Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Gila! Pengadilan AS Pelan-pelan Korek Bukti Serbuan Capitol, Bukan Serangan Tiba-tiba, tapi...

        Gila! Pengadilan AS Pelan-pelan Korek Bukti Serbuan Capitol, Bukan Serangan Tiba-tiba, tapi... Kredit Foto: Getty Images/Samuel Corum
        Warta Ekonomi, Washington -

        Setelah melakukan penelusuran, pengadilan Amerika Serikat menemukan bukti kuat yang menunjukkan, serangan ke Gedung Capitol pada 6 Januari lalu bukan serangan tiba-tiba, tapi sebuah serangan terencana.

        Diberitakan Channel News Asia, Rabu (10/2/2021), semuanya berawal dari cuitan mantan Presiden Donald Trump pada 19 Desember 2020 yang berbunyi: "Protes besar di DC pada 6 Januari. Hadirilah, dan menggilalah!"

        Baca Juga: Pemakzulan Trump Lagi-lagi Dibumbui Konspirasi, Sebut Ada Dukungan di Balik Serbuan Capitol

        Lalu ditemukan cuitan balasan yang mengacu pada rencana demo. "Kami akan kesana," jawab salah satu pengikut Trump, Gina Bisignano, seorang pemilik salon di Beverly Hills, pada 19 Desember lalu.

        Sementara Ethan Nordean di Washington dan Eneique Tarrio di Florida tengah bertemu virtual untujkmembahas acara penyerbuan pada 6 Januari.

        Dokumen pengadilan menyebut, pemimpin serangan ke Gedung Capitol, setidaknya yang paling tampak terorganisir, adalah Proud Boys dan Oath Keepers. Disebutkan bahwa perencanaan dilakukan oleh Nordean dan Tarrio, yang merupakan pimpinan Proud Boys, kelompok sayap kanan yang dikenal ekstrem.

        Menurut dokumen pengadilan, Nordean pada 27 Desember menyerukan kepada para pengikutnya untuk menggalang dana guna membeli alat pelindung dan perlengkapan komunikasi.

        Sepekan kemudian, dia dan Tarrio memberitahu pengikut mereka dalam sebuah podcast untuk memakai pakaian serba hitam dan menyatakan mereka harus siap bertempur. "Kita dipandang hampir seperti tentara sayap kanan. Hal ini nyata. Kita sedang berperang," cetus Tarrio dalam podcast itu.

        Tak jauh berbeda, Thomas Caldwell yang disebut sebagai komandan Oath Keepers, kelompok sayap kanan yang beranggotakan mantan tentara dan polisi yang dikenal kasar, didakwa merencanakan tindak kekerasan serius. Dia berangkat dari Berryville, Virginia yang berjarak 100 kilometer dari Washington DC.

        Dokumen pengadilan menyebut Caldwell mengatur rencana bertemu di luar Washington DC dengan para anggota milisi bersenjata di sekitar kawasan itu.

        Dalam jajaran Proud Boys atau Oath Keepers, juga di kalangan pendukung konspirasi Qanon dan penggemar berat Trump, pesannya jelas sejak awal: Trump ingin kalian bergerak ke Washington untuk menghentikan Kongres mengesahkan kemenangan Joe Biden pada 6 Januari.

        Usai cuitan Trump pada Desember 2020, banyak pendukungnya yang mengumumkan rencana pergi ke Washington DC, dengan beberapa di antara mereka, murni ingin bergabung dalam aksi mendukung Trump untuk terakhir kalinya. Namun yang lain berbicara soal penghentian pengesahan dan menyakiti “para pengkhianat” di Kongres AS.

        Dokumen pengadilan menyebut, orang-orang itu melakukan persiapan, dengan puluhan di antaranya membawa helm tempur, senjata kejut listrik, rompi pelindung tubuh, perlengkapan komunikasi dan semprotan merica. Beberapa orang bahkan membawa senjata api.

        Malam sebelum 6 Januari, seseorang meletakkan bom pipa di dua lokasi berbeda dekat Gedung Capitol. Bom itu ternyata tidak meledak dan mungkin dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian polisi saat penyerbuan Gedung Capitol dimulai.

        Usai penyerbuan terjadi, orang-orang tersebut menyatakan mereka telah berhasil, melakukan apa yang mereka rencanakan terhadap Gedung Capitol.

        Sidang Pemakzulan Tetap Dilanjutkan

        Sementara 56 Senator mendukung sidang pemakzulan Trump dilanjutkan, termasuk enam Senator dari Partai Republik. Mereka menyatakan sidang pemakzulan itu sesuai dengan Undang-Undang. Hanya 44 Senator yang menolak pemakzulan dilanjutkan.

        Enam Senator Partai Republik yang mendukung pemakzulan Trump adalah Bill Cassidy dari Louisiana, Susan Collins dari Maine, Lisa Murkowski dari Alaska, Ben Sasse dari Nebraska, Pat Toomey dari Pennsylvania, dan Mitt Romney dari Utah.

        Bill mulanya menolak pemakzulan, tetapi sikapnya berubah dalam pemungutan suara di Kongres pada Selasa (9/2/2021).

        "Saya mengatakan memutuskan hal itu dengan pikiran terbuka," kata Cassidy.

        Kuasa Hukum Trump, David Schoen, menyatakan keberatan jika sidang pemakzulan Trump digelar. Dalam argumen yang disampaikan selama empat jam, Schoen mengatakan, upaya pemakzulan yang diusulkan Partai Demokrat di Dewan Perwakilan itu penuh dengan kebencian karena mereka merasa akan kehilangan kekuasaan.

        Selain itu, Schoen mengatakan sidang pemakzulan itu bisa berdampak merusak kepercayaan penduduk AS. Selain itu, dia juga mengatakan, upaya pemakzulan itu tidak sesuai Undang-Undang, karena Trump sudah tidak menjabat.

        Sebelumnya, Trump menuduh ada indikasi kecurangan dalam Pemilihan Umum 2020, yang sayangnya, sampai saat ini tidak bisa dibuktikan.

        Ketika peristiwa penyerbuan Gedung Capitol terjadi, Kongres tengah menggelar rapat untuk mengesahkan hasil Pemilu Presiden 3 November 2020. Alhasil, rapat itu harus ditunda dan dilanjutkan pada 7 Januari, dengan mengesahkan kemenangan Joe Biden dan Kamala Harris dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: