Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Polemik PPN Sembako hingga Sekolah: Tuai Kritik Sana-Sini

        Polemik PPN Sembako hingga Sekolah: Tuai Kritik Sana-Sini Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen. Tak hanya itu, pemerintah juga akan mengenakan PPN terhadap sembako hingga sekolah.

        Kebijakan ini akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam draf revisi UU Nomor 6 yang dikutip CNNIndonesia.com, pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A.

        Baca Juga: Daripada Bebankan Rakyat dengan PPN Sembako, Mending Bu Sri Naikkan Cukai Rokok

        Dalam draf tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu, artinya barang akan dikenakan PPN.

        Ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok ini. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen.

        Rencana PPN ini menuai polemik di tengah masyarakat dan mengkhawatirkan banyak pihak. Namun, Kemenkeu menegaskan tidak akan ada penarikan PPN dalam waktu dekat.

        Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo menjelaskan kebijakan PPN tidak akan terjadi saat masa pandemi Covid-19. Untuk saaat ini, pemerintah sedang fokus untuk memulihkan perekonomian nasional akibat pandemi.

        "Kita mau ekonomi benar-benar pulih, saat ini kita siapkan semuanya. Tidak benar kalau ada pajak sembako dalam waktu dekat. Jasa pendidikan, kesehatan, besok, atau lusa, bulan depan, atau tahun ini tidak dipajaki, tidak," ujar Prastowo dalam webinar Narasi Institute, Jumat (11/6/2021).

        Dia menjelaskan revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP soal pajak sembako dan jasa pendidikan hingga saat ini masih belum dibahas dengan DPR.

        "RUU-nya masih di pimpinan DPR, bahkan belum diparipurnakan dan belum dibahas," tuturnya.

        Kemudian, Prastowo juga menekankan bahwa rancangan tersebut bukan wacana yang tiba-tiba. "Ini bukan kebijakan yang tiba-tiba, tapi kajian yang sudah direncanakan bertahun-tahun tapi eksekusinya ditunda-tunda," tukasnya.

        Dia mengatakan situasi ini merupakan kesempatan yang baik untuk memikirkan kebijakan apa yang diperlukan ketika pandemi berakhir. Oleh sebab itu, pemerintah berusaha memperbaiki sistem perpajakan yang sudah ada karena ada banyak pengecualian pada sistem tersebut.

        "Misalnya kalau saya mengonsumsi telur omega, tapi orang lain beli telur di pasar, itu sama-sama tidak kena PPN padahal daya beli konsumen dan jenis harganya sangat berbeda. Itu yang menjadi problem," ungkap Stafsus Menkeu tersebut.

        Hal itulah yang melandasi pemerintah mencanangkan wacana reformasi sistem perpajakan. Harapannya, kebijakan pajak yang akan diterapkan nantinya bisa lebih adil dan tepat sasaran.

        Tuai Kritik Sana-Sini

        Ekonom Achmad Nur Hidayat mengingatkan pengenaan PPN untuk sembako dan sekolah akan berkaitan langsung dengan laju inflasi tahun ini dan tahun depan.

        "Meski pemberlakukan kenaikan tarif PPN tidak diberlakukan 2021, namun rencana kenaikan pajak tersebut dapat memicu inflasi 2021. Rencana kenaikan PPN terhadap sembako akan mendorong masyarakat membeli sembako di luar kebutuhan karena takut harganya naik ulah PPN 12 persen. Potensi kenaikan inflasi 2021-nya berkisar naik 1 sampai 2,5 persen sehingga inflasi 2021 bisa mencapai 2,18 persen sampai 4,68 persen," ujar Direktur Eksekutif Narasi Institute.

        Selain menimbulkan inflasi yang memberatkan konsumen secara umum, menurut Achmad Nur Hidayat, kenaikan PPN terhadap sembako dari produksi pertanian juga akan menyebabkan petani kecil kehilangan kesejahteraan dan akhirnya makin miskin di tengah pandemi.

        "Kenaikan pajak PPN 12 persen terhadap sembako juga menyebabkan petani kecil makin miskin karena makin sulit menjual produknya di saat konsumen makin mengerem belanja imbas kenaikan PPN tersebut," ujar Hidayat.

        Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza pun menilai rencana PPN pada sektor pendidikan atau sekolah kontraproduktif dengan upaya memulihkan dampak pandemi pada sektor ini. Biaya pendidikan yang akan semakin tinggi dapat mengancam upaya Indonesia untuk memajukan sumber daya manusianya.

        Di tengah-tengah persoalan akses maupun mutu pendidikan yang tidak merata, peningkatan drop out dan penurunan kemampuan belajar, pengenaan pajak PPN ini akan semakin mempersempit akses kepada pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin.

        "Dampak pandemi pada sektor pendidikan seharusnya bisa menjadi pertimbangan sebelum pengenaan PPN ini benar-benar diberlakukan," jelas Nadia.

        Banyak sekolah, terutama sekolah swasta berbiaya rendah, sudah sulit untuk bertahan di tengah pandemi yang berkepanjangan karena sekolah maupun gurunya sangat bergantung kepada pendapatan orang tua murid yang kini banyak terganggu dalam kondisi sulit seperti sekarang ini.

        Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021 memperlihatkan ada 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19. Sebanyak 1,62 juta penduduk di antaranya menganggur akibat Covid-19 dan sebanyak 1,11 juta orang tidak bekerja karena pandemi.

        "Belum lagi mempertimbangkan dampak dari learning loss akibat pandemi pada peserta didik," tegas Nadia sembari mengimbuhkan, "RUU KUP perlu dikawal prosesnya agar tidak merugikan kepentingan masyarakat luas."

        Reformasi Pajak Perlu Kepercayaan Publik

        Ekonom senior Fadhil Hasan mengatakan yang sering dilupakan dalam revisi pajak akhir-akhir ini adalah kepercayaan publik.

        "Revisi KUP apa pun itu bisa berjalan efektif manakala trust kepada pemerintah cukup kuat," ujar Fadhil Hasan.

        Fadhil Hasan berpendapat bahwa kenapa polemik PPN sembako, pendidikan, perluasan kewenangan penyidikan pajak semakin tinggi dan terkesan penolakan reformasi meluas karena terdapat distrust tinggi kepada berbagai kebijakan pemerintah.

        "Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah bahwa terdapat distrust yang cukup tinggi sehingga dikhawatirkan penerapan reformasi KUP tidak akan berjalan efektif. Distrust itu terjadi justru karena banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, sensitif, dan kontroversial. Misalnya saja terkait dengan pelemahan KPK, rencana impor beras, pembatalan haji, pemindahan ibu kota, anggaran alutsista, dan banyak lagi," ucap pendiri Narasi Institute tersebut.

        Baca Juga: Muhammadiyah Menentang Keras Rencana Sektor Pendidikan Dikenai PPN

        Fadhil menyarankan dalam membangun kepercayaan publik diperlukan narasi kebijakan yang rasional.

        "Membangun kepercayaan publik dengan menghadirkan kebijakan publik yang rasional, dan dapat diterima karenanya menjadi necessary condition sekarang ini sebelum penerapan revisi KUP ini dijalankan," ujarnya.

        Dia menilai revisi UU KUP harus ditempatkan pada konteks yang lebih luas yakni reformasi perpajakan yang juga menyangkut kelembagaan, transformasi ke arah digitalisasi perpajakan, dan sumber daya manusia pajak untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, dan sederhana, dan bersih.

        "Jadi narasi yang harus bangun tidak sekadar terkait dengan peningkatan dan penambahan komoditas yang terkena pajak, peningkatan tingkat pajak, dan program pengampunan pajak. Narasi ini yang kurang dikomunikasikan kepada publik," ujar Fadhil.

        Fadhil juga menyarankan Sri Mulyani bahwa faktor waktu juga menjadi pertimbangan penting. "Kala pandemi, adalah tidak bijak menarasikan kenaikan pajak dan pengampunan pajak tanpa menyampaikan kapan hal tersebut akan dilaksanakan. Karena itu, penting untuk disampaikan bahwa penerapan KUP tersebut dilakukan setelah ekonomi sepenuhnya pulih dan pertumbuhan kembali ke alurnya yang normal," ujar Fadhil dalam zoominari kebijakan publik, Jumat (11/6/ 2021).

        Dia memandang pengenaan PPN sembako sebaiknya dihindarkan karena merugikan ekonomi dan masyarakat dibandingkan manfaatnya.

        "Dalam hubungan dengan pengenaan PPN untuk bahan kebutuhan pokok yang selama ini menjadi non-BKP dan pendidikan hendaknya hal ini dihindarkan. Dampaknya akan lebih banyak merugikan ekonomi dan masyarakat dibandingkan manfaatnya. Pendidikan akan semakin mahal dan justru bertolak belakang dengan agenda peningkatan SDM, demikian juga menyangkut kebutuhan pokok."

        Fadhil menyatakan yang perlu diperluas pajak adalah benda yang inelastis permintaannya seperti barang mewah.

        "Yang perlu dipertimbangkan adalah kenaikan PPN untuk barang mewah yang bersifat inelastic (konsumsi masyarakat atas)," tutup Fadhil.

        Reformasi Pajak Harus Komprehensif

        Achmad Nur Hidayat menyarankan pemerintah mengajukan reformasi perpajakan yang komprehensif guna membantu penerimaan negara di kala pandemi.

        "RUU KUP itu seharusnya memuat reformasi pajak yang komprehensif. Polemik membebankan pajak sembako, kesehatan, dan pendidikan termasuk, memburu orang super kaya dengan 35% tarif OP seharusnya dibingkai dalam kerangka perpajakan yang lebih berkeadilan," ujar Achmad Nur Hidayat.

        Achmad Nur Hidayat menegaskan bahwa RUU KUP yang tidak didasarkan pada prinsip keadilan dan komunikasi publik yang masif maka reformasi pajak 2021 ini akan ditolak masyarakat.

        "Ibu Sri Mulyani harus terbiasa untuk mengomunikasikan gagasan reformasi publiknya secara masif apalagi bila dokumen publiknya sudah jatuh ke tangan DPR. Ibu Menteri jangan merasa kikuk di depan publik soalnya ini menyangkut hajat hidup orang banyak," ujar Achmad Nur Hidayat yang disapa ANH.

        Narasi rencana kenaikan PPN sembako bahkan 1% pun akan dinilai tidak adil di saat masyarakat mengalami resesi ekonomi, begitu juga perluasan penyidik pajak untuk menangkap tanpa melibatkan kepolisian dan kejaksaan akan mendapat penentangan keras dari publik," tambah ANH.

        ANH menyarankan agar reformasi pajak 2021 dilakukan mengedepankan prinsip keprihatian ekonomi publik dan asas keadilan.

        "Salah satunya reformasi perpajakan komprehensif berkeadilan adalah melalui kenaikan PPh pribadi orang kaya 35% dibarengi dengan penurunan PPh Badan/perusahaan dari 25 persen menjadi 10-15 persen."

        Baca Juga: Dikritik Soal PPN Sembako dan Tax Amnesty Jilid II, Begini Penjelasan Kemenkeu

        "Jika PPh Badan diturunkan maka underground economy akan muncul karena tidak ada lagi insentif untuk berusaha sembunyi-sembunyi. Di waktu bersamaan orang super kaya tidak lagi menumpuk harta karena takut dipajaki tarif PPh Pribadi tinggi sehingga mereka lebih banyak berinvestasi, mendirikan perusahaan, merekrut tenaga kerja baru sehingga ekonomi tumbuh," saran ANH.

        ANH memandang dengan penurunan PPh Badan yang signifikan akan menaikkan jumlah wajib pajak baru sehingga yang terjadi adalah ekstensifikasi pajak.

        "Selama ini reformasi pajak hanya bersifat intensifikasi terus-menerus, memburu wajib pajak yang itu-itu lagi seperti berburu di kebun binatang," tambah ANH.

        ANH mengakui dengan kebijakan penurunan PPh badan akan terjadi shortfall penerimaan dari pajak beberapa tahun, namun hal tersebut wajar karena negara sedang resesi imbas pandemi. Begitu ekonomi pulih, akan diikuti dengan meningkatnya wajib pajak baru. Penurunan PPh Badan tepat diberlakukan di saat ekonomi masih negatif saat ini.

        "Penurunan PPh Badan dalam simulasi akan menyebabkan shortfall sekitar 2-3 tahun terlebih dahulu setelah itu akan naik stabil seiring dengan wajib pajak badan yang bertambah," ujar ANH.

        ANH berpendapat reformasi pajak yang komprehensif artinya terjadi pendekatan baru dari intensifikasi kepada ekstensifikasi pajak sehingga diperlukan langkah revolusioner yang berani.

        "Masalahnya adalah reformasi perpajakan selama ini tidak substantif sehingga mutar-mutar saja menaikkan tarif pajaknya tanpa ada upaya serius menambah jumlah WP, kenaikan PPN Sembako dari nol menjadi 1 persen atau menaikkan PPh orang kaya dari 30 persen menjadi 35 persen adalah contoh reformasi pajak yang memburu di kebun binatang," tutup ANH.

        Baca Juga: Hadapi Perubahan Iklim, Sri Mulyani: Perlu Target Lebih Ambisius

        Saran untuk Sri Mulyani

        Achmad Nur Hidayat mempertanyakan aspek keadilan ekonomi dari rencana penerapan PPN sembako, pendidikan, dan kesehatan tersebut.

        "Kelompok kelas menengah atas yang pendidikan dan kesehatan di luar negeri mereka tidak terkena dampak rencana kenaikan PPN tersebut, sementara kelas menengah bawah yang belanja sembakonya, pendidikannya, dan kesehatannya di dalam negeri malah yang paling terdampak dari rencana reformasi pajak tersebut. Di mana keadilan ekonominya jika begitu?" ujar ANH.

        Dia menyarankan Sri Mulyani untuk menarget kelompok perusahaan teknologi global dan WNI berpendapatan Top 1% yang masih menyimpan dana repatriasinya di luar negeri. Patut diingat bahwa tax amnesty 2017 kemarin tidak diikuti dana repatriasi masuk ke dalam negeri dari target dana repatriasi Rp1.000 triliun hanya terealisasi Rp147 triliun.

        "Kelompok WNI berpenghasilan top 1% tidak semua ikut tax amnesty 2017 kemarin, bila audit pajak dilakukan terhadap kelompok WNI tersebut, pemerintah masih dapat tambahan penerimaan negara dari pemberlakuan sanksi sekitar 200 persen dari aset mereka," ujar ANH.

        Dia juga menyarankan daripada pajak nanti menimbulkan inflasi di saat ekonomi masih lemah sebaiknya ide kenaikan PPN sembako dan pendidikan dibatalkan saja karena manfaatnya lebih kecil dibandingkan bahayanya. RUU KUP sebaiknya fokus kepada pemberlakuan pajak dari e-commerce dan perusahaan teknologi yang naik daun seperti TikTok, Go-Jek, Google, Facebook, dan Apple.

        "Indonesia sebaiknya ikut G7 yang sudah menyepakati adanya pemberlakukan pajak yang lebih ketat terhadap perusahaan raksasa teknologi. Facebook yang memiliki Instagram dan WhatsApp menikmati keberlimpahan big data dari Indonesia, sementara pajak mereka masih rendah," ujar ANH.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rosmayanti
        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: