Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Surat untuk Belgia: Jika Ingin Promosi Keberlanjutan, Konsumsi Minyak Sawit adalah Pilihan

        Surat untuk Belgia: Jika Ingin Promosi Keberlanjutan, Konsumsi Minyak Sawit adalah Pilihan Kredit Foto: Kementan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Keputusan Menteri Federal Lingkungan dan Iklim Belgia, Zakia Khattabi terkait pelarangan penggunaan biofuel berbasis sawit pada tahun 2022 dinilai tidak memiliki sudut pandang ilmiah yang masuk akal. Tidak hanya itu, keputusan ini juga mengejutkan karena dikeluarkan jauh sebelum waktu yang ditetapkan Uni Eropa yakni tahun 2030. Hal tersebut disampaikan oleh Ahli Agronomi Belgia sekaligus penulis di situs web Palm Oil Monitor, Pierre Bois d´Enghien.

        “Beberapa bagian dalam siaran pers Menteri menarik perhatian saya,” ungkap Enghien dalam catatannya yang ditulis pada Surat Kabar Harian Terkemuka yang berbahasa Perancis, Le Soir

        Baca Juga: Keren! Kualitas Lemak Sawit Tidak Kalah dengan ASI dan Daging Sapi

        Menteri menyatakan, pelarangan penggunaan biofuel berbasis sawit bertujuan untuk menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati. Ia juga menyarankan untuk menggantikan sawit sebagai bahan baku biofuel dengan komoditas lain seperti rapeseed, bunga matahari, gandum, jagung, maupun lemak hewani. Lalu pertanyaannya, apakah komoditas tersebut lebih baik untuk lingkungan dan keanekaragaman hayati dibandingkan kelapa sawit?

        “Menteri mungkin tidak mengetahui bahwa kelapa sawit menghasilkan lebih dari 6 ton minyak per hektar per tahun bahkan mencapai 10 ton minyak per hektar per tahun. Jumlah ini 5 kali lebih banyak dibandingkan minyak yang dihasilkan rapeseed yakni sekitar 800 – 1.200 liter per hektar per tahun,” catat Enghien.

        Hal ini berarti, produksi minyak yang dihasilkan dari satu hektar kebun kelapa sawit setara dengan produksi minyak yang dihasilkan oleh 5 hektar kebun rapeseed di Uni Eropa. Dari segi efisiensi penggunaan pupuk dan fitosanitari, kelapa sawit membutuhkan produk fitosanitari 100 kali lebih sedikit dibandingkan kedelai per ton minyak yang dihasilkan. Pupuk diterapkan secara rasional berdasarkan analisis daun yang tepat. Ketika rapeseed membutuhkan 230 kg pupuk per ton minyak yang diproduksi, kelapa sawit hanya membutuhkan 120 kg pupuk per ton minyak.

        Terkait keanekaragaman hayati, Enghien mengatakan, “sekitar 30 spesies tanaman ada di perkebunan kelapa sawit, berapa banyak di perkebunan rapeseed atau bunga matahari? 2, 3 spesies? Jika ada gurun keanekaragaman hayati, di perkebunan rapeseed atau bunga matahari inilah yang ingin dilindungi Menteri”.

        Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan fiksasi karbon (C)? Sebagai tanaman mirip pohon, kelapa sawit menyimpan karbon dari udara secara berkelanjutan yakni sekitar 2 ton C/ha/tahun, rata-rata selama siklus 25 tahun seperti hutan sekunder. Sementara rapeseed, hanya menyimpan 300 kg C/ha/tahun atau 6 kali lebih sedikit dibandingkan kelapa sawit.

        “Masalah penggundulan hutan telah menjadi hal yang biasa. Deforestasi tentu saja sering (tetapi tidak secara sistematis) menjadi prasyarat dalam sejarah pendirian perkebunan kelapa sawit, seperti halnya perkebunan lain di tempat lain. Namun, angka deforestasi tersebut telah menurun tajam sejak tahun 2015 (data WRI dan Global Forest Watch),” catat Enghien.

        Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit berkelanjutan terbesar di dunia yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikasi ISPO, RSPO, dan ISCC menjadi bagian dari program REDD+ dan memperoleh US$56 juta dari Norwegia, karena telah mengurangi deforestasi dan degradasi hutan pada 2016 – 2017. 

        “Bukankah sudah waktunya untuk memberi selamat kepada para pengusaha perkebunan kelapa sawit atas upaya mereka, dan khususnya, masyarakat Indonesia? Larangan minyak sawit tidak hanya tidak memiliki justifikasi lingkungan dan sosial yang kuat, tetapi juga melanggar banyak aturan perdagangan luar negeri. Memboikot minyak sawit tidak mendorong pengembangan berkelanjutan dari tanaman ini. Jika Anda benar-benar ingin mempromosikan keberlanjutan dalam produksi ini, maka Anda harus mengkonsumsinya!” tulis Enghien. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Alfi Dinilhaq

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: