Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Rakyat Semakin Takut Bicara Politik, Apa Virus Orde Baru Hidup Lagi? Aduh... Duh...

        Rakyat Semakin Takut Bicara Politik, Apa Virus Orde Baru Hidup Lagi? Aduh... Duh... Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) teranyar bikin hati terenyuh. Soalnya, diketahui, rakyat saat ini makin takut bicara soal politik dan perlakuan semena-mena yang dilakukan oknum aparat penegak hukum. Semoga saja, ini bukan pertanda virus Orde Baru hidup lagi. Amit-amit deh.

        Temuan itu dibeberkan dalam survei bertajuk Sikap Publik Nasional terhadap Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dirilis SMRC secara virtual, kemarin.

        Baca Juga: Gimana Nih, Pak Jokowi? Survei SMRC: Makin Banyak Warga Takut Bicara Politik

        Hasil rilis ini disampaikan oleh peneliti SMRC Saidiman Ahmad. Ikut hadir sejumlah narasumber lain: Guru Besar Fisip UIN Jakarta Ali Munhanif, Ketua Bidang Advokasi YLBHI M Isnur, dan sosilog Tamrin Tomagola.

        Survei SMRC ini digelar dari 28 Februari-8 Maret 2021 secara nasional dan melibatkan 1.064 responden yang dipilih secara acak. Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka langsung. Rentang kesalahan survei ini sebesar plus minus 3,07 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

        Meski judul survei terkait HTI dan FPI, ada dua hal yang dipotret dalam survei ini. Pertama, bagaimana publik melihat kebebasan sipil terkait bicara soal politik, berorganisasi, dan menjalankan agama. Kedua soal tanggapan publik melihat isu kriminalisasi ulama, dan pembubaran FPI dan HTI.

        Apa hasilnya? Hasilnya sedikit menyedihkan. Ada kecenderungan masyarakat makin ketakutan dalam mengekspresikan kebebasan sipil. Seperti takut bicara soal politik, takut dipenjara, juga takut ikut organisasi.

        Saat responden ditanya apakah takut bicara soal politik, sebanyak 7,1 persen mengaku selalu takut, 32,1 persen mengaku sering takut. Sebanyak 33,3 persen lainnya menyebut jarang takut, dan 20,2 persen menyatakan tak pernah takut. Sementara 7,2 persen tidak menjawab. Total sebanyak 39 persen yang menjawab selalu/sering bicara soal politik.

        Menurut Saidiman, kalau melihat tren dalam 17 tahun terakhir, ada kecenderungan peningkatan dalam ketakutan bicara soal politik. Pada 2004 misalnya, hanya 24 persen yang mengaku selalu/sering takut bicara politik.

        Pada 2007, angkanya turun menjadi 20 persen dan makin turun pada 2009 yang hanya 14 persen. Tren mulai naik pada April 2014 menjadi 22 persen, lalu angkanya naik drastis menjadi 43 persen pada Mei 2019, dan kini 39 persen.

        Ketakutan warga terhadap penangkapan semena-mena juga mengalami kenaikan. Sebanyak 26,5 persen mengaku sering takut; 5,4 persen selalu takut; 30,4 persen jarang takut; dan 29,4 persen mengakut tak pernah takut. Sementara, 8,4 persen tak menjawab.

        Secara tren, ketakutan warga terhadap penangkapan semena-mena aparat hukum juga mengalami peningkatan jika dilihat sejak 2009. Pada 2009 hanya 23 persen, lalu naik pada April 2014 sebesar 24 persen dan sekarang 32 persen. Peningkatan juga terjadi pada takut mengikuti organisasi dan menjalankan agama, meski naiknya hanya 2 persen.

        Saidiman berharap, kecenderungan ini perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah. “Mengingat dalam masyarakat demokratis, warga justru seharusnya berani membicarakan masalah politik, berorganisasi, serta tidak khawatir dengan aparat keamanan, dan tidak takut untuk melaksanakan ajaran agamanya,” kata Saidiman.

        Saidiman menambahkan, kecenderungan masyarakat selalu atau sering takut bicara politik ini, terutama ditemukan di kalangan yang cenderung memberi nilai negatif pada kinerja Presiden Jokowi dan pemerintahannya. Juga ditemukan pada warga yang menganggap kondisi ekonomi Indonesia buruk.

        Jika dilihat dari basis massa pemilih calon presiden yang mengemuka saat ini, kata Saidiman, kecenderungan responden yang merupakan pendukung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebanyak 52 persen dan Anies Baswedan 51 persen cenderung mempersepsikan bahwa masyarakat takut bicara politik.

        “Kalau dilihat dari massa pemilih calon presiden bahwa kecenderungannya massa pemilih AHY dan Anies Baswedan justru jauh lebih dominan atau cenderung mempersepsi bahwa masyarakat sekarang selalu atau sering takut bicara politik,” ungkapnya.

        Ketua Bidang Advokasi YLBHI, M Isnur mengaku senang dengan survei yang dilakukan SMRC. Menurut dia, temuan dalam survei itu sangat penting karena hasilnya sama dengan temuan yang dilakukan YLBHI, Kontras, dan lainnya.

        “Bahwa ada ketakutan yang semakin meninggi di masyarakat, demokrasi semakin mundur, masyarakat semakin mudah ditangkap, ini sesuai dengan catatan kami,” kata Isnur.

        Tak hanya lembaga penggiat HAM di dalam negeri, sambung Isnur, berbagai penggiat HAM dari berbagai belahan dunia pun menyampaikan hal serupa. Ada gejala yang menunjukkan demokrasi makin menurun, masyarakat makin mudah ditangkap, dan dikriminalisasi.

        Penangkapan tak hanya terhadap aktivis tapi juga petani, dan buruh. YLBHI mencatat sepanjang 2020 ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang terjadi. Ini adalah angka paling tinggi dalam sejarah.

        Kasus tersebut didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum. Korban penangkapan juga terjadi peningkatan. Sebanyak 4.510 orang terkait omnibus law. “Berbagai temuan ini, mengkonfirmasi semakin sempitnya ruang masyarakat sipil dan makin mundurnya demokrasi,” warning-nya.

        Sosilog Tamrin Tomagola menilai, cara SMRC mengupas hasil survei tersebut lebih berat terhadap sisi politiknya. Dibanding sosial ekonomi. Misalnya, menghubungkan orang yang ketakutan bicara politik dengan melihat latar pemilih Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo atau terhadap kepuasan kepada pemerintah. Menurut dia, cara seperti ini bisa mendatangkan bias.

        Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto mengatakan, munculnya penanda kemunduran demokrasi ini harus jadi perhatian serius pemerintah. Dalam catatan LP3ES, demokrasi mengalami kemerosotan tajam dalam dalam lima tahun terakhir.

        Macam-macam indikasinya. Mulai dari pembajakan lembaga-lembaga negara untuk tujuan kekuasaan, fokus pembangunan pada infrastruktur dan mengabaikan HAM, serta penggunaan cara non legal/kriminalisasi terhadap kelompok Islam.

        Menurut dia, ini sudah menunjukkan gejala otoritarianisme seperti era Orde Baru. karena itu, agar kekuasaan yang diktator dan otoriter seperti Orde Baru tidak terjadi, diperlukan gerakan massif yang melibatkan semua elemen civil society untuk melakukan koreksi terhadap perjalanan pemerintahan saat ini.

        “Inilah saatnya muncul generasi baru untuk melakukan koreksi total agar Indonesia tidak kembali ke era otoriter seperti masa Orde Baru,” kata Wijayanto.

        Warganet pun ikutan berkomentar. Akun @tukang_gibahh mengaitkan dengan Orde Baru. “Karena orde paling baru,” cuitnya. “Sebenarnya ga penting ngomong politik. Rakyat nggak punya cita-cita jadi politikus juga.. yang lebih bener itu rakyat makin takut ngritik pemerintah,” ujar @septiadhiw.

        Lalu bagaimana tanggapan Istana? Jubir Presiden, Fadjroel Rachman, belum mau berbicara soal hasil survei ini. “Saya belum mempelajarinya dengan seksama,” kata Fadjroel, kepada Rakyat Merdeka, tadi malam. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: