Satu Tahun Jadi Juru Bicara: Ini Bukan tentang Angka
Oleh: Reisa Broto Asmoro, Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru
Satu tahun berlalu. Dua belas bulan, 366 hari sudah saya bertugas sebagai juru bicara Covid-19.
Saya belajar bahwa setip orang punya cerita yang berbeda dalam bersinggungan dengan Covid-19. Ada banyak masa berduka dan banyak lagi orang memiliki kisah lebih sedih dari yang saya alami. Memang sekilas, tidak ada yang baik tentang pandemi ini. Meski, saya bersyukur kepada Tuhan karena telah mampu melewati setahun yang tidak mudah ini, tetapi jujur saja, jika waktu boleh diulang, saya lebih suka menghindari pandemi. Saya lebih memilih mencari cara mencegahnya terjadi.
Pandemi ini telah masuk ke semua sendi kehidupan kita secara dramatis. Mengubah hidup secara drastis, memberikan tantangan baru yang sebelumnya kita tidak pernah perkirakan. Namun, tetap harus kita cari jawabannya.
Baca Juga: Donor Darah dari Penerima Vaksin Covid-19, Bahaya Nggak Sih?
Wabah ini telah merenggut para dokter, perawat, dan puluhan tenaga kesehatan terbaik kita yang berjuang tanpa lelah di garis depan untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Ratusan dari mereka telah gugur, sebagiannya adalah kolega saya dan guru saya, sesama dokter. Kehilangan yang luar biasa yang sampai saat ini masih saya rasakan.
Tentunya juga gugurnya para pejuang ini jadalah kerugian negara. Dalam rangka menjadi dokter, di Indonesia, seseorang harus menghabiskan setidaknya enam tahun belajar. Belum lagi serangkaian pendidikan spesialis, pascasarjana, berbagai kursus, dan pemenuhan kualifikasi akademik lainnya yang harus mereka lalui untuk dapat disebut ahli di bidangnya. Mencetak dokter-dokter berikutnya bukanlah perjalanan singkat.
Minggu ini menandai tahun pertama pengabdian saya sebagai juru bicara penanganan dan vaksinasi Covid-19 untuk pemerintah. Sekadar untuk menyegarkan ingatan kita, perjalanan yang menempatkan saya di tempat ini, dimulai oleh dua kasus positif ibu dan anak, tahun lalu, di Depok.
Kasus pertama dan kedua Covid-19 di Indonesia ini memicu perdebatan tentang bagaimana masyarakat harus menanggapi kejujuran dan keberanian orang yang secara terbuka menyatakan status kesehatan mereka. Covid-19 telah mengubah hidup mereka, terutama bagaimana privasi mereka, bahkan tetangga mereka, dilanggar media dan netizen, demi judul berita sensasional dan konten media sosial yang viral.
Namun, stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 tidak berumur lama. Hari ini, kita malah melihat banyak orang malah saling membantu dan mendukung tetangga mereka, bahkan menyemangati orang-orang yang mereka tidak kenal sebelumnya, yang sedang melalui masa isolasi untuk sembuh dari infeksi.
Sekarang kita telah melihat banyak inisiatif berdasarkan solidaritas tinggi, menulari berbagai kelompok di seluruh Indonesia, menular cepat sebagai virus yang baik. Mereka saling membantu bukan saja pasien Covid-19, tetapi juga membantu mereka yang terkena dampak krisis ekonomi.
Inisiatif Desa Tangguh dan Jogo Tonggo adalah contoh virus baik yang menular. Inisiatif yang secara harfiah berarti menjaga tetangga Anda adalah inspirasi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berskala Mikro (PPKM Mikro). Dengan sebutan yang bervariasi di 34 provinsi, semangat yang sama untuk saling peduli dan mengawasi, atau bahkan saling merawat anggota masyarakat membutuhkan telah meluas di seluruh pelosok negeri.
Tentunya, pemerintah terus mencari cara untuk mencegah lebih banyak kematian dan memastikan masyarakat makin aman dari ancaman virus corona ini. Kapasitas pengujian sampel (testing) telah meningkat dari 10 ribu menjadi lebih dari 50.000 sampel setiap hari. Jumlah laboratorium telah berkembang menjadi sekitar 800 laboratorium di seluruh negeri. Ini adalah komitmen meningkatkan 3T (Testing, Tracing, and Treatment) atau tes, telusur, dan terapi yang ditekankan Presiden Joko Widodo sejak awal pandemi.
Peningkatan ini dimungkinkan dengan dukungan dari puluhan ribu tracers atau petugas pelacak kasus yang merupakan gabungan dari tenaga kesehatan, polisi, dan prajurit TNI. Ribuan relawan juga direkrut dan dilatih untuk mendukung tracing, dan berbagai tugas yang biasa diemban tenaga kesehatan. Mereka bertugas mulai dari penyedia layanan kesehatan tingkat terendah, seperti puskesmas sampai dengan di rumah sakit-rumah sakit rujukan.
Pandemi telah mengambil alih hampir 90 persen dari layanan yang disediakan oleh fasilitas kesehatan tingkat manapun. Laporan terbaru menunjukkan bahwa penanganan pandemi menambah sekitar 40% beban kerja dan jam operasional puskesmas di seluruh Indonesia.
Setelah pemerintah mengamati arus mudik dan arus balik, rumah sakit kembali diminta untuk meningkatkan kapasitas mereka dengan menambah jumlah bangsal isolasi dan tempat tidur di ruang gawat darurat mereka. Sejak Januari 2021, pemerintah memiliki hampir 1.000 rumah sakit rujukan, 10 kali lebih banyak daripada kondisi di fase awal pandemi. Selain rumah sakit, Kementerian Kesehatan telah menambah lebih dari 8.500 tenaga kesehatan untuk memperkuat pelayan kesehatan saat ini. Pasukan tambahan ini terdiri dari dokter umum, spesialis, perawat, dan staf pendukung lainnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum