Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Rakyat Dikejar Pajak Sembako dan Sekolah, Misbakhun: Sri Mulyani Lelah Mencintai Negeri Ini

        Rakyat Dikejar Pajak Sembako dan Sekolah, Misbakhun: Sri Mulyani Lelah Mencintai Negeri Ini Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, menyindir Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) Cs yang hendak membuat pajak sembako dan pajak pendidikan. Ia menilai, Menkeu sudah lelah mencintai negeri ini.

        Rencana kebijakan itu juga, menurut Misbakhun telah mencoreng citra pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang selama ini dikenal sangat peduli rakyat kecil.

        Baca Juga: Satu Tahun Jadi Juru Bicara: Ini Bukan tentang Angka

        Politikus Partai Golkar itu menyatakan Sri Mulyani harus bertanggung jawab atas polemik soal Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), yang memuat rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok atau sembako dan sektor pendidikan.

        "Polemik yang terjadi dan penolakan keras di masyarakat atas rencana Menkeu SMI ini sangat memengaruhi citra Presiden Jokowi dan pemerintahan yang dikenal sangat pro-rakyat kecil," ujar Misbakhun, dalam keterangan persnya yang diterima pada Minggu 13 Juni 2021.

        Mestinya, sektor yang hendak dipajaki yakni bahan pokok, pendidikan, dan kesehatan, tidak boleh dipajaki sebab merupakan amanat konstitusi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sebagai tujuan negara. 

        "Kalau beras dijadikan objek pajak dan dikenakan PPN, pengaruhnya pada kualitas pangan rakyat. Rakyat butuh pangan yang bagus agar kualitas kehidupan mereka juga baik," kata Misbakhun.

        Wakil rakyat asal Pasuruan, Jawa Timur itu juga menentang ide Sri Mulyani, tentang PPN sektor pendidikan. Sebab perlu dipahami, bahwa pendidikan adalah simbol dalam pembangunan karakter generasi bangsa.

        "Pendidikan itu menunjukkan kualitas SDM sebuah negara. Kalau pendidikan sampai dijadikan objek pajak dan dikenakan tarif PPN, kualitasnya akan terpengaruh," jelasnya.

        RUU KUP yang berisi rencana pengenaan PPN di sektor pendidikan dan pangan justru membuktikan Sri Mulyani gagal membuat kebijakan yang merujuk pada amanat konstitusi.

        Ia beralasan, konstitusi mengamanatkan berbagai sektor yang harus dijaga dengan semangat gotong royong. 

        "Apakah Bu SMI lelah mencintai negeri ini? Beliau tidak boleh lelah mencintai negara ini dengan cara membuat kebijakan yang terkoneksi pada tujuan kita bernegara di konstitusi," sambung Misbakhun.

        Baca Juga: Sorry Nih Puan Maharani! Jokowi Hatinya Lebih ke Ganjar Pranowo, Udah Satu Gerbong...

        Baca Juga: Ahli Virologi dan Molekuler Biologi: Semua Vaksin Covid-19 Aman dan Sudah Diuji

        Baca Juga: Heboh Sembako Dipajakin Juga, DPR Minta Tolong Pemerintah Sikapi Secara Serius!

        Baca Juga: Berwisata Sambil Jalani Protokol Kesehatan Tak Kurangi Kesenangan

        Politikus yang dikenal getol membela kebijakan Presiden Jokowi, juga mempertanyakan argumen Sri Mulyani soal PPN untuk sembako dan pangan baru diterapkan setelah pandemi COVID-19 berlalu. 

        Menurut Misbakhun, alasan itu tidak rasional karena sampai saat ini belum ada satu pun ahli atau lembaga tepercaya yang mampu memprediksi akhir pandemi COVID-19.

        Misbakhun pun mengingatkan Sri Mulyani mampu menunjukkan diri sebagai figur yang telah memperoleh berbagai penghargaan internasional. Seharusnya, kata Misbakhun, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu punya ide berkelas global tentang cara menaikkan tax ratio dan penerimaan pajak tanpa harus menerapkan PPN pada sembako dan pendidikan. 

        "Masih banyak ruang kreativitas pengambil kebijakan untuk menaikkan penerimaan pajak. Menaikkan tarif pajak dan menambah objek pajak baru sejatinya bukan cara yang menunjukkan kelas Menteri Keuangan yang punya banyak penghargaan," ujar Misbakhun.

        Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu pun menyarankan agar Sri Mulyani segera menarik RUU KUP. 

        "Tarik dan revisi karena isi RUU KUP itu sangat tidak populer," katanya.

        Baca Juga: Satu Tahun Jadi Juru Bicara: Ini Bukan tentang Angka

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: