Netizen menyindir cuitan akun Twitter milik penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan atas meninggalnya Ustadz Maaher. Novel dalam cuitannya bernada menyalahkan kepolisian.
"Innalillahi Wainnailaihi Rojiun. Ustadz Maaher meninggal di rutan Polri. Pdhl kasusnya penghinaan, ditahan, lalu sakit. Org sakit, kenapa dipaksakan ditahan? Aparat jgn keterlaluanlah.. Apalagi dgn Ustadz. Ini bukan sepele lho..," tulis Novel di akun twitternya.
Postingan tersebut juga menyertakan tautan link berita Warta Ekonomi Online, yang berjudul 'Polri Beri Cerita soal Kronologi Kematian Ustadz Maaher At-Thuwailibi.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengemukakan bahwa postingan di media sosial seperti yang dilakukan Novel dapat membuat publik menyalahartikan berita. Sebab, dalam berita WE Online tersebut sama sekali tidak ada yang menunjukkan pemaksaan penahanan oleh Polisi kepada almarhum Soni Eranata alias Ustadz Maaher.
"Jadi ada dua kemungkinan dalam postingan seperti ini. Pertama, Novel tidak membaca utuh berita. Kedua, ada kemungkinan Novel sengaja melakukan framing untuk membangun sentimen publik,” ucapnya.
Karyono menekankan, motif seseorang di publik itu bisa dilihat dengan melacak postingan tersebut yang tidak relevan dengan isi berita. Hal yang menarik di sini, Novel Baswedan merupakan pejabat penyidik KPK yang seharusnya memiliki integritas.
"Novel mestinya memiliki literasi yang baik, oleh karena itu menurut saya, statement Novel cenderung pada motif kedua, yang tujuannya untuk membangun sentimen publik terhadap institusi Polri,” jelasnya.
Hal ini semakin menguatkan pendapat publik bahwa Novel Baswedan selama ini sebagai bagian dari kelompok Islam garis keras seperti FPI.
"Politik identitas sebagai politik elektroral masih menyisakan residu. Ini membangun stigma publik tertentu terhadap Novel Baswedan, karena Novel baswedan turut memberi kontribusi terhadap meruncingnya politik identitas,” jelasnya.
Hingga tulisan ini dibuat, postingan Novel mendapat komentar hingga sekitar 2.000 komentar, 3.750 retweet dan 470 tweet kutipan, serta 12,5 ribu likes. Sementara pada kolom komentar terdapat 7 postingan, dan hampir semua pembaca memberikan komentar tidak ada konteks dengan isi berita. Melainkan, senada dengan cuitan Novel di Twitter.
Lebih jauh Karyono menegaskan, hal ini menunjukkan bahwa cuitan Novel di Twitter membuat para pembaca terkena logical fallacy atas pemberitaan media.
"Pengecohan itu secara sengaja atau tidak didasari oleh kesalahan berpikir atau yang sering disebut dengan logical fallacy. Biasanya pelaku logical fallacy seakan-akan menutup mata dan membiarkan ketidakmampuannya berpikir secara kritis sebagai argumen," tegasnya.
Karena jika dianalisis, cuitan Novel sebagai pejabat publik itu sendiri tidak dapat dikonfirmasi ketika mengatakan "Aparat jgn keterlaluanlah.. Apalagi dgn Ustadz. Ini bukan sepele lho.."
Akun @Txtdaripolitikus yang mengomentari cuitan Novel justru memberikan keterangan, bahwa kepolisian melakukan penahanan atas laporan dari pihak NU.
"Emang harus beda ya perlakuannya yg ngaku ustadz? Skrg gini... yang keterlaluan siapa ya? Yg menghina Habib Lutfi @Official_Ansor hingga Gus Dur @GUSDURians apakah itu ngga keterlaluan? ko kementar ente kaya kesannya tidak melihat itu ya? @NUgarislucu," tulis akun Txtdaripolitikus.
Sebagai informasi, almarhum Soni Eranata dilaporkan oleh berbagai kalangan Nahdlatul Ulama (NU) seperti Habib Husin Alwi Shihab dan organisasi Banser pada akhir November 2020. Adapun Soni Eranata pemilik akun Twitter @ustadzmaaher_ ditangkap kepolisian pada 3 Desember 2020. Akun Twitter miliknya pun terakhir melakukan postingan pada 2 Desember 2020.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: