Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menyoroti ihwal pembentukan superholding BUMN untuk menggantikan posisi Kementerian BUMN. Menurutnya, pembentukan superholding belum mendesak saat ini.
Pembentukan superholding merupakan sebuah keputusan politik yang melibatkan Presiden dan DPR. Bahkan, kata Dahlan, keputusan Presiden tidak cukup menjadi dasar hukum dari superholding. Artinya, Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden terkait hal itu (Perpres) pun harus melibatkan kesepakatan DPR.
"Menurut pendapat saya superholding BUMN belum mendesak. Ini sebetulnya mau Presiden saja cukup enggak sih misalnya Presiden mau. Apakah Presiden bisa bikin PP, Perpres. Saya kira enggak bisa harus melibatkan DPR," ujar Dahlan dalam webinar, dikutip pada, Selasa (29/9/2020).
Baca Juga: Dituding Ahok Peras Pertamina Rp500 M, Bos Peruri Lantang Angkat Suara
Dahlan menilai, tidak semua negara berhasil seperti superholding milik Singapura, Temasek. Dia mencontohkan, Malaysia yang memiliki superholding Khazanah memiliki model pengelolaan BUMN yang sama seperti Temasek namun gagal.
"Kita ingin seperti Temasek, ya. pengennya engga hanya bentuk tapi kultur, politik, bukan superholding yaudah kita kayak Temasek, kebentuk selesai. Buktinya Malaysia gagal niru Temasek dan Tiongkok, ini urusan yang sangat beda," kata dia.
Senada, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan Tanri Abeng menilai, transisi dari model birokrasi Kementerian BUMN ke superholding untuk mengelola sejumlah perseroan plat merah tidak bisa dilakukan secara cepat dan serampangan. Hal itu harus membutuhkan waktu lama untuk mempertimbangkan efektifitas pelaksanaannya.
Bahkan, dia bilang, wacana superholding memang sudah dicanangkan dari dulu bahkan sejak dirinya menjabat menjadi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. Kendati, usulan tersebut tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Menurut road map pengembangan BUMN miliknya saat itu, perlu waktu 3-5 tahun untuk mempersiapkan transisi itu semua.
"Road map saya, tahun 2000-2015 saya sudah merancang Kementerian BUMN berakhir pada 2010. Dari 2010, dia sudah jadi Badan Pengelola BUMN. Dia perlu bertahan 5 tahun karena kita perlu persiapan, enggak bisa sulap-an, kita perlu 3-5 tahun, nggak bisa langsung," ujar Tanri.
Dalam kesempatan itu, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga pun mengatakan, pembentukan superholding tidak semuda membalikan telapak tangan. Bahkan, kata dia, ada Undang-undang (UU) yang harus dirubah bila Kementerian BUMN dialihkan menjadi superholding.
UU yang dimaksud Arya adalah UU Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pada pokoknya mengatur tentang perihal, Persero,
Perum, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN, kewajiban pelayanan umum, satuan pengawasan intern, Komite Audit, dan Komite lainnya, pemeriksaan eksternal, serta restrukturisasi dan privatisasi.
Serta UU No 17 Tahun 2003 terkait keuangan negara. Sebelumnya Arya menyebut, pihaknya masih fokus memperbaiki rantai pasokan di Indonesia melalui klasterisasi dan subholding sebelum memikirkan ide superholding BUMN.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: