Perusahaan dibawah Grup Bakrie hampir selalu dibayangi isu negatif. Mulai dari utang jumbo, pengelolaan perusahaan yang mengedepankan gali lobang tutup lobang, hingga dugaan keterlibatan dalam kasus Jiwasraya.
Kasus Lapindo pun tak kunjung tuntas. Bahkan, seringkali proyeknya mangkrak sehingga terlilit utang seperti kasus tagihan utang Rp75 miliar dari KFC ke anak usaha Grup Bakrie bidang properti.
Anak usaha lain yakni Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) mencatatkan utang hingga triwulan III 2020 senilai Rp 10,18 triliun, yang merupakan utang jangka pendek. Akibat banyak utang, saham saham Grup Bakrie seringkali disebut saham gocapan lantaran tidak likuid dan kinerjanya memble.
Dengan banyaknya sentimen negatif, banyak kalangan meminta publik harus berhati hati dalam mengambil keputusan terkait bisnis Grup Bakrie.
"Dari dulu sudah banyak pengalaman buruk terkait Grup Bakrie ini. Jadi publik harus hati-hati," ujar Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) ketika dihubungi wartawan, Kamis (27/5/2021).
Meskipun Grup Bakrie mengklaim akan mampu membayarkan utang dan memperbaiki kinerja seiring dengan peluang kenaikan penguatan harga batu bara, tetapi publik tetap harus hati-hati karena perusahaan ini memiliki masalah.
Karena, kata Marwan, sentimen negatif selalu membayangi Bakrie Group mulai utang yang menggunung dan kasus Lapindo yang saat ini masih menjadi preseden buruk.
Termasuk, kata Marwan juga kasus kasus yang merugikan nasabah, saham pun sering digadaikan.
"Nah publik harus berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait bisnis Grup Bakrie," beber dia.
Dihubungi terpisah, Direktur Energy Watch Mamit Setiawan menilai, masyarakat perlu berhati-hati dengan kondisi yang terjadi di tubuh Group Bakrie, yang saat ini memiliki utang yang cukup signigikan.
"Dan kita tahu, banyak usaha dari Group Bakrie yang memang banyak masalahnya juga," beber dia.
Group Bakrie, kata dia, juga memiliki utang kepada pihak-pihak lain, sehingga bila ada pihak yang ingin melakukan investasi perlu menerapkan kehati-hatian.
"Bakrie justru punya komitmen terhadap pemerintah yang belum diselesaikan semuanya," tegasnya.
Beban utang denominasi dollar di Grup Bakrie bisa membahayakan, jika terjadi fluktuasi mata uang.
Jika kondisi pasar makin tak stabil utang bisa makin menggunung. Apalagi emiten-emiten sekarang ini lebih memilih rupiah demi menghindari fluktuasi.
Sementara analis pasar modal Lucky Bayu menilai perusahaan Bakrie Group harus segera melakukan restrukturisasi internal terlebih dahulu untuk melakukan optimalisasi asset yang di nilai masih memiliki peluang produktifitas.
Kemudian, kata dia, perusahaan Bakrie Group juga harus merencanakan aksi korporasi agar mendorong minat dan apresiasi investor terhadap harga saham perusahaan dan nilai perusahaan.
"Melakukan restrukturisasi eksternal sebagai upaya untuk mempertahankan reputasi perusahaan dan group, untuk memberikan maksud sebagai perusahaan berkelanjutan / sustainable company," beber dia.
Selanjutnya, bila memungkinkan perushaan Bakrie Group menjual saham kepada investor atau pihak yang dianggap strategis. Sebagai catatan, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), induk bisnis Grup Bakrie, mencatatkan utang hingga triwulan III 2020 senilai Rp 10,18 triliun, yang merupakan utang jangka pendek.
Nilai utang tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun tahun lalu Rp 8,79 triliun. Kenaikan utang tersebut, salah satunya disebabkan oleh selisih kurs yang membesar karena mayoritas utang Bakrie & Brothers dalam denominasi dolar Amerika Serikat.
Berdasarkan catatan Bakrie & Brothers, total utang dalam denominasi mata uang asing per September 2020, mencapai US$ 669 juta atau sekitar Rp 9,45 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.134 per US$. Sementara, utang perusahaan dengan denominasi rupiah totalnya Rp 254 miliar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: