Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sudah Diteken Jokowi, Istana Akui Ada Kesalahan di UU Cipta Kerja

        Sudah Diteken Jokowi, Istana Akui Ada Kesalahan di UU Cipta Kerja Kredit Foto: Antara/Antara
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut, sejumlah kesalahan yang ditemukan di dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja merupakan masalah teknis administratif. Dengan begitu, kesalahan teknis tersebut tak akan berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.

        "Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," ujar Pratikno kepada wartawan, Selasa (3/11/2020).

        Baca Juga: Jokowi Teken UU Cipta Kerja, Erick Thohir Diminta Pacu Kinerja BUMN

        Ia menjelaskan, sebelumnya, Kementerian Sekretariat Negara juga telah melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR. Namun, kekeliruan tersebut telah disampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya.

        Kesalahan yang ditemukan kembali setelah UU Cipta Kerja ditandatangani Presiden Jokowi ini pun juga disebutnya merupakan kesalahan teknis penulisan. Ia berjanji, kekeliruan teknis ini akan menjadi catatan dan masukan bagi pemerintah untuk terus menyempurnakan kualitas RUU yang akan diundangkan.

        "Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi," kata Pratikno.

        Seperti diketahui, sejumlah kejanggalan ditemukan di UU Cipta Kerja yang telah diteken Jokowi pada Senin (2/11). Kejanggalan yang ditemukan dalam UU setebal 1.187 halaman itu di antaranya yakni terkait keberadaan Pasal 6.

        "Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi: a. penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; c. penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan d. penyederhanaan persyaratan investasi," begitu bunyi Pasal 6 UU Cipta Kerja.

        Dari situlah muncul kejanggalan, lantaran Pasal 6 UU Cipta Kerja merujuk Pasal 5 ayat (1). Padahal, Pasal 5 tidak memiliki satu ayat pun. Penjelasan Pasal 5 UU Cipta Kerja berbunyi, "Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait."

        Republika ternyata menemukan penjelasan ayat (1) UU Cipta Kerja di versi 905 halaman yang disahkan DPR di sidang paripurna. Jika di semua versi Pasal 5 tidak memiliki ayat, di versi 905 halaman terdapat 10 ayat. Berikut daftarnya:

        Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi:

        peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;

        ketenagakerjaan;

        kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M;

        kemudahan berusaha;

        dukungan riset dan inovasi;

        pengadaan tanah;

        kawasan ekonomi;

        investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional;

        pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan pengenaan sanksi.

        Hanya saja, versi Pasal 5 UU Cipta Kerja tersebut bukanlah yang resmi. Yang ditandatangani RI 1 adalah yang versi 1.035 halaman. Selain Pasal 6, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, juga menemukan kesalahan lainnya. Kesalahan lain terdapat di Pasal 53 pada halaman 757.

        Pada ayat (5) yang berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden".

        Ia menjelaskan, ayat 5 Pasal 53 seharusnya merujuk pada ayat 4 bukan 3 seperti yang tertulis dalam naskah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

        "Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu, karena undang-undang tidak bisa diubah begitu saja. Kalau cuma perjanjian bisa direvisi," ujar Bivitri.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: