Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Fatwa Haram MUI untuk Buzzer, Pengamat: Percuma...

        Fatwa Haram MUI untuk Buzzer, Pengamat: Percuma... Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pengamat politik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Idil Akbar menilai, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan aktivitas buzzer sangat menarik dan patut direspons oleh pemerintah.

        Hanya saja, Fatwa MUI itu juga harus memiliki dasar yang bisa dijelaskan kepada masyarakat, terutama indikator tingkat keharaman buzzer.

        Baca Juga: MUI Haramkan Buzzer, Tengku Zul Nyeletuk: Gak Malu?!

        "Itu harus betul-betul dipikirkan dan betul-betul disampaikan oleh MUI. Saya sebetulnya kalau melihat dinamika sosial di masyarakat, keberadaan buzzer ini dirasakan cukup mengganggu," kata Idil saat dihubungi, Selasa (16/2/2021).

        Beberapa waktu lalu, kata Idil, pemerintah sebenarnya sudah menyampaikan akan menertibkan buzzer sehingga hal ini juga perlu dapat dukungan luas dari masyarakat. Dengan begitu, para buzzer politik ini nantinya tidak lagi menimbulkan kegaduhan dan kembali pada khittahnya (garis pedoman) bahwa mereka ini sebagai influencer, bukan orang-orang yang kemudian bekerja membuat dinamika politik makin rumit dan bermasalah.

        "Mereka memperoleh keuntungan dari keruwetan itu. Apa yang dilakukan MUI perlu didukung asal memiliki, ada penyampaian dasar yang kuat mengenai fatwa tersebut," tandasnya.

        Soal efektivitas Fatwa MUI tersebut terhadap aktivitas buzzer, Idil melihat permasalahannya adalah sejauh mana tingkat kepatuhan terhadap fatwa itu. Sebab, beberapa contoh kasus sebelumnya, fatwa MUI sering kali diabaikan. Jadi, pada akhirnya kembali ke pemerintah untuk ikut menertibkan buzzer dan diikat secara hukum.

        "Jika memang kedapatan mereka melakukan aktivitas-aktivitas buzzer yang merugikan banyak orang dan menimbulkan isu-isu negatif, isu yang bisa memecah belah, saya kira memang harus ditindak secara normatif oleh hukum-hukum positif," sarannya.

        "Artinya, fatwa itu harus didukung oleh hukum-hukum positif tersebut. Karena kalau tidak, fatwa tidak cukup kuat. Meskipun Indonesia mayoritas Islam, tingkat kepatuhan terhadap fatwa itu rendah. Saya pikir harus diimbangi dengan hukum positif oleh negara," pungkas Idil.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: