Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Drama-drama Penghitungan Pilpres AS

        Drama-drama Penghitungan Pilpres AS Kredit Foto: Antara/REUTERS/Tyrone Siu
        Warta Ekonomi, Washington -

        Masyarakat Amerika Serikat (AS), terutama yang terlibat pro-kontra dukung-mendukung dua pasangan yang bertarung, Donald Trump dari Partai Republik dan Joe Biden dari Partai Demokrat, tengah deg-degan menanti hasil penghitungan suara.

        Kondisi ini terjadi karena penghitungan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2020 ini terasa lebih lambat dan lama daripada pemilu terdahulu. Kondisi semakin dramatis karena ketatnya persaingan dan saling tuding adanya kecurangan di antara kedua kubu, Trump dan Biden.

        Baca Juga: Pilpres Memanas, Media Sosial Ambil Langkah Baru Batasi Pidato

        Trump yang kembali mencalonkan diri dalam Pilpres 2020 menuduh pilpres kali ini dipenuhi kecurangan. Salah satu tudingannya mengenai adanya sebagian pendukungnya dihadang sekelompok orang sehingga tidak dapat turut serta dalam pencoblosan. 

        Biden dan pendukungnya juga melaporkan adanya indikasi kecurangan perihal adanya panggilan asing yang diterima pendukung Biden beberapa hari sebelum pilpres bergulir. Panggilan otomatis itu meresahkan karena mengimbau mereka untuk tidak mencoblos.

        Selain merespons kecurangan dengan melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung, panasnya persaingan juga memicu aksi massa. Di Oregon, misalnya, polisi negara bagian tersebut bersama Garda Nasional harus diturunkan untuk meredam bentrok di sekitar Portland.

        Penghitungan surat suara yang lama umumnya terjadi di negara bagian yang dikuasai Partai Demokrat. Alasan utama lamanya penghitungan suara adalah petugas tidak boleh menghitung surat suara hingga pemilu dilaksanakan.

        Padahal jumlah surat suara yang dikirim masyarakat terjadi jauh sebelum pelaksanaan pemilu. Peningkatan jumlah suara yang dikirim melalui pos juga terjadi karena alasan pandemi korona.

        Misalnya di Pennsylvania, hukum di negara bagian tidak mengizinkan penghitungan sebelum pukul 07.00 pada hari pemilu. Itu menyebabkan surat suara menumpuk dan proses penghitungan memerlukan waktu yang panjang.

        Pennsylvania menerima 2,6 juta surat suara yang dikirim melalui pos. Jumlah tersebut mengalami peningkatan 10 kali lipat daripada sebelumnya. Khusus di Philadelphia saja petugas menerima lebih dari 350.000 suara. Pemungutan suara yang terlalu lama di Pennsylvania juga memicu perhatian publik terpecah.

        "Kita mengikuti imbauan capres yang meminta pemungutan suara dini baik Demokrat maupun pendukung Trump. Tak mengherankan bila suara kedua capres saling kejar," kata menteri negara bagian Kathy Boockvar.

        Penghitungan surat suara yang lama juga memicu kemarahan Presiden Trump.

        "Mereka menemukan bahwa suara Biden berada di Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan," kata Trump. "Itu sangat buruk bagi negara ini," imbuhnya.

        Namun Richard Hasen, pakar hukum pemilu di Universitas California, mengatakan tidak ada niat jahat di balik lamanya proses penghitungan suara.

        Baca Juga: Sibuk Pilpres, Posisi Militer AS di Suriah Sama Sekali Gak Berubah

        "Di tiga negara bagian tersebut, para petugas pemilu harus bekerja ekstra untuk memproses surat suara yang berlimpah," katanya.

        Dia mengatakan, surat suara tersebut tidak dihitung acak, tetapi dihitung semuanya sehingga hasil pemilu negara bagian yang paling menentukan bisa diketahui.

        Michigan menerima lebih dari 3,1 juta surat suara yang dikirim melalui pos. Mereka juga harus menghitung surat suara pada hari pemilu. Hukum negara bagian membuat proses pemilu berlangsung lama.

        Apa yang terjadi Pennsylvania dan Michigan berbeda dengan di Florida di mana para petugas memproses penghitungan surat suara beberapa pekan sebelum hari pemilu. Mereka pun bisa menghitung surat suara dengan cepat dan tepat. Itu menjadikan Trump cepat diproyeksikan menang di Florida.

        Gubernur Pennsylvania Tom Wolf, seorang Demokrat, mengatakan sistem telah bekerja dan tidak menghasilkan sesuatu yang maksimal.

        "Kita telah bersabar, tetapi tetap percaya diri semua surat suara bisa dihitung dengan akurat," katanya. Lamanya proses penghitungan karena sistem telah bekerja.

        Keterlambatan penghitungan suara menciptakan polemik. Trump menuding keterlambatan sebagai indikasi adanya kecurangan. Dia mencontohkan adanya sebagian pendukungnya dihadang sekelompok orang sehingga tidak dapat turut serta dalam pencoblosan.

        “Jutaan orang (warga AS) telah mendukung kami,” kata Trump di East Room, Gedung Putih, Washington, AS, Rabu (4/11/2020) pagi waktu lokal.

        “Tapi sekelompok orang mencoba menghambat suara mereka dengan berbagai cara,” tambahnya. Saat itu Trump tertinggal dengan perolehan suara 213 berbanding 238 di 40 negara bagian.

        Trump mengakui ketertinggalannya dari Biden di beberapa negara bagian. Padahal sebelumnya dia sangat percaya diri dapat unggul atas Biden di negara bagian tertentu dan kembali menjabat sebagai presiden. Pebisnis yang beralih menjadi politisi itu bahkan sudah menyiapkan pesta selebrasi pada Rabu (4/11/2020) malam.

        “Upaya kecurangan merupakan sebuah kerugian besar bagi masyarakat AS. Ini merupakan tindakan yang memalukan bagi negeri ini (AS). Terus terang saja kami memenangi pilpres ini,” kata Trump. Dia kemudian mengatakan akan mengadu kepada Mahkamah Agung agar perhitungan suara dapat dihentikan.

        Ahli hukum demokrasi dari Republik Ben Ginsberg mengaku kecewa dengan ketidakpercayaan Trump terhadap penghitungan suara. Menurutnya, pernyataan Trump tidak hanya dapat membuat kekacauan, tetapi juga merugikan masyarakat AS yang sudah bekerja keras agar pilpres berjalan dengan jujur dan transparan.

        “Tuduhan Trump tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Jadi menurut saya pernyataan seperti itu sebaiknya tidak dilayangkan di hadapan publik,” kata Ginsberg seperti dikutip CNN.

        “Biarkanlah petugas bekerja dulu untuk menghitung suara yang masuk. Jika ingin protes, nanti saja setelah semuanya selesai dan jelas,” lanjutnya.

        Biden dan pendukungnya juga melayangkan keluhan serupa. Saat ini Biro Penyelidikan Federal (Federal Bureau of Investigation/FBI) menyelidiki panggilan asing yang diterima pendukung Biden beberapa hari sebelum pilpres bergulir. Panggilan otomatis itu meresahkan karena mengimbau mereka untuk tidak mencoblos.

        Para ahli menilai sekelompok oknum mencoba menakut-nakuti masyarakat secara halus agar mereka masuk dalam golongan putih (golput). Namun sampai berita ini diturunkan, motifnya tidak diketahui. Warga Medford, Massachusetts, Janaka Stucky, 42, mengaku sedikitnya menerima dua panggilan dalam sehari.

        “Awalnya saya berpikir ini merupakan imbauan resmi yang berkaitan dengan lockdown dan Covid-19. Tapi makin ke sini saya merasa aneh dengan imbauannya karena dikirim berkali-kali,” ujar Stucky, pendukung Demokrat, seperti dikutip Aljazeera. “Saya pun curiga panggilan ini semacam upaya peredaman suara.”

        Berdasarkan data perusahaan anti-robocall YouMail, panggilan otomatis tersebut dipasang pada hampir 90% kode area AS. Alex Quilici dari YouMail mengatakan, meski dimulai sejak Agustus silam, aktivitasnya meningkat tajam ketika semakin mendekati pilpres. Pada Oktober saja jumlahnya mencapai 10 juta panggilan.

        “Siapa pun yang menciptakan panggilan otomatis itu, dia merupakan orang pintar. Dia mampu menyembunyikan identitas dan lokasi panggilan asli,” kata Quilici.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: