Megawati Sebut Jakarta 1950 Indah, Saksi Hidup Jakarta Bantah: Banyak 'Keong'
Pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri soal kondisi Jakarta sekarang amburadul dibanding tahun 1950-an menuai perdebatan. Budayawan Betawi, Ridwan Saidi pun ikut menyampaikan pandangannya terkait Jakarta pada 1950.
Dia menceritakan, saat itu pemerintahan di Jakarta masih dipegang seorang wali kota, yakni Suwiryo. Di era tersebut, jabatan wali kota setara dengan gubernur. Kemudian, pada 1951, Suwiryo digantikan Wali Kota Solo, Sjamsuridjal hingga 1953.
Baca Juga: Budayawan Tampar Pernyataan Megawati: Dia Tak Cukup Pengetahuan
"Pada tahun 1950, itu Suwiryo baru datang dari Yogyakarta kan. Karena kita mengungsi itu enggak ada apa-apa. Masih sama dengan zaman kolonial tidak ada perubahan apa-apa ya," kata Ridwan dikutip dari VIVA di Jakarta, Kamis (12/11/2020).
Menurut dia, ketika itu di era Sjamsuridjal sampai 1953 melakukan pembangunan di tiga tempat, yaitu Karanganyar atau nama sebelumnya Rawa Puter. Kemudian, pembangunan di wilayah Galur dan Cempaka putih.
Saat itu, menurut dia, kondisi Jakarta masih kotor karena banyak gelandangan yang tidak memiliki rumah. Namun, perlahan itu bisa dibenahi.
"Waktu itu enggak ada indahnya, baru menampung orang dan banyak gembel yang dikatakan keong. Karena dia itu si gembel itu dia bikin rumah-rumahan dari plastik. Lantas, kalau pagi-pagi bangun tidur itu plastik dilipat digendong. Jadi, kita bilang keong," ujar Ridwan.
Pun, memasuki kepemimpinan selanjutnya dipimpin Soediro yang memimpin sejak 1953-1959. Di era Soediro, pembangunan juga dilakukan di daerah Grogol. Namun, kata dia, masih berantakan tidak menimbulkan kesan indah seperti saat ini.
"Jadi, yang diutamakan dulu pembangunan pemukiman-pemukiman terutama untuk PNS karena administrasi pemerintahan baru dibangun, tetapi, keindahan belum ada begitu. Jadi, jauh kalau dibandingkan Jakarta sekarang," kata Ridwan.
Ridwan mengaku mengikuti setiap perubahan yang ada di Jakarta sejak 1950 sampai sekarang. Maka itu, ia mengkritisi pernyataan soal Jakarta sekarang makin amburadul adalah salah. Pernyataan tersebut tidak ada rujukan jelas.
"Jadi, harus tunjukan buktinya, waktu itu kan becak di mana-mana. Lalu masih ada trem. Itu lebih susah lagi karena trem itu tidak bisa minggir. Kalau becak itu kan bisa minggir, trem tidak bisa minggir," lanjut sejarawan kelahiran 2 Juli 1942 tersebut.
Ia menyebut, tempat Jakarta pada 1950-an yang bagus bisa dihitung. Beberapa lokasi itu antara lain Pasar Baru dan Jalan Juanda. "Itu juga lebih susah keadaannya. Tempat-tempat yang bagus itu cuma Pasar Baru dan Jalan Juanda, itu pertokoan-pertokoan untuk orang elite," ujar Ridwan.
Kemudian, ia menambahkan, di tahun 1950-an, daerah Kota juga masih berantakan. Beda dengan sekarang. "Jadi, pada waktu itu Kota juga kotor kok. Kota kotor saya tahu karena suka keliling jadi saya tahu Jakarta pada waktu itu," katanya.
Nah, Jakarta menurut dia mulai serius berbenah di tahun 1960-an. Pemicunya karena Indonesia saat itu jadi tuan rumah Asian Games. Dengan demikian, gencar pembangunan di sejumlah wilayah Ibu Kota. Jakarta ketika itu sudah dipimpin Gubernur berlatar belakang militer yakni Soemarno Sosroatmodjo. Setelah itu, berlanjut dengan Gubernur Henk Ngantung.
"Periode kira-kira tahun 63 Jakarta mulai banyak pembangunan. Tahun 62 setelah Asian Games lalu pelebaran jalan. Lalu, kemudian (Sarinah) Thamrin, lalu Hotel Indonesia. Lalu itu, jalan by pass menuju ke Priok itu dibangun," ujarnya.
Untuk diketahui, Megawati mengatakan kondisi Jakarta amburadul. Menurutnya, kondisi Ibu Kota negara saat ini berbeda saat ia dan keluarga awal pindah ke Jakarta dari Yogyakarta di era 1950-an.
Dia bilang demikian karena Jakarta tidak berhasil meraih penghargaan city of intellect atau kota intelektual. Penghargaan kota intelektual merujuk riset yang dipimpin Ketua Senat dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas.
Baca Juga: Megawati Sebut Jakarta 1950 Indah, Saksi Hidup Jakarta Bantah: Banyak 'Keong'
Sementara itu, predikat penghargaan tersebut diraih Kota Semarang, Solo, dan Surabaya. Megawati pun membanggakan tiga kota tersebut yang dipimpin kader PDIP selaku wali kota.
"Terima kasih yang jadi peringkat kesatu, kedua, dan ketiga, Semarang, Solo, Surabaya. Itu adalah anak-anak dari partai saya," kata Megawati dalam acara Dialog Kebangsaan Pembudayaan Pancasila dan Peneguhan Kebangsaan Indonesia di Era Milenial secara virtual, Selasa (10/11/2020).
Megawati pun menceritakan istilah kota ilmu pengetahuan itu diingatnya dicetuskan oleh ayahnya yang tak lain sang proklamator Presiden pertama RI, Soekarno atau Bung Karno. Saat itu, Bung Karno pertama kali memberikan predikat 'Kota Mahasiswa' saat menandatangani prasasti gedung UNJ pada 1953.
Terkait itu, ia mengaku memang menitipkan pesan kepada kader PDIP yang menjadi kepala daerah agar menjadikan suatu kota sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban sebuah bangsa.
"Saya bila ke Hendi ketika saya rekomendasi, tugasmu cuma satu, bikin Kota Semarang jadi bagus," ujar Presiden kelima RI tersebut.
Baca Juga: Jarang Nongol, Sekalinya Nongol Eh Megawati Bikin Heboh
"Sama juga sama Rudy di Solo. Saya tugasi, tolong bikin rakyat di Solo nyaman. Saya dengar universitas di sana ini juga buka bagian boga. Bayangkan Kota Solo itu makanannya enak-enak. Saya pernah diajak kawan saya, mau salat Subuh, kembali salat Subuh lagi, untuk wisata kuliner, rasanya enak dan murah meriah," lanjut Megawati.
Adapun penghargaan kota intelektual berdasarkan riset oleh tim yang dipimpin Ketua Senat dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas. Ia pun menyayangkan, UNJ yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta, belum masuk kategori City of Intellect. Padahal, pencanangan status tersebut atau prasasti pertama kali ada justru berada di sana.
"Jadi, para akademisi, saya mohon sangat, secara akademis kita melihat kita ini tujuannya mau ke mana," ujar Megawati.
Dia pun membandingkan kondisi Jakarta saat ini yang amburadul. Berbeda saat ia awal pindah ke Jakarta dari Yogyakarta pada 1950.
"Karena saya juga saksi hidup di Jakarta ini, tetapi sekarang Jakarta ini jadi amburadul. Karena apa? Seharusnya jadi City of Intellect bisa dilakukan. Tata kota, masterplan-nya, siapa yang buat? Tentu akademisi, insinyur, dan sebagainya," tutur Megawati.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum