Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bisnis RS Milik Konglomerat Berdarah-Darah: Dari Boenjamin Setiawan, Mochtar Riady, hingga Tahir

        Bisnis RS Milik Konglomerat Berdarah-Darah: Dari Boenjamin Setiawan, Mochtar Riady, hingga Tahir Kredit Foto: Https://mayapadahospital.com
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Konglomerat ialah status yang disandang oleh seseorang dengan total kekayaan bernilai fantastis. Berbagai bisnis pun dilakoni dan menjadi sumber harta bagi para miliarder, tak terkecuali bisnis kesehatan.

        Hal demikianlah yang dilakukan oleh tiga konglomerat Indonesia, mulai dari Boenjamin Setiawan, Mochtar Riady, hingga Dato Sri Tahir. Menangkap peluang bahwa kesehatan menjadi suatu hal penting bagi masyarakat, ketiganya pun mendirikan rumah sakit (RS) swasta. Bukan sembarang RS, melainkan RS mewah dengan segala fasilitas lengkap yang ada.

        Baca Juga: Duel Media Televisi Milik Konglomerat: Hary Tanoesoedibjo vs Eddy Sariaatmadja, Siapa Juara?

        Namun, untuk sekarang ini tak ada bisnis yang benar-benar kebal terhadap pandemi Covid-19, sekalipun itu bisnis RS, tempat yang sejatinya akan menjadi tujuan seseorang untuk melakukan pengobatan atau perawatan. Buktinya, sepanjang enam bulan pertama tahun 2020 ini, kinerja keuangan dari RS milik ketiga konglomerat itu pun ikut berdarah-darah.

        Lantas, separah apa dampak pandemi terhadap kinerja keuangan RS dari masing-masing konglomerat Indonesia? Simak ulasan berikut ini.

        Mitra Keluarga - Boenjamin Setiawan

        Rumah sakit swasta milik konglomerat pertama yang akan dibahas adalah RS Mitra Keluarga yang berdiri pada tahun 1995 silam. Jaringan rumah sakit yang tersebar hampir di semua wilayah ini dimiliki oleh taipan Boenjamin Setiawan dan telah teraftar di BEI dengan nama PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) sejak 24 Maret 2015 lalu. 

        Walau turut tertekan oleh wabah virus corona, kinerja keuangan Mitra Keluarga terbilang paling baik di antara dua rumah sakit yang menjadi kompetitornya. Bagaimanapun, emiten bersandi MIKA ini masih berhasil mengantongi laba bersih sebesar Rp317,6 miliar pada semester I 2020. Namun, capaian tersebut menurun 19,92% dari laba semester I 2019 yang kala itu mencapai Rp396,6 miliar.

        Sejalan dengan itu, pendapatan yang dikantongi MIKA per Juni 2020 mencapai Rp1,44 triliun atau turun 9,03% dari Rp1,58 triliun pada Juni 2019 lalu. Manajemen MIKA mengaku, penurunan pendapatan paling terasa pada kuartal II tahun 2020.

        Rawat inap menjadi kontributor terbesar terhadap pendapatan MIKA dengan porsi mencapai Rp934,29 miliar pada tahun ini, turun dari tahun lalu yang sebesar Rp996,35 miliar. Penurunan juga terjadi untuk pendapatan rawat jalan, yakni dari Rp588,09 miliar menjadi hanya Rp507,07 miliar.

        "Cepatnya penyebaran virus SARS Cov-2 telah menyebabkan ketakutan di kalangan masyarakat Indonesia untuk melakukan perawatan medis di fasiltas kesehatan. Di saat bersamaan, beberapa dokter di Mitra Keluarga juga mengurangi jam praktik di rumah sakit. Oleh karena itu, volume rawat inap dan rawat jalan telah menurun masing-masing sebesar 11,43% yoy dan 19,72% yoy," tegas Mitra Keluarga dalam keterangan resminya dikutip pada Kamis, 2 Oktober 2020. 

        Berdasarkan data yang dipublikasikan Mitra Keluarga, total pasien rawat jalan untuk semester I 2020 mencapai 1,03 juta pasien, turun dari tahun lalu yang mencapai Rp1,28 juta pasien. Sementara itu, pada periode yang sama tercatat ada 95,6 ribu pasien rawat inap, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 107,9 ribu pasien. 

        "Sejak Juni 2020, pemerintah mulai melakukan relaksasi PSBB, perkantoran dan mal sudah mulai membuka kembali bisnis mereka. Hal ini diikuti dengan dokter mulai menambah kembali jam praktik mereka di rumah sakit, yang berdampak pada peningkatan volume di bulan Juni 2020 baik untuk pasien rawat inap dan juga rawat jalan," sambungnya.

        Siloam Hospitals - Mochtar Riady

        Siloam Hospitals didirikan oleh Lippo Group pada tahun 1996 silam dengan nama Rumah Sakit Siloam Gleneagles. Rumah sakit ini kemudian lebih dikenal dengan nama Siloam Hospitals. Kemudian, perusahaan milik Mochtar Riady ini bergabung sebagai perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 12 September 2013 dengan nama PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO). 

        Kinerja keuangan emiten rumah sakit ini sepanjang enam bulan pertama tahun 2020 terbilang kurang maksimal. Pasalnya, SILO tercatat merugi sebesar Rp129,37 miliar. Capaian tersebut berbanding terbalik dari semester I 2019 yang kala itu SILO mengantongi keuntungan Rp10,62 miliar. 

        Baca Juga: Mayoritas Perusahaan Batu Bara Milik Konglomerat RI Telan Pil Pahit! Ini Daftarnya!

        Merujuk pada laporan keuangan perusahaan, pendapatan SILO menurun 5,92% dari Rp3,38 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp3,18 triliun pada Juni 2020. Penurunan tersebut disumbang oleh pendapatan dari rawat inap, di mana kontribusinya tertekan dari Rp2,01 triliun pada tahun lalu menjadi Rp1,79 triliun pada tahun ini. Sementara itu, pendapatan dari rawat jalan mengalami kenaikan tipis dari Rp1,36 triliun menjadi Rp1,38 triliun.

        Dalam keterangan resmi, manajemen SILO menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 membuat pasien memilih menunda perawatan yang berimbas ke anjloknya volume pasien secara signifikan. Sampai dengan Juni 2020, SILO mencatat ada 100.298 pasien rawat inap, turun 18,2% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp122.572 pasien.

        "Pasien rawat jalan pada semester satu tahun 2020 tercatat 1.066.161 pasien dibandingkan 1.310.856 pasien pada semester satu tahun 2019, menurun 18,7%," jelas manajemen SILO dikutip pada Jumat, 2 Oktober 2020.

        Pada saat bersamaan, SILO berhasil menekan beban pokok pendapatan dari yang sebelumnya Rp2,29 triliun menjadi hanya Rp2,22 triliun. Sayangnya, sejumlah pos beban justru membengkak yang mengakibatkan keuntungan SILO berbalik menjadi rugi. Secara tahunan, beban usaha SILO naik dari Rp903,98 miliar menjadi Rp905,22 miliar. Beban keuangan juga melonjak drastis dari Rp25,25 miliar menjadi Rp85,88 miliar. 

        Lonjakan beban diakui terjadi seiring dengan adanya tambahan biaya untuk penanganan Covid-19, termasuk di antaranya adalah penyediaan alat pelindung diri (APD) dan biaya tes bagi karyawan, terutama pada kuartal kedua tahun 2020. 

        Presiden Direktur SILO, Ketut Budi Wijaya, membenarkan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap bisnis perusahaan sehingga kinerja keuangan pada paruh pertama tahun ini menjadi negatif. Meski begitu, ia mengapresiasi kerja keras yang dikerahkan oleh seluruh karyawan SILO. 

        "Saat ini belum jelas kapan kami akan melihat perbaikan keadaan. Walau ada ketidakpastian di masa depan, kami telah menyusun tim manajemen yang kuat yang telah menunjukkan eksekusi yang sangat baik sepanjang tahun 2019 dan 2020. Kami yakin akan  kemampuan dan pengalaman tim manajemen kami untuk melewati keadaan yang sulit ini," pungkas Ketut Budi Wijaya.

        Mayapada Hospital - Dato Sri Tahir

        Dato Sri Tahir dikenal sebagai taipan dengan kerjaan bisnis yang besar, hampir di semua sektor ada. Untuk sektor kesehatan, Tahir mempunyai lengan bisnis Rumah Sakit Mayapada (Mayapada Hospital). Rumah sakit tersebut berdiri pada tahun 2008 dan dikelola oleh PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk (SRAJ).

        Senasib dengan Siloam Hospitals, kinerja keuangan Mayapada Hospital juga negatif pada semester I 2020. Rugi bersih yang sejak tahun lalu ditanggung Mayapada Hospital membengkak hingga 835,81% dari Rp6,73 pada Juni 2019 miliar menjadi Rp62,98 miliar pada Juni 2020.

        Baca Juga: Tahan Banting Lawan Covid-19, Siapa Jawara Farmasi di Indonesia? Bukan Kimia Farma!

        Salah satu faktor bengkaknya rugi itu adalah pendapatan perusahaan yang turun dalam enam bulan pertama tahun ini. Jika pada Juni tahun lalu SRAJ mengantongi pendapatan Rp501,95 miliar, angkanya turun menjadi Rp475,99 miliar pada Juni 2020. Asal tahu saja, omzet atas layanan rawat inap yang menjadi kontributor terbesar terhadap pendapatan SRAJ tercatat naik secara tahunan dari Rp161,64 miliar menjadi Rp239,22 miliar. 

        Pendapatan dari laboratorium juga tercatat membaik dari Rp47,99 miliar pada tahun lalu menjadi Rp53,69 miliar pada tahun ini. Kenaikan pendapatn juga diraih untuk lini hemodialisa, yakni dari Rp7,54 miliar menjadi Rp10,35 miliar. Namun, pada saat yang bersamaan pendapatan dari obat-obatan menurun cukup dalam dari Rp170,63 miliar menjadi hanya Rp101,71 miliar.

        Ditambah lagi, pendapatan poliklinik juga amblas dari yang sebelumnya Rp91,72 miliar menjadi hanya Rp57,61 miliar. Begitu pun dengan pendapatan pemeriksaan medis yang tergerus dari Rp10,65 miliar menjadi hanya Rp7,01 miliar. 

        Kinerja keuangan SRAJ kian berat tatkala beban yang ditanggung membengkak di tengah pandemi Covid-19. Diketahui, beban umum dan adiministrasi melonjak dari Rp139,17 miliar per Juni 2019 menjadi Rp195,85 per JUni 2020. Beban bunga bahkan melonjak lebih signifikan, yakni dari Rp7,52 miliar menjadi Rp18,07 miliar. Untungnya, beban penjualan dapat ditekan dari Rp5,26 miliar menjadi hanya Rp4,85 miliar.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: