Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Polemik Kata Umum dalam Pendaftaran Merek Menggangu Iklim Usaha dan Kepastian Hukum?

        Polemik Kata Umum dalam Pendaftaran Merek Menggangu Iklim Usaha dan Kepastian Hukum? Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pendaftaran suatu merek merupakan aspek penting bagi para pemilik merek. Selain untuk memperoleh kekuatan hukum juga agar merek tersebut diakui keberadaannya oleh konsumen. Pemilik produk sering kali memberi merek untuk membedakan produknya dengan penggunaan kalimat dan atau kata yang mencerminkan asosiasi yang tinggi pada produk tersebut baik secara bentuk, fungsi maupun kualitasnya. Tujuannya agar mempermudah konsumen dalam menentukan produk yang akan dikonsumsi.

        Pada era perdagangan bebas, dan konektivitas rantai pasok global menjadikan banyak ditemukan jasa dan/atau produk yang menggunakan suatu merek, yang menggunakan unsur-unsur kata atau kalimat yang hampir serupa antara satu sama lainnya. Akibatnya, tidak saja berpotensi menimbulkan konflik di antara pemilik merek tersebut, tetapi juga berpotensi menimbulkan kebingungan bagi konsumen dari jasa dan/atau produk tersebut. Selain pada aspek konsumen, perhatian juga harus diberikan kepada para pelaku dunia usaha baik dalam dan luar negri yang berada di wilayah hukum Republik Indonesia yang kian menggeliat yang secara langsung memerlukan iklim usaha yang kondusif dan yang terpenting kepastian hukum dalam menjalankan aktivitas serta pengembangan investasinya di tanah air.

        Sebagai contoh, di luar negeri telah terjadi suatu kasus dimana Perusahaan Food & Beverages asal India yang menggugat perusahaan pelopor mi instan atas penggunaan merek “Maggixtra - delicious Magical Masala”. Menurut Penggugat, Tergugat telah melakukan pendaftaran merek “Maggixtra - delicious Magical Masala” dengan itikad tidak baik dan bertujuan untuk mendompleng keterkenalan merek “Sunfeast Yippie! Noddles Magic Masala” milik Penggugat.

        Baca Juga: Berebut Merek Pasta Gigi dengan Orang Tua, Unilever Berharap Keadilan

        Selain itu, penggunaan kata kemasan pada produk mi instan Tergugat juga dipermasalahkan sebagai Tindakan Passing-Off oleh Penggugat. Namun, dalam sengketa tersebut, Majelis Hakim menolak gugatan tersebut. Majelis Hakim berpendapat bahwa penggunaan kata “Magic” atau “Magical” merupakan kata umum yang bersifat menonjolkan rasa dari kedua produk dan kata “Masala” adalah jenis garam yang diolah dengan dari rempah-rempah dan merupakan istilah yang umum dalam industri makanan.

        “Secara empirik, contoh kasus sengketa di atas mencerminkan adanya persaingan bisnis yang kurang sehat. Sejatinya perilaku konsumen saat ini membuat persaingan usaha antar perusahaan tumbuh dengan baik." ungkap Suwantin Oemar, selaku Ketua Institut Pandya Astagina.

        Loyalitas konsumen akan suatu produk merupakan proses yang tidak secara langsung berhubungan dengan penggunaan sebuah kata/nama/istilah sebagai merek. Melalui perkembangan dan perjalanan sebuah produk kadangkala membuat pemilihan nama menjadi sangat umum sebagai bentuk pemahaman kebutuhan dan karakter konsumen hingga saat ini, sehingga dipandang wajar penggunaan istilah yang mudah melekat di benak konsumen sebagai sebuah merek.

        Mencermati fenomena sengketa merek tersebut serta mengingat hal tersebut di atas juga terjadi di Indonesia, maka Institut Pandya Astagina bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI) menggelar ruang diskusi virtual atau webinar pada hari ini, Senin 22 Februari 2021 dengan tema "Itikad Tidak Baik dalam Penggunaan Kata Umum (Deskriptif) Sebagai Merek & Bagaimana Membangun Daya Pembeda Suatu Merek Agar Menjadi Distinctive Dibandingkan Merek Lain yang Sudah Terdaftar."

        “Kami berharap melalui webinar ini, dapat menjadi ruang diskusi untuk menghasilkan tolak ukur dan pertimbangan yang tepat dari Kantor Merek, hakim, dan/atau pejabat terkait dalam menilai apakah suatu merek memiliki unsur kata umum/deskriptif, serta menyepakati secara luas unsur-unsur yang dapat dianggap sebagai ‘daya pembeda” atas suatu merek.” tambah Suwantin.

        Baca Juga: Walah-Walah! Nestle Obral Merek Pure Life Senilai US$4,3 Miliar Gara-Gara....

        Polemik dan sengketa kasus serupa bukan tidak mungkin terjadi di wilayah hukum Republik Indonesia, untuk itu sebagai pemangku kepentingan serta praktisi pada keilmuan hukum kami semua ingin menghadirkan diskusi yang konstruktif serta mampu memberikan pencerahan, serta pertimbangan logis kepada para pembuat kebijakan melalui pendekatan yuridis yang berlaku tanpa mengabaikan aspek kearifan lokal yang menjadi pedoman tidak tertulis dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Kami yang terlibat dalam kegiatan ini juga mendorong dan mempromosikan sistem peradilan yang transpraran dan beritegritas, yang pada akhirnya akan mendukung terciptanya rasa keadilan di masyarakat dan tercapainya kepastian hukum secara berkelanjutan.

        “Kami menyambut baik ruang diskusi dalam webinar ini dan berharap dapat memberikan gambaran kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak terkait, terutama pemilik merek, serta memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pelaku usaha dan masyarakat mengenai praktek penggunaan dan pelanggaran merek di Indonesia.” ungkap Ibrahim, Hakim Agung Mahkamah Agung RI.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: