Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kemen-LHK: Lewat PP Ini, Masalah Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Bisa Diselesaikan

        Kemen-LHK: Lewat PP Ini, Masalah Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Bisa Diselesaikan Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen-LHK) mencatat, terdapat 3.372.615 hektare lahan kelapa sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan Indonesia. Lahan tersebut terdiri dari 1.497.421 hektare merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT); 1.127.428 hektare merupakan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK); dan Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 501.572 hektare.

        Sementara itu, kelapa sawit tumbuh pada 155.119 hektare Hutan Lindung dan 91.074 hektare Hutan Konservasi Indonesia. Menurut Sekjen Kemen-LHK, Bambang Hendroyono, masalah kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan ini merupakan hal yang urgen diselesaikan lewat UU Cipta Kerja.

        Baca Juga: Pasokan Melimpah, Ekspor Kelapa Sawit Turun 7,7%

        "Masalah kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan ini merupakan hal yang urgen diselesaikan lewat UU Cipta Kerja. Sebagai turunannya sudah dibuat PP nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP Dari Denda Adminisstrasi Bidang Kehutanan. Lewat aturan ini, semua masalah perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan bisa diselesaikan," ungkap Bambang Hendroyono dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR-RI, Rabu (17/3/2021).

        Mekanisme penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan dijelaskan dalam Pasal 110 A dan 110 B. Pasal 110 A dikenakan kepada perusahaan dan perkebunan rakyat yang ketika berdiri memang berada di luar kawasan hutan, kemudian ada perubahan peraturan masuk dalam kawasan hutan.

        Perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun, memiliki izin lokasi dan izin usaha bidang perkebunan yang sesuai dengan tata ruang, terletak di kawasan hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan. Setelah mendapat persetujuan pelepasan harus membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) atau denda pengenaan sanksi administratif.

        Sementara yang berada dalam kawasan Hutan Lindung tidak bisa pelepasan, tetapi masih boleh melanjutkan usahanya 15 tahun setelah tanam, harus bermitra dengan masyarakat, dan tidak boleh replanting.

        "Perkebunan rakyat yang dari awal memang sudah benar berada di luar kawasan, kemudian ada penunjukkan masuk dalam kawasan, bisa dilepas. Prioritas pelepasan adalah masyarakat. Mereka juga tidak dikenakan denda administratif. Kawasan transmigrasi yang banyak memiliki kebun sawit eks PIR juga bila masih berada dalam kawasan hutan akan segera dilepaskan sebab dari awal memang sudah ditetapkan bukan kawasan hutan," kata Bambang.

        Pasal 110 B dikenakan pada perusahaan yang sejak awal memang sudah berada dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah dan sudah melakukan kegiatan. Apabila berada dalam Hutan Produksi, perusahaan boleh tetap beroperasi setelah membayar denda administratif, tetapi lahannya tetap kawasan hutan dengan persetujuan penggunaan kawasan hutan. Bila berada dalam hutan lindung, selain membayar denda admistratif juga harus mengembalikan kawasan hutan pada negara.

        Sementara untuk perkebunan rakyat, apabila terbukti sudah diam di sekitar kawasan hutan selama minimal 5 tahun dan luas kebun maksimal 5 hektare, diizinkan mengelola kebun tanpa denda administratif, masuk dalam mekanisme perhutanan sosial. "Kita memberi kesempatan mereka meningkatkan produktivitas sehingga kesejahteraan meningkat. Lahan yang digunakan tetap masuk dalam kawasan hutan," kata Bambang.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: