3 Dekade Kudeta Militer yang Sukses Buang Burma dan Lahirkan Myanmar, Bagaimana Prosesnya?
Militer Myanmar merebut kekuasaan sah dalam kudeta yang berlangsung pada Senin (1/2/2021). Dalam catatan sejarahnya, ini merupakan coup d'etat ketiga kalinya sejak lepas dan merdeka dari Inggris pada 1948.
Dilansir The Indian Express, Kamis (4/2/2021), angkatan bersenjata Myanmar terus membuat ulah kontroversial hingga terakhir pada tahun 1988. Pasca-kudeta tahun itu, keputusan yang paling diributkan selama beberapa adalah ketika melakukan perubahan nama negara.
Baca Juga: Komunikasi Pasca-kudeta Kacau Balau, 600.000 Rakyat Myanmar Gercep Unduh Aplikasi Pesan Offline Ini
Bagaimana Burma menjadi Myanmar
Ketika imperialis Inggris mencaplok wilayah Myanmar pada abad ke-19, dahulu daerah itu bernama Burma. Nama Burma diambil dari kelompok etnis paling dominan yakni Burman (Bamar) yang ketika itu menjadi bagian dari wilayah kolonial India. Pengaturan ini berlanjut hingga 1937, ketika Burma dipisahkan dari British India dan dijadikan koloni terpisah.
Selepas berpisah dari Inggris dan menyatakan kemerdekaannya tahun 1948, Myanmar tetap menggunakan nama 'Union of Burma'. Baru pada tahun 1962 ketika militer mengambil alih pemerintahan sipil untuk pertama kalinya, sesuatu yang baru pun terjadi.
Militer di tampuk kekuasaannya mengubah nama resmi negara pada tahun 1974 menjadi 'Socialist Republic of the Union of Burma'.
Kemudian pada tahun 1988, angkatan bersenjata Myanmar kembali mengambil alih kekuasaan di negara itu, setelah menekan pemberontakan populer yang menyebabkan kematian ribuan orang. Usai kejadian tersebut, mereka mengubah nama resminya menjadi 'Union of Burma'. Tapi setahun kemudian, junta mengadopsi undang-undang yang menggantikan Burma dengan Myanmar, menjadikan negara itu 'Union of Myanmar'.
Sejumlah tempat lain di negara itu juga melihat nama mereka berubah. Termasuk ibu kota saat itu, yang sebelumnya Rangoon menjadi ke Yangon. Sementara sejak 2005, ibu kotanya adalah Naypyidaw, yang 370 km ke utara dari Yangon.
Mengapa perubahan nama itu kontroversial
Saat mengubah nama negara, militer mengatakan bahwa mereka sedang mencari cara untuk meninggalkan nama yang diwarisi dari masa lalu kolonial. Mereka segera mengadopsi nama yang baru yang dapat menyatukan semua dari 135 kelompok etnis yang diakui secara resmi, dan bukan hanya orang Burman.
Kritikus mengecam langkah tersebut, dengan alasan bahwa Myanmar dan Burma memiliki arti yang sama dalam bahasa Burma, hanya saja 'Myanmar' adalah cara yang lebih formal untuk mengatakan 'Burma' –sebuah kata yang digunakan dalam bahasa sehari-hari.
Perubahan nama lain juga, seperti Rangoon menjadi Yangon, hanya mencerminkan kesesuaian yang lebih besar dengan bahasa Burma, dan tidak lebih. Selain itu, perubahan nama hanya terjadi dalam bahasa Inggris. Bahkan dalam bahasa Inggris, bentuk kata sifat tetap (dan terus bertahan) dalam bahasa Burma, dan bukan Myanmar.
Para simpatisan prodemokrasi mengatakan bahwa pergantian nama itu tidak sah, karena tidak diputuskan oleh rakyat. Akibatnya, banyak pemerintah di seluruh dunia yang menentang junta memutuskan untuk mengabaikan perubahan nama, dan terus menyebut negara itu Burma dan ibu kotanya Rangoon.
Jadi, kapan 'Myanmar' mulai diterima?
Pada tahun 2010-an, rezim militer memutuskan untuk melakukan transisi negara menuju demokrasi. Meskipun angkatan bersenjata tetap kuat, lawan politik dibebaskan dan pemilihan diizinkan diadakan.
Pada 2015, partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang saat ini ditahan memenangkan mayoritas kursi di parlemen nasional, sebuah prestasi yang diulangi pada 2020.
Karena debat Myanmar vs Burma menjadi kurang terpolarisasi, sebagian besar pemerintah asing dan organisasi internasional memutuskan untuk mengakui Myanmar sebagai nama resmi. Banyak pemerintah, seperti Australia, memutuskan untuk menggunakan Burma dan Myanmar, sebagai sarana untuk memberi sinyal dukungan bagi transisi demokrasi di dalam negara dan pada saat yang sama mengikuti protokol diplomatik.
Suu Kyi, yang menjadi pemimpin sipil negara itu pada tahun 2016, juga menyatakan dukungannya untuk menggunakan Myanmar atau Burma.
Namun, tidak semua negara mengikuti. AS tetap menjadi salah satu dari sedikit negara yang tidak mengenali nama resmi saat ini.
Ini disoroti setelah kudeta terbaru terjadi pada hari Senin, ketika Presiden Joe Biden mengatakan dalam sebuah pernyataan, “Amerika Serikat mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir berdasarkan kemajuan menuju demokrasi. Pembalikan kemajuan itu akan membutuhkan peninjauan segera terhadap undang-undang sanksi kami. "
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: