12 Jenderal Besar Ramai-ramai Kecam Kelakuan Brutal Junta Militer Myanmar
Para kepala pertahanan dari 12 negara mengecam militer Myanmar yang melakukan tindakan keras dan mematikan terhadap para pengunjuk rasa di negara itu. Sementara lembaga aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) menyebutkan, sekurangnya 459 orang tewas di tangan militer Myanmar sejak kudeta 1 Februari 2021.
Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan secara resmi menandatangani pernyataan bersama berisi kecaman terhadap militer Myanmar pada Minggu (28/3/2021). Negara lain yang ikut menandatangani adalah Australia, Kanada, Jerman, Yunani, Italia, Denmark, Belanda, dan Selandia Baru.
Baca Juga: Ketika Demonstran dan Etnis Myanmar Hampir Bentuk Aliansi Tumbangkan Dominasi Junta Militer
“Militer profesional mengikuti standar internasional untuk perilaku dan bertanggung jawab untuk melindungi --bukan merugikan-- orang-orang yang dilayaninya. Kami mendesak angkatan bersenjata Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan bekerja untuk memulihkan rasa hormat dan kredibilitas di hadapan rakyat Myanmar yang telah hilang akibat tindakannya,” ujar para panglima militer 12 negara dalam pernyatan bersama, dilansir Aljazirah.
Pada 1 Februari, militer Myanmar melakukan kudeta dan menangkap para pemimpin pemerintahan sipil, membuat banyak orang yang mendukung demokrasi turun ke jalan menyuarakan protes.
Kecaman bersama sebelumnya nyaris belum pernah dibuat oleh kepala pertahanan negara-negara dunia. Namun, sikap ini dituangkan setelah pada Sabtu (27/3/2021) terjadi penembakan oleh militer Myanmar ke arah massa yang sedang menjalani proses pemakaman seorang aktivis yang tewas di tangan militer. Sebanyak 114 orang tewas dan menjadikan hari tersebut paling berdarah sejak kudeta 1 Februari.
Bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, Sabtu, militer mengerahkan jet untuk meluncurkan serangan udara di desa etnis minoritas Karen. Tiga orang dilaporkan tewas. Sementara serangan di pos militer dekat perbatasan Thailand menewaskan 10 orang.
Akibat serangan itu, sekitar 3.000 penduduk desa dari negara bagian Karen, Myanmar melarikan diri ke Thailand pada Minggu. Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan pada Senin bahwa pemerintahnya sedang mempersiapkan potensi banjir pengungsi dari negara tetangga Myanmar.
"Kami tidak ingin eksodus ke wilayah kami, tetapi kami juga akan memperhatikan hak asasi manusia," kata Prayuth.
Namun, pada Senin dua kelompok aktivis menyatakan, otoritas Thailand menolak para pengungsi Karen. David Eubank, pendiri Free Burma Rangers, mengatakan para pengungsi Karena dipaksa mundur masuk kembali ke kamp di wilayah Myanmar pukul 18.15 waktu setempat.
“Padahal jet tempur masih terbang di wilayah itu,” ujar Mark Farmaner, ketua Burma Campaign UK.
Anak-anak menderita
Belakangan, junta memang kian berani melakukan penumpasan darah para pendemo dan bahkan warga sipil biasa yang tak mengikuti aksi protes. Diantaranya jatuhnya korban jiwa tertinggi Sabtu (27/3/2021) adalah anak-anak.
Di Mandalay, keluarga Aye Ko, ayah empat anak, memperingati kematiannya dalam sebuah pemakaman. Dia terbunuh dalam aksi keras junta Sabtu.
"Saya sangat sedih kehilangan suami saya - bersama dengan anak-anak saya, saya patah hati," kata istrinya, Ma Khaing dikutip laman Channel News Asia, Senin.
Teman bermain anak laki-laki berusia 13 tahun Sai Wai Yan terlihat menangis di atas peti matinya pada Minggu sore. Remaja malang itu ditembak saat bermain di luar rumahnya di Yangon.
Terlepas dari bahaya, para pengunjuk rasa kembali turun ke jalan pada Minggu (28/3/2021) di beberapa daerah di Yangon, termasuk Hlaing, Dawei, Bago, Myingyan dan Monywa. Media yang dikelola pemerintah mengkonfirmasi dua pria dan dua wanita tewas di Monywa pada Minggu. Laporan kematian juga tercatat di Myingyan. Petugas medis mengatakan, satu wanita tewas dan dua lainnya mengalami luka.
Di Hlaing, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun kehilangan tangan dalam ledakan ketika mencoba melempar granat yang dilemparkan pasukan keamanan ke pengunjuk rasa. Sehari sebelumnya, tindakan keras militer yang brutal terjadi di lebih dari 40 lokasi di seluruh negeri. Menurut the Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) wilayah Mandalay dan Yangon menyaksikan sebagian besar kematian.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan jumlah korban tewas pada Sabtu (27/3/2021) menjadi 107 orang, termasuk tujuh anak. Namun diperkirakan akan meningkat lebih lanjut.
"Tindakan memalukan, pengecut, dan brutal dari militer dan polisi yang telah difilmkan menembaki pengunjuk rasa saat mereka melarikan diri, dan yang bahkan tidak menyelamatkan anak-anak kecil harus segera dihentikan," kata utusan PBB Alice Wairimu Nderitu dan Michelle Bachelet dalam pernyataan bersama.
Direktur Eksekutif Badan Anak PBB (UNICEF) Henrietta Fore mengatakan, 10 anak dilaporkan telah ditembak dan dibunuh pada Sabtu (27/3/2021).
"Selain dampak langsung dari kekerasan, konsekuensi jangka panjang dari krisis bagi anak-anak negara bisa menjadi bencana besar," kata Fore dalam sebuah pernyataan.
Media yang dikelola militer Myawaddy TV melaporkan bahwa korban tewas pada Sabtu sebanyak 45 orang. Sementara pihaknya juga mencatat 552 orang telah ditangkap.
Media pemerintah itu mengklaim tragedi Sabtu adalah tindakan keras yang tidak dapat dihindari karena pengunjuk rasa menggunakan senjata dan bom sungguhan terhadap pasukan keamanan. Tragedi gugurnya banyak korban jiwa demonstran pada Sabtu bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Militer.
Parade besar pasukan dan kendaraan militer di ibu kota Naypyidaw memperlihatkan pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing mempertahankan kudeta. Dia berjanji untuk menyerahkan kekuasaan setelah pemilihan umum.
Namun dia juga mengeluarkan ancaman terhadap gerakan antikudeta, memperingatkan bahwa tindakan terorisme yang dapat membahayakan ketenangan dan keamanan negara tidak dapat diterima.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: