Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Said Didu: Mau Buat Superholding BUMN? Revisi UU Dulu!

        Said Didu: Mau Buat Superholding BUMN? Revisi UU Dulu! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Isu ihwal pembentukan superholding untuk menggantikan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mencuri perhatian banyak pihak.

        Meski pada 2009 isu ini menjadi bola panas saat Sofyan Djalil menjabat sebagai Menteri BUMN, superholding kembali diwacanakan ketika Erick Thohir mengambil pilihan dengan membentuk subholding.

        Baca Juga: Ahok Bikin Riuh Lagi soal Superholding, Anak Buah Erick Jawab Begini

        Posisi Kementerian BUMN sendiri memang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 yang disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Juni 2003 menggantikan UU Nomor 12 Tahun 1955.

        Dalam belied UU Nomor 19 Tahun 2003 perihal BUMN pada pokoknya mengatur tentang persero, perum, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN, kewajiban pelayanan umum, satuan pengawasan Intern, komite audit, dan komite Lain. Serta pemeriksaan eksternal, restrukturisasi, dan privatisasi.

        Dengan beleid tersebut, posisi dan eksistensi Kementerian BUMN menjadi kuat secara hukum dan politik. Bahkan, Mantan Sekretaris BUMN Said Didu (periode 2005-2010) menyebut, pembubaran Kementerian BUMN untuk digantikan dengan superholding sulit dilakukan.

        Said beralasan, posisi Kementerian BUMN tidak hanya diperkuat oleh UU Nomor 19 Tahun 2003, tapi juga oleh UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003.

        "Nah, kenapa Kementerian BUMN masih tetap ada dan superholding tidak bisa terwujud? Penyebab utamanya adalah karena masih ada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003," ujar Said dalam sesi wawancara bersama IDX Channel, Jakarta, Kamis (24/9/2020).

        Dalam UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 menjelaskan bahwa pemegang saham sejumlah perseroan negara adalah Menteri Keuangan. Sementara, Menteri BUMN hanyalah kuasa pemegang saham.

        Karena itu, Said mengatakan, bila sistem pengelolaan BUMN harus menggunakan pola atau model superholding, kedua UU tersebut harus direvisi. "Sekarang kalau mau dijadikan superholding maka kedua UU itu harus direvisi, harus diubah," kata dia.

        Sebelumnya, pengamat BUMN, Toto Pranoto, mengatakan kepada Reporter MNC bahwa strategi Menteri BUMN membentuk subholding sudah tepat dan sebaiknya dilanjutkan. Erick sebelumnya membagi ratusan BUMN ke dalam 12 klaster yang diawasi dua wakil menteri BUMN.

        Konsep subholding, menurut Toto, bisa menjadi evaluasi bagi pemerintah soal urgensi pembentukan superholding BUMN. "Saya setuju, sebelum superholding dibentuk, memang sebaiknya memperkuat holding yang sudah ada. Pada saat mereka sudah dianggap kuat, kebutuhan superholding BUMN baru bisa direalisasikan. Jadi sebaiknya supaya tidak sering berganti kebijakan, maka ide klaster BUMN ini sebaiknya dilaksanakan dulu sampai tuntas," ujarnya, Minggu (20/9/2020).

        Toto mengatakan, isu soal superholding sudah mencuat sejak posisi menteri BUMN dijabat oleh Sofyan Djalil dan Rini Soemarno. Pada era Rini, bahkan sudah disiapkan superholding yang disebut Indonesia Incorporation.

        Dia menjelaskan, konsep superholding ini serupa dengan Super Holding Khazanah Malaysia. Lembaga ini dipimpin oleh chairman ex officio yang dijabat langsung Perdana Menteri. Kemudian chairman menunjuk siapa yang berhak menjadi CEO Khazanah.

        "Tidak ada Kementerian BUMN di Malaysia, fungsi digantikan oleh superholding Khazanah. Tujuannya untuk menghindari intervensi dari pihak luar," kata Toto.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: