Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kekerasan dalam Demontrasi adalah Bentuk Kriminal

        Kekerasan dalam Demontrasi adalah Bentuk Kriminal Kredit Foto: Dok. Pribadi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Demo penolakan terhadap RUU Omnibus Law yang terjadi beberapa hari banyak menyita perhatian masyarakat luas. Selain menampilkan kekerasan dan arogansi para pendemo, juga tidak kalah serunya ada dalang dibalik demo tersebut.

        Pembuktian dalang demo biasanya agak sulit di usut, tapi untuk kali ini agak terang benderang baunya.  Baca Juga: Puja-puji Omnibus Law Mulia, Nyali Jenderal Gatot Mulai Ciut?

        Selain bagi-bagi duit yang di pertontonkan, via medsos juga tertangkapnya foto mobil partai di tengah-tengah masa. Barang kali ini bukan kebetulan tapi memang sudah masuk skenario besar. 

        Diawali dengan video call Ketum partai yang pernah berkuasa dengan anggotanya di DPR pada saat pengesahan RUU Omnibus Law. Dan, dalam video yang viral itu sang Ketum memerintahkan agar menolak pengesahan dan WO dari arena rapat paripurna DPR RI.  Baca Juga: Sebut Tujuan Omnibus Law Mulia, Pentolan KAMI Gatot Jadi Jubir Negara?

        Jadi kalau melihat dari gambaran diatas, demo dan WO nya Demokrat adalah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan buruh untuk menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

        Apakah segampang itu menolak RUU yang akan di sahkan? Mungkin bagi orang yang tidak paham akan menjadi pembenar, tapi tidak bagi yang paham. 

        Pembuatan UU tidak hanya pada saat RUU akan di sahkan di paripurna DPR, akan tetapi ada perjalanan dan berliku. 

        Pertama berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”), kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (“UU”) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”).

        Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (“RUU”) dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. 

        Bahwa perlu diketahui, sebelum RUU masuk dalam pembahasan juga harus ada kajian akademisi dari perguruan tinggi, karena harus ada kajian akademisi itu artinya RUU bukan hanya asal buat yang dapat menyengsarakan rakyat banyak, kecuali ruu berkiatan badan anggaran. Setelah itu tiap tiap komisi membahas masalah RUU yang dilanjutkan dengan rapat gabungan komisi. Artinya semua komisi terlibat yang berkaitan dengan rancangan undang undang. Kemudian rapat selanjutnya adalah rapat legislasi.

        Dari sini semua partai pastinya akan mengetahui jenis RUU yang di sahkan, dan harusnya kalau memang uu tersebut merugikan kepentingan partai maka kelompok yang tidak suka akan terlihat dengan jelas, bukan ujug-ujug menyatakan tidak setuju pada saat RUU akan di sahkan untuk di undang undang. 

        Dari sini dapat dipahami, dewan yang WO dari arena Paripurna adalah pihak yang punya kepentingan pada politik praktis, yang harusnya tidak perlu ditanggapi karena dia bagian kelompok avonturir yang sedang jualan sembako karena partainya semakin tidak dikenal orang. Sehingga RUU Omnibuslaw dijadikan arena buat menaikan popularitasnya. 

        Barangkali kalau tujuan seperti itu, mau menaikan popularitas karena mulai redupnya sebuah parpol tentunya  masuk dalam katagori normal, akan tetapi tidak menjadi normal manakala demo yang di biayai menjadi rusuh dan anarkis. Dan menurut hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf J Undang-Undang D 1945 ayat 1 & 2 (amandemen kedua). Terdapat suatu pembatasan dalam Undang-undang 45 terkait kebebasan yang tidak absolute karena dibebani oleh moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

        Artinya demo atau menyampaikan suatu pendapat bukan berada di wilayah absolut atau sesuka hati yang tidak mencerminkan etika dan norma hukum yang berlaku, aturan ini dapat di lihat dalam uu no. 9 tahun 1998 pada pasal.6.

        Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: menghormati hak-hak azasi orang lain, menghormati hukum, memelihara ketertiban dll. Yang intinya dari pasal ini seseorang yang hendak menyampaikan pendapat diberi kebebasan sebebasnya dalam ranah yang sopan dan beradab, karena wilayah kebebasan bukan bersifat absolut

        Dengan melihat kondisi demo akhir-akhir ini dari kaca mata UU dan hukum, modelnya tidak lagi sesuai lagi dengan ketentuan karena mereka, peserta demo cendrung abai dan tidak taat hukum. Salah satunya, penyempaikan pendapat bukan dalam bentuk kata kata yang di bungkus orasi dan atau tulisan tulisan yang bersifat edukatif, akan tetapi dalam bentuk bentuknya yang berbau kekerasan dengan cara, Provokasi, kekerasan phisik maupun verbal. Merusak, menjarah serta melawan apart. 

        Padahal bentuk bentuk seperti telah di jabarkan diatas bukan demo yang dimaksud dalam uu akan tetapi adalah bentuk bentuk kejahatan yang di bungkus oleh demo. Dan hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlaku, karena kalau tidak masalahnya bukan penegakan hukum yang dilanggar akan tetapi masuk ranah kebiasaan sehingga lambat atau cepat demo itu harus pake batu, pake api dan pake kekerasan. Dan polisi sebagai garda terdepan dalam masalah hukum harus sudah memilah dan menegakan aturan demo, mana yang boleh mana yang tidak.

        Saya juga membaca Polri sudah mempunyai perkap (peraturan Kapolri) No. 9 tahun 2008 tentang penyampaian pendapat. Dalam aturan itu jelas bahwa demo tidak dilarang asal berlaku tertib dan tidak melanggar hukum. Sehingga atas dasar itu Polri tidak boleh lembek dalam menghadapi demo kalau sampai anarkis, tindak tegas. Siapapun itu, karena pelanggaran hukum harus berlaku kepada siapa saja. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: