Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan disebut-sebut sebagai salah satu tokoh terkuat yang bakal meramaikan bursa calon presiden (capres) 2024.
Dalam berbagai hasil survei, Anies selalu menempati papan atas bakal calon presiden 2024 dengan elektabilitas rata-rata di tiga besar. Survei Populi Center yang dirilis pada November 2020 menyebut elektabilitas Anies 9,5%, terpaut tipis dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang unggul dengan elektabilitas 9,9%.
Di atas keduanya ada nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di puncak dengan elektabilitas 18,3%.
Baca Juga: Anies Jadi Sasaran, Tito Gak Bisa Seenaknya Ancam Copot Kepala Daerah
Paling tidak, ada dua modal kuat yang membuat Anies sejauh ini mampu menjadikan dirinya tokoh potensial capres 2024. Pertama, soal kedekatannya dengan pemilih dari kalangan Islam. Tak bisa dipungkiri polarisasi pemilih yang merupakan residu dari Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 masih terjadi hingga sekarang.
Pada posisi tersebut, Anies berpeluang didukung oleh kelompok Islam yang bukan bagian pendukung Jokowi di Pilpres 2019. Kedekatan Anies dengan kelompok Islam terkonfirmasi dengan sikapnya yang secara terbuka menunjukkan kedekatan dengan tokoh Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, termasuk juga dengan gerakan kelompok 212 yang notabene jadi penentang Ahok saat menjabat gubernur DKI.
Suara kelompok Islam yang selama ini beroposisi dengan Jokowi bisa jadi akan mendukung Anies saat maju di pilpres.
Kedua, elektabilitas Anies naik seiring dengan capaiannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Terlepas dari prokontra, faktanya DKI di bawah kepemimpinan Anies mendapatkan sejumlah penghargaan nasional dan internasional, di antaranya di bidang transportasi.
Faktor lainnya adalah kinerja dalam menangani pandemi Covid-19. Jakarta sebagai ibu kota negara dan menjadi episentrum penularan virus Covid-19 tak pelak menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat. Kebijakan kesehatan, ekonomi, dan sosial yang dibuat Anies dalam membantu masyarakat Jakarta selama pandemi dengan sendirinya bernilai politik. Panggung kemanusiaan pun pada akhirnya—entah disengaja atau tidak—berubah menjadi panggung politik. Benefit ini antara lain yang membuat Anies tampil menjadi figur capres potensial.
Namun, di sini pula potensi kelemahan Anies sebagai kepala daerah yang berpeluang jadi capres. Ini juga berlaku bagi kepala daerah lain seperti Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Jika pandemi berakhir atau ketika periode masa bakti sebagai gubernur berakhir, maka panggung politik pun akan surut.Anies akan mengakhiri jabatan pada 2022 atau dua tahun jelang pilpres. Sedangkan Ganjar dan Ridwan Kamil, akan mengakhiri masa jabatan pada 2023, serta Khofifah pada 2024.
Menurut pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, kondisi tersebut akan membuat para gubernur jadi kehilangan “panggung” untuk menjaga elektabilitasnya.
Qodari menilai, elektabilitas para gubernur bisa saja turun jika pandemi berakhir karena selama ini eksposure memang paling banyak terjadi kepada mereka. Terlebih Anies dengan Jakarta yang eksposurenya nasional.
“Apakah elektabilitas gubernur ini akan bertahan atau tidak, kita lihat nanti karena untuk tampil di pilpres tentu tidak sekadar perlu momentum pandemi,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Jika pun mampu mempertahankan elektabilitas, hambatan lain yang akan dihadapi Anies dan gubernur lain adalah dukungan partai politik. Sebagai figur nonparpol, mereka akan bersaing dengan elite parpol untuk mendapatkan jatah kursi capres.
Pada umumnya parpol telah memiliki calon yang tak lain adalah ketua umum masing-masing. Partai Gerindra misalnya, hampir pasti akan mengusung ketua umumya Prabowo Subianto. Partai Golkar pun demikian, akan mengajukan ketua umumnya Airlangga Hartarto.
PDI Perjuangan kemungkinan akan mengusung Puan Maharani yang tak lain anak dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Partai menengah seperti Demokrat dan PKB sudah memiliki Agus Harimurti Yudhoyono dan Muhaimin Iskandar, minimal untuk jabatan cawapres.
Lalu kendaraan politik apa yang tersisa untuk capres dari nonparpol?
Baca Juga: Habib Rizieq Siap Diperiksa Polisi, dengan Syarat...
Satu-satunya jalan bagi figur seperti Anies dalam memperoleh karpet merah dari parpol adalah elektabilitas yang sangat tinggi. Ini sudah dibuktikan Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2014. Saat itu, meski Jokowi yang juga gubernur DKI bukan elite parpol, namun dengan popularitas dan elektabilitas yang tinggi, dia akhirnya mampu menarik banyak partai untuk mendukungnya.
Hanya bedanya, saat maju menjadi capres, Jokowi masih menjabat gubernur DKI sehingga masih memiliki panggung. Sedangkan Anies harus mengakhiri jabatan sebagai gubernur Ibu Kota dua tahun sebelum masa pencoblosan pilpres.
Artinya, untuk dapat menjaga dan menaikkan elektabilitasnya sebagai bakal capres, Anies memerlukan panggung lain biar nanti tidak benar-benar “menganggur” usai meletakkan jabatan. Panggung seperti apa? Kita lihat nanti.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti