Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Peluang dan Tantangan Industri Asuransi di Masa dan Pascapandemi

        Peluang dan Tantangan Industri Asuransi di Masa dan Pascapandemi Kredit Foto: Boyke P. Siregar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pandemi Covid-19 berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri asuransi sehingga imbasnya diprediksikan dapat melewati semester II tahun 2020. Hal itu berdasarkan data Global Makro Outlook dari Insurance Information Institute.

        Untuk itu, diperlukan penyesuaian strategi bisnis dari para pelaku usaha untuk tetap dapat bertahan di tengah kondisi saat ini. Peluang dan tantangan yang dihadapi oleh para pelaku industri asuransi tersebut dikupas dalam webinar yang diadakan oleh Gerakan Pakai Masker (GPM) yang berkolaborasi dengan Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tajuk "Adaptasi Industri Perasuransian dalam Penyelamatan Ekonomi di Masa dan Pasca Pandemi Covid-19".

        Baca Juga: Gencar Melakukan Inovasi, Perusahaan Asuransi di Ganjar Ini

        Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Merangkap Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Riswinandi, mengungkapkan bahwa saat ini dalam rangka mendukung kegiatan berusaha, pemanfaatan teknologi informasi (TI) secara optimal menjadi sangat penting.

        "Dengan pemanfaatan TI secara optimal, pelaku usaha dapat menjalankan operasi bisnisnya secara lebih efektif dan efisien. Selain itu, penggunaan TI juga memungkinkan pelaku usaha untuk tetap dapat berinteraksi secara langsung dengan konsumen, di tengah pembatasan interaksi sosial antar-individu," kata dia.

        Adaptasi TI lanjutnya merupakan faktor penting untuk dapat bertahan dalam kondisi pandemi serta mengatisipasi tren perilaku konsumen yang berubah di masa yang akan datang. Mendukung kegiatan berbasis teknologi informasi, saat ini OJK tengah mempersiapkan dan merampungkan RP OJK terkait manajemen risiko teknologi informasi tersebut.

        "Sebagai regulator, OJK senantiasa mendorong industri asuransi untuk terus beradaptasi dengan perubahan ekosistem jasa keuangan, termasuk juga dengan inovasi pemasaran jasa keuangan. Namun, inovasi yang dilakukan harus tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian," tambahnya.

        Sejalan dengan Riswinandi, Pakar Pemasaran Yuswohady mengatakan bahwa perubahan perilaku konsumen dalam masa dan pascapandemi dapat memberikan dampak serta peluang untuk industri asuransi. Di mana, kecenderungan perilaku konsumen saat ini adalah kembali ke dasar, yakni lebih memprioritaskan kebutuhan, sandang, pangan, dan papan.

        Hal ini terjadi karena adanya ketakutan orang karena ketidakpastian ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Ketakutan itu mengakibatkan orang-orang lebih memilih menyimpan uangnya di bank dan mengurangi pembelian. Namun, ketika risiko kematian makin tinggi, mereka akan cenderung melihat asuransi sebagai kebutuhan pokok pada saat pascapandemi.

        Optimisme tersebut dapat terlihat dari meningkatnya pemilik polis asuransi di Tiongkok, sebagai negara yang telah berhasil mengatasi pandemi Covid-19. Data Mc Kinsey menyebutkan, pemilik polis asuransi di negara tersebut meningkat sebesar 47% dibanding tahun sebelumnya.

        Optimisme yang sama juga disampaikan oleh Ekonom Senior Aviliani yang menyatakan bahwa terdapat potensi yang masih bisa digarap oleh industri asuransi jika jeli melihat peluang dengan memanfaatkan sektor informal sebagai salah satu sasaran. Pengembangan produk asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan sektor infomal menjadi penting, mengingat tidak pastinya pendapatan pelaku sektor informal.

        "Ke depannya, orang-orang akan lebih memilih bekerja pada sektor informal dan tidak lagi menjadi karyawan tetap pada sebuah perusahaan. Orang-orang ini bisa memiliki pendapatan lebih dari Rp7,5 juta per bulan dan layak dilirik oleh industri asuransi untuk menjadi salah satu nasabahnya," lanjutnya.

        Ketua GPM Sigit Pramono menambahkan, kondisi pandemi Covid-19 telah memicu penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II menjadi -5,3%. Jika pada triwulan III pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap minus, akan terjadi resesi.

        Sigit mengatakan bahwa krisis yang terjadi karena pandemi ini awalnya merupakan krisis kesehatan. Kemudian, direspons dengan PSBB sehingga menimbulkan ekonomi yang setengah berhenti dan diikuti oleh resesi. Jika PSBB yang dilakukan makin panjang, akan menimbulkan resesi yang makin dalam dan bisa menimbulkan depresi.

        Ketika terjadi depresi, yang paling dikhawatirkan adalah kerusuhan. Semua proses tersebut disebut spiral maut.

        "Peran dari kita semua adalah bagaimana kita dapat menyelamatkan ekonomi agar terhindar dari spiral maut tersebut," ungkap Sigit. Untuk menghidari hal tersebut, penggunaan masker menjadi salah satu cara paling ampuh dan mudah yang dapat dilakukan saat ini.

        "Jika gerakan pakai masker ini berhasil, kita semua bisa menyelamatan nyawa maupun menyelamatkan ekonomi bangsa," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Boyke P. Siregar
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: