investasi langsung mandek. Tidak berani invest. Ketika investor tidak menggelontorkan duitnya ke startup-startup, otomatis aktivitas (startup) agak terganggu. Praktis, nyawa startup ditentukan oleh suntikan duit dari investor."

        Di sisi lain, Jeffrey menambahkan strategi bisnis e-commerce yang dipimpinnya tersebut sangat mengandalkan kehadiran toko offline sebagai sumber trafik online. Sementara wabah membikin pabrik hingga toko-toko fisik berhenti beroperasi.

        Mengutip riset Facebook dan Bain & Company berjudul Southeast Asia Digital Consumer Trends that Shape the Next Normal, berbeda dengan bahan makanan segar dan makanan jadi yang jadi primadona saat ini, ritel, termasuk fesyen, butuh waktu yang tak sedikit untuk bisa kembali bangkit.

        2. Airy Room (Mei 2020)

        Airy room telah lebih dulu memecat lebih dari 70% karyawan demi mempertahankan bisnis di tengah krisis pandemi Covid-19. Startup perhotelan afiliasi Traveloka ini resmi hengkang dari Indonesia pada akhir Mei lalu.

        Mengutip DealStreetAsia, bekas karyawan Airy bersaksi pihaknya menghadapi krisis akibat banyaknya permintaan pengembalian uang pemesanan kamar dan penerbangan pascawabah corona menghantam industri perjalanan.

        Baca Juga: Startup Story: PasarPolis Dapat Modal Rp800 M, Dipakai Buat Apa?

        Menghadapi situasi yang sama, Traveloka juga telah memecat ratusan karyawan. Bahkan, sejumlah eksekutif pun ikut mundur seperti Kepala Teknologi Benjamin Mann, Kepala Investasi Hendrik Susanto, dan Kepala Bisnis Singapura dan Malaysia Halif Hamzah.

        Menurut Yuswohady, startup semacam Airy dan Traveloka paling babak belur dihajar Covid-19 lantaran model bisnisnya melibatkan banyak aktivitas fisik.

        "Perlu diingat digital itu bergantung dengan bisnisnya. Kita membagi digital; low-touch dan high-touch. Startup yang bergerak di high-touch seperti Traveloka, digitalnya look-book-pay. Justru core aktivitasnya kan interaksi secara fisik. Ketika itu jatuh maka look-book-pay-nya jatuh. Turisme kan high-touch, beda dengan online-shop," papar Yuswohady.

        Meski sudah diberlakukan mulai Juni lalu, PSBB transisi tak lantas mampu mengerek okupansi hotel. Hariyadi Sukamdani, Ketum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), membeberkan bahwa bisnis hotel belum menunjukkan perbaikan.

        "(Okupnasi) di bawah 5% dibandingkan Juni. Overall paling naiknya 3-4%-lah. Kecil," sebutnya.

        3. Stoqo (April 2020)

        Stoqo, startup penyedia bahan baku bisnis kuliner, menutup layanannya tak lama usai Covid-19 mewabah di Indonesia, tepatnya akhir April lalu.

        Aswin Andrinson, Co-founder Stoqo, sempat menyatakan bisnisnya meningkat tujuh kali lipat tahun lalu serta sudah melayani puluhan ribu pengguna di area Jabodetabek. Namun, kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat pendapatannya merosot drastis sehingga terpaksa tutup layanan, klaim Aswin, mengutip Tech in Asia.

        Mengelola bisnis serupa Stoqo, Tanihub malah berhasil menghimpun dana US$17 juta (sekira Rp282,7 miliar) April lalu dalam putaran pendanaan Seri A yang dipimpin oleh Openspace Ventures dan Intudo Ventures. Alhasil, total pendanaan ekuitasnya sejak 2016 hingga saat ini bertambah menjadi US$29 juta (sekitar Rp482,2 miliar), dikutip dari KrAsia.

        Startup agritech ini bahkan baru-baru ini berencana untuk melakukan ekspansi dengan membuat pusat distribusi di luar Pulau Jawa. "Tidak hanya berfokus di Bali dan Jawa, tapi menjamah Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera,&" ujar CEO TaniHub, Ivan Arie Sustiawan, Senin (24/8/2020).

        Saat ini, perusahaan memiliki lima pusat distribusi di Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Bogor.

        4. Easty

        Eatsy menjadi startup yang pertama berhenti beroperasi di Indonesia saat terjadi pandemi Covid-19. Diumumkan berhenti pada awal April lalu melalui aplikasinya, perusahaan asal Singapura ini mengklaim wabah virus corona telah membawa efek tersendiri pada berbagai lini bisnis, termasuk Eatsy.

        Di sisi lain, sang rival, Go-Food menyatakan layanannya masih bergeliat berkat strategi penyesuaian yang dijalankan. Semenjak pandemi, Pasar Mitra Tani, penjual bahan pangan pokok bergabung ke dalam platformnya.

        Go-Food pun mengklaim fitur Ready to Cook mengalami peningkatan sejak diluncurkan pada April lalu sebanyak tiga kali lipat. Juga 80 persen mitra UMKM, secara rata-rata mengalami peningkatan transaksi sebesar 70 persen sejak mereka bergabung dengan Dapur Bersama GoFood.

        ResearchAndMarkets.com memprediksi layanan pesan antar-makanan online akan tumbuh sebesar 11,4% setiap tahun dari 2020 hingga 2024.

        5. Hooq

        Kebangkrutan Hooq pada 30 April lalu cukup mengejutkan. Pasalnya, bisnis video streaming saat ini sedang naik daun karena saat ini banyak orang menghilangkan kejenuhannya selama PSBB dengan menikmati konten video atau film.

        Sebulan sebelum gugur, Hooq mengajukan likuidasi karena tak dapat menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan dan tak dapat menutup biaya operasional yang terus meningkat.

        Dalam pernyataan resminya, startup ini bilang, "sejak perusahaan ini berdiri, lima tahun lalu, terjadi perubahan struktural siginifikan di pasar video over-the-top (OTT) dan lanskap kompetisinya."

        Tingginya biaya konten dan keengganan konsumen untuk membayar juga jadi alasan di balik kesulitan Hooq di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Para pesaingnya, sebut saja Youtube dan Netflix malah menjadi primadona. Trafik Netflix di jaringan Fisrt Media melonjak signifikan menyentuh 140 persen dibandingkan sebelum pandemi. Sedangkan, trafik Youtube naik 40 persen.

        CEO Netflix Reed Hastings bahkan menyebut jumlah pelanggannya meroket tahun ini. Nyaris 16 juta orang berlangganan dalam tiga bulan pertama 2020. Angkanya hampir dua kali lipat dari pendaftaran baru di bulan-bulan terakhir 2019 lalu. Harga saham Netflix juga melesat lebih 30 persen tahun ini.

        "Kami semua akan bercerita tentang 2020 dan betapa gilanya itu," Hastings berkata kepada The Times.

        Menanggapi startup yang berhenti saat pasarnya berkembang pesat, Yuswohady malah merasa aneh. Logikanya bisnis-bisnis low-touch, apalagi home-entertainment, saat orang lebih banyak di rumah, lalu konsumsi online streaming tinggi, harusnya bisa meraup untung, bukan malah buntung. Dia menduga kesalahannya justru pada manajemen internal.

        "Ada faktor salah manajemen, yang tidak bagus. Mungkin case by case untuk beberapa perusahaan. Secara market, kan tumbuh. Kalau dia enggak tumbuh, berarti masalah di marketing-nya, di operation-nya, mungkin masalah di kapitalnya, enggak ada yang nyuntik," paparnya.

        Secara umum, dia kembali menekankan, bisnis-bisnis yang sedang tren, mestinya lebih survive. Namun, jika sebaliknya, startup itu bangkrut karena tergerus persaingan bisnis.

        "Kalau market-nya lagi bagus, terus dia hilang, kan agak aneh. Bisa jadi juga karena kompetisi. Artinya, yang lain lebih cepat grab opportunity, sementara dia enggak improve. Artinya, tidak bisa memanfaatkan pasar yang sedang bagus," tukasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rosmayanti
        Editor: Cahyo Prayogo

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: