Menohok! PDIP: Kepala Daerahnya Kok Tenang-Tenang Aja Pendemo Rusak Fasilitas Publik!
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyayangkan demonstrasi yang kerap merusak fasilitas publik. Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan, padahal demokrasi dibangun sebagai mekanisme penyelesaian konflik guna membangun konsensus.
Suasana bentrokan antara massa dan polisi saat aksi unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja di Jakarta.
Baca Juga: Alamak! DPR Cuma Sahkan Kertas Kosong saat Rapat RUU Cipta Kerja?
"Anarko telah hadir dengan segala kepentingannya untuk merusak tatanan peradaban, merusak fasilitas publik, kedepankan budaya anarkis serta tidak percaya pada pemerintahan yang sah," kata Hasto dalam keterangan, Minggu (11/9/2020).
PDIP mengajak seluruh komponen bangsa untuk melakukan refleksi kritis mengapa negara besar seperti Indonesia masih diwarnai oleh tradisi amuk, destruktif, mau menang sendiri dan berbagai hal negatif lainnya. Dia mengatakan, hal-hal demikian padahal menghambat kemajuan bangsa.
Baca Juga: Ogah Ditunda, PDIP Berdalih Pilkada Lahirkan Pemimpin Jawab Tantangan Covid-19
Menurutnya, akar seluruh persoalan adalah pendidikan budi pekerti, disiplin, dan keteladanan. Dia mengatakan, sebabnya pendidikan itu meningkatkan derajat keadaban suatu bangsa. Pendidikan itu berbudi pekerti, penuh semangat kemajuan bagi bangsanya dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengetahuan harus diamalkan untuk kemanusiaan.
"Karena itulah PDI Perjuangan sangat prihatin atas kecenderungan terjadinya perusakan sarana publik ketika demo berlangsung. Jadi kami heran, ada kepala daerah yang tenang-tenang melihat fasilitas publik milik rakyat dirusak oleh kelompok anarko," katanya.
Seperti diketahui, aksi massa menolak pengesahan Omnibus Law terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tidak sedikit demonstrasi yang terjadi berakhir ricuh antara massa dan dan petugas hingga terjadi perusahakan fasilitas publik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Lestari Ningsih