Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Aktivis Lingkungan Ingatkan Bahaya Mikroplastik Kemasan Air Galon Sekali Pakai

        Aktivis Lingkungan Ingatkan Bahaya Mikroplastik Kemasan Air Galon Sekali Pakai Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Organisasi lingkungan Indonesia, Ecoton menolak penggunaan kemasan plastik sekali pakai termasuk kemasan galon air sekali pakai. Selain akan menghabiskan sumber daya alam, ada potensi yang lebih mengkhawatirkan lagi dari galon sekali pakai ini, yaitu kehadiran miroplastiknya.

        Peneliti Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho melihat produsen air kemasan galon sekali pakai mencari kesempatan untuk menggunakan momentum pandemi Covid-19, dengan mengatakan produk mereka lebih hygienis. Karena saat ini masyarakat sangat mengkhawatirkan kesehatannya. 

        “Produsen galon sekali pakai ini telah melakukan greenwashing seolah-olah dia peduli lingkungan, tapi ternyata ketika ditelusuri lebih lanjut itu hanya klaim mereka supaya produk galon sekali pakai ini dibeli masyarakat. Padahal kalau karena masalahnya hygienis, galon guna ulang hygienis kok,” ungkapnya. Baca Juga: Tingkatkan Ketahanan Pangan Keluarga di Masa Pandemi, Bisa Lewat Plastik Bekas Lho...

        Andreas mengatakan bahwa cara yang paling benar dalam mengurangi sampah plastik adalah reduce (mengurangi) penggunaan plastik, kemudian reuse (menggunakan secara berulang) dan kalau sudah mentok baru recycle (mendaur ulang). Kehadiran galon sekali pakai ini menunjukkan progam pengelolaan sampah yang digerakkan pemerintah selama ini melalui 3R (reduce, reuse, recycle) menjadi sia-sia. 

        “Karena, dengan mengijinkan galon sekali pakai ini beredar di masyarakat,  pola pikirnya masih mendahulukan recycle,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/1/2020).

        Dia mengatakan alasan produsen galon sekali pakai yang menganggap kemasannya masih bisa di-recycle tidak bisa dibenarkan. Apalagi belum ada rekam jejak produsen itu dalam melakukan upaya daur ulang. Meskipun bisa di daur ulang pasti galon sekali pakai ini tetap akan menambah banyak mikroplastik yang dilepas ke alam. 

        Potongan-potongan plastik itu berpotensi menjadi transporter bahan-bahan berbahaya yang ada di lingkungannya. Karena plastik itu adalah zat kimia, maka bisa mengganggu kesehatan manusia. 

        Jadi menurut Andreas, kalau yang lebih didahulukan itu daur ulang atau recycle-nya, kita menganggap itu adalah penyelesaian masalah sampah plastik yang salah. Langkah itu tidak akan mengurangi sampah yang kita hasilkan. 

        “Tapi kadang-kadang kita terbalik, yang diutamakan itu recycle-nya seperti yang dilakukan produsen galon sekali pakai yang ditolak kehadirannya oleh para aktivis lingkungan,” ujar Andreas.

        Karenanya, Andreas menyarankan agar pemerintah mengubah defenisi sirkular ekonomi. Menurutnya, sirkular ekonomi bukan hanya dalam bentuk ekonomi semata, tapi bagaimana masyarakat juga bisa bertanggung jawab dengan pola konsumsi mereka. Maka ketika masyarakat sadar bahwa yang dikonsumsinya  itu menjadi sampah, maka mereka tidak harus mengulangi pemakaian terhadap produk itu. 

        “Seharusnya yang dimaksud sirkular ekonomi itu seperti itu, dan ini yang tidak dibentuk oleh pemerintah,” tukasnya. 

        Dikatakan, biasanya lingkungan selalu kalah dengan hitung-hitungan ekonomi. Ini yang menyebabkan ketika industri mengklaim itu menjadi sesuatu yang bisa di-recycle, pemerintah langsung mengijinkannya. Seharusnya penolakan sampah itulah yang utama kalau pemerintah mau benar-benar melakukan pengolahan sampah yang bernama plastik ini. 

        “Dimana harus ada pembatasan untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai,” ucapnya. 

        Apalagi menurut Andreas, hanya 20% saja dari sampah plastik itu yang benar-benar bisa di-recycle, sisanya sebanyak 80% adalah downgrade atau sudah tercemar. Kehadiran galon sekali pakai ini bisa dipastikan akan menambah sampah plastik yang ada di Indonesia dan lebih membahayakan lingkungan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: