Sikapi Junta Myanmar, Eks Pentolan PBB Tampar Antonio Guterres dan ASEAN
Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon pada Senin (19/4/2021) mendesak Antonio Guterres untuk terlibat langsung dengan militer Myanmar. Langkah itu berguna mencegah peningkatan kekerasan pascakudeta dan mengatakan negara-negara Asia Tenggara tidak boleh mengabaikan kekacauan itu sebagai masalah internal Myanmar.
Utusan khusus Sekjen PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, telah berkomunikasi dengan militer sejak menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, tetapi tentara tidak mengizinkannya untuk berkunjung.
Baca Juga: Begini Sanksi Teranyar Uni Eropa untuk Puluhan Pejabat Junta Myanmar
"Mengingat berat dan mendesaknya situasi, saya yakin sekretaris jenderal sendiri harus menggunakan jasa baiknya untuk terlibat langsung dengan militer Myanmar, untuk mencegah eskalasi kekerasan," kata Ban, sekretaris jenderal dari 2007 hingga 2016, mengatakan kepada sebuah Pertemuan Dewan Keamanan PBB, dikutip dari Reuters, Selasa (20/4/2021).
Guterres "sangat aktif terlibat" di Myanmar dan "telah lama sekali," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric. Ia menambahkan: "Kantor baiknya, bersama dengan utusan khususnya, selalu tersedia. Kita semua ingin melihat akhir dari kekerasan."
Guterres mengatakan kepada Dewan Keamanan pada Senin (19/4/2021) bahwa "tanggapan internasional yang kuat yang didasarkan pada upaya regional terpadu" diperlukan. Guterres juga mendesak "para aktor regional untuk meningkatkan pengaruh mereka guna mencegah kerusakan lebih lanjut dan, pada akhirnya, menemukan jalan keluar yang damai dari bencana ini."
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang beranggotakan 10 orang telah berusaha mencari jalan keluar dari kekerasan sesama anggota Myanmar. Ketua Junta Min Aung Hlaing dijadwalkan menghadiri KTT ASEAN di Indonesia pada 24 April.
"ASEAN harus menjelaskan kepada militer Myanmar bahwa situasi saat ini begitu parah sehingga tidak dapat dianggap hanya sebagai masalah internal," kata Ban, mantan menteri luar negeri Korea Selatan yang sekarang menjadi anggota kelompok pemimpin global The Elders.
Menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan Tahanan Politik, 737 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta dan 3.229 orang masih ditahan.
"Penggunaan kekuatan mematikan oleh militer dan pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan terhadap warga sipil tidak sesuai dengan Piagam ASEAN," katanya.
"Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran hukum internasional, dan merupakan ancaman bagi perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan."
Ban juga mendesak Dewan Keamanan untuk beralih dari pernyataan ke tindakan kolektif. Namun, beberapa diplomat mengatakan Rusia dan China kemungkinan akan mencegah tindakan yang lebih kuat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto