Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menakar Kelayakan Diskon PPnBM di Tengah Melemahnya Daya Beli

        Menakar Kelayakan Diskon PPnBM di Tengah Melemahnya Daya Beli Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        China berhasil membangkitkan pertumbuhan penjualan mobil hingga 15 persen (y-o-y) pada Mei 2020 lalu. Resepnya, memberikan insentif berupa subsidi penjualan mobil baik untuk tipe emisi rendah maupun konvensional.

        Hal serupa ditiru Malaysia dan Thailand. Negeri Jiran itu membebaskan pajak mobil baru pada awal Juni 2020 melalui program pemulihan ekonomi. Pembebasan pajak penjualan sepenuhnya berlaku untuk mobil rakitan lokal (CKD) dan diskon pajak 50 persen untuk model impor utuh (CBU) sejak 15 Juni hingga 30 Desember 2020.

        Kebijakan tersebut membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Melansir data Asean Automotive Federation (AFF), Malaysia mampu menjual 56.444 unit mobil baru sepanjang September 2020. Angka ini melesat 26,4 persen dibandingkan September 2019.

        Bahkan kupon tukar tambah masing-masing senilai 100 ribu baht (sekira Rp47 juta) yang diluncurkan Thailand mampu membawanya menempati posisi pertama sebagai negara yang paling banyak menjual mobil di Asia Tenggara, menggeser posisi Indonesia. Negeri Gajah Putih itu mampu menjual 77.907 unit mobil baru pada September 2020. Angka ini naik 2,2 persen dibandingkan September 2019.

        Baca Juga: Efek Diskon Pajak, Daihatsu Kebanjiran Pemesanan

        Berharap bisa menuai nasib serupa negara-negara di atas, Indonesia belum lama ini juga mengobral diskon pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan bermotor hingga 100 persen. Namun, tepatkah aturan ini ditelurkan di tengah pandemi, di saat daya beli masyarakat sendiri tengah melemah?

        Babak Belur Industri Otomotif

        Otomotif termasuk sektor yang babak belur dihantam habis-habisan oleh virus Covid-19 sepanjang tahun lalu. Pabrik-pabrik terpaksa tutup, produksi merosot, penjualan anjlok, dan ekspor tenggelam.

        Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak awal pandemi memaksa banyak pabrik kendaraan tutup atau beroperasi terbatas. Beberapa produsen di antaranya ialah Toyota, Honda, Suzuki, Mercedes-Benz, Isuzu, Mitsubishi, BMW, hingga Yamaha.

        Sebagian pabrik pun terpaksa menurunkan volume produksi agar stok tak menumpuk lantaran pembeli kendaraan di diler sepi. Mengutip data Kemenperin, produksi industri otomotif jatuh hingga 46%. Beberapa produsen bahkan memutuskan untuk melepas tenaga kerja. Misalnya, Daihatsu yang melepas tenaga kerja kontrak, tapi mengklaim mempertahankan pegawai tetapnya.

        Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, selama 2020 penjualan mobil secara wholesales (distribusi dari pabrik ke diler) hanya 532.027 unit, terjun bebas 48,35 persen dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai 1.030.126 unit. Rata-rata penjualan mobil per bulan pada 2019 mencapai 85 ribu unit.

        Sementara penjualan mobil secara ritel atau dari diler ke konsumen anjlok 44,7 persen menjadi hanya 578.327 unit dari realisasi 2019 yang sebesar 1.043.017 unit.

        Gaikindo bahkan sampai beberapa kali merevisi target penjualan mobil. Pada awal pandemi target direvisi turun 40% dari 1,1 juta unit menjadi 600 ribu unit. Jelang akhir tahun, kembali direvisi hanya 525 ribu. Lalu, target tersebut terealisasi di angka 532.027 unit.

        Tidak berhenti pada penjualan domestik, ekspor mobil completely built up (CBU) buatan Indonesia ikut tenggelam. Ekspor CBU mobil turun sebesar 30,1 persen menjadi 232.175 unit pada 2020.

        Sebelum Kolaps Terbitlah Diskon

        Pemerintah akhiirnya memberikan belaian kepada industri otomotif melalui kebijakan diskon PPnBM bagi mobil baru. Agar industri ini tidak kolaps, diskon yang diobral pun tak tanggung-tanggung, sampai 100 persen.

        Diskon ini berlaku bagi jenis mobil tertentu dengan kapasitas silinder hingga 1.500 cc dan kandungan komponen lokal paling sedikit 70 persen. Skemanya dilakukan secara gradual, dengan nilai PPnBM ditanggung pemerintah 100 persen untuk masa pajak Maret-Mei 2021, 50 persen untuk Juni-Agustus 2021, dan 25 persen untuk September-Desember 2021.

        "Kalau mau beli mobil, sebaiknya sekarang sampai Mei karena PPnBM-nya 100 persen ditanggung pemerintah," ucap Menkeu Sri Mulyani saat konferensi pers virtual awal Maret lalu.

        Ani, sapaan karibnya, menjelaskan bahwa kategori mobil tersebut dipilih karena merupakan jenis mobil yang digunakan oleh kelompok masyarakat menengah. Menurutnya, daya beli kelompok masyarakat tersebut perlu untuk didorong.

        "Dorongan itu perlu karena perubahan saldo simpanan menunjukkan kelompok yang memiliki dana besar meningkat dan dana kecil menurun. Itu berarti mereka punya saldo tapi tidak melakukan aktivitas," tukasnya.

        Baca Juga: Sambut PPnBM 0%, BAF Bagikan Penawaran Khusus

        Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menerangkan latar belakang pemberian diskon PPnBM bagi kendaraan bermotor. Menurutnya, industri manufaktur berkontribusi 19,88 persen terhadap PDB, tapi pertumbuhannya terkontraksi paling dalam -19,86 persen. Padahal industri otomotif, lanjutnya, adalah industri yang padat karya, memiliki 1,5 juta orang pekerja langsung dan 4,5 tenaga kerja tidak langsung.

        Industri pendukung otomotif menyumbang Rp700 triliun pada PDB tahun 2019. Juga terdapat 7.451 pabrik yang menghasilkan produk input untuk industri otomotif.

        "Karena itu kita perlu mempertahankan basis industri otomotif nasional," jelas politikus Golkar itu saat konferensi pers (1/3/2021).

        Kebijakan yang diusulkan Kemenperin ini sempat ditolak oleh Kemenkeu hingga akhirnya disetujui oleh Kemenko Perekonomian. Kemudian Presiden Jokowi meminta Menkeu untuk memperluas cakupan jenis mobil penerima diskon PPnBM. Permintaan Jokowi itu akhirnya direstui Sri Mulyani yang diumumkan pada Selasa (23/3/2021).

        Sri Mulyani menyebut pihaknya sedang memfinalisasi peraturan menteri keuangan (PMK) sebagai payung hukum perluasan cakupan insentif PPnBM. Nantinya, diskon PPnBM ini tidak hanya berlaku pada mobil dengan kapasitas 1.500 cc, melainkan juga pada mobil berkapasitas hingga 2.500 cc.

        "Mengenai (insentif untuk mobil berkapasitas silinder) 2.500 cc, kami sedang di dalam proses untuk memfinalisasi peraturan menteri keuangannya, yang nanti bisa berlaku mulai bulan April, terutama untuk 1.500 hingga 2.500 cc," katanya dalam konferensi pers APBN KITA, Selasa (23/3/2021).

        Baca Juga: Ada Diskon PPnBm, Penjualan Mobil Ditargetkan 81 Ribu Unit

        Menakar Kelayakan Diskon PPnBM

        Ekonom Sasmito mengatakan bahwa sebetulnya tanpa diskon PPnBM pun, penjualan mobil akan naik di semester II tahun ini. Namun, para pabrikan mobil enggan menunggu waktu lama-lama agar penjualan mobil bisa lebih cepat naik.

        "Pemerintah kurang happy dengan prediksi IMF bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,9 persen selama 2021. Maka, simbiosis mutualisme terjadi dan mencetuskan munculnya insentif tersebut," beber dosen Universitas Trisakti ini kepada Warta Ekonomi, Senin (22/3/2021).

        Walaupun secara y-o-y masih mengalami pertumbuhan negatif, secara q-t-q industri otomotif sebenarnya sudah mulai bangkit sejak kuartal III 2020. Mengutip data LPEM FEB UI, industri alat angkutan mencatatkan kontraksi 2,41 persen pada kuartal I dan 37,54 persen pada kuartal II 2020 (q-t-q), tapi tumbuh 17,48 persen dan 13,14 persen pada kuartal III dan IV (q-t-q).

        Begitu pula dengan perdagangan mobil, sepeda motor, dan reparasinya yang menyusut 3,01 persen dan 30,60 persen pada kuartal I dan II 2020 (q-t-q), tapi mencetak pertumbuhan positif 21,71 persen dan 10,09 persen pada kuartal III dan IV 2020 (q-t-q).

        "Jika memang permintaan mobil sudah mulai bangkit sejak sebelum ada insentif maka pembebasan PPnBM dipandang sebagai kehilangan potensial penerimaan negara," jelas Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Mohamad D Revindo.

        Simulasi Kemenperin dan Kemenkeu menunjukkan bahwa dengan insentif ini, besarnya PPnBM yang tidak dipungut pemerintah diperkirakan mencapai Rp2,3 triliun pada 2021. Meski begitu, lanjutnya, kekhawatiran akan potensi kehilangan pendapatan negara dari PPnBM tidak relevan karena tanpa diskon PPnBM, penjualan mobil sangat sedikit terjadi.

        "Artinya dengan ada atau tidaknya insentif, pemerintah tetap tidak akan mendapatkan PPnBM," kata dia sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya kepada Warta Ekonomi.

        Hal serupa tapi tak sama diamini Sasmito. Dia menyebut meski akan kehilangan pendapatan dari PPnBM, negara bisa saja menuai sumber-sumber pajak lain, seperti pajak bensin, jalan tol, bengkel, toko mobil, dan lain-lain. Dengan catatan, jika penjualan mobil bisa naik signifikan.

        "Jika penjualan mobil naik signifikan, bisa saja pajak (PPnBM) diberlakukan lagi. Pemerintah punya ruang untuk melakukan hal tersebut. Beberapa kali pernah terhadap bahan pokok: minyak goreng atau kelapa sawit, cabai, bawang, tempe, dan sebagainya," terang dia.

        Revindo menambahkan, industri otomotif memiliki multiplier effect yang relatif besar karena keterkaitan yang besar dengan industri hulu. Peningkatan produksi dan penjualan mobil bisa mendorong permintaan terhadap industri komponen, suku cadang, logam, dan jasa keuangan.

        Yang lebih mendesak ialah penjualan mobil diperlukan untuk mengurangi akumulasi stok mobil yang belum terjual di diler. Misalnya, pada September 2020, Gaikindo menyatakan masih terdapat 5.192 unit mobil yang menumpuk, yang merupakan selisih antara jumlah penjualan wholesale 48.554 unit dengan jumlah penjualan ritel 43.362 unit.

        Insentif ini pun diharapkan mendorong kelompok pendapatan menengah-atas untuk menyuntikkan dana ke perekonomian dengan cara membelanjakan tabungannya yang cenderung meningkat selama pandemi.

        "Kelompok menengah atas memang cenderung menahan laju konsumsinya selama pandemi," beber Revindo.

        Revindo tak menampik di tengah pandemi sekarang ini masyarakat cenderung menahan belanja konsumsinya, kecuali untuk kebutuhan primer. Sementara belanja kendaraan bermotor merupakan kebutuhan sekunder.

        "Kondisi pandemi dengan mobilitas yang berkurang dapat mengurungkan niat konsumen membeli mobil sekalipun harganya turun," ujarnya.

        Baca Juga: 3 Pertimbangan Saat Beli Mobil Keluarga, Plus Rekomendasi, Intip Yuk!

        Data Google Mobility Indonesia menunjukkan bahwa secara nasional, antara akhir Januari hingga awal Maret 2021, kunjungan ke lokasi ritel dan rekreasi masih menurun 20 persen, sedangkan kunjungan ke tempat kerja berkurang 15 persen disbanding waktu baseline (lima minggu pertama tahun 2020 sebelum pandemi).

        Namun, menurut Sasmito, diskon PPnBM ini punya tujuan yang jelas, yaitu untuk mendorong penjualan mobil jelang puncak mudik Lebaran 2021, disertai tren kasus covid-19 yang tengah turun. Dia pun menekankan, penanganan Covid-19 menjadi kunci suksesnya diskon ini mengerek perekonomian Indonesia.

        "Insentif ini bisa jadi hanya stimulan atau trigger untuk mendorong aktivitas ekonomi. Meski demikian, sukses tidaknya insentif PPnBM sangat bergantung pada keberhasilan mengendalikan Covid-19," tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rosmayanti
        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: