Dituduh Berpartisipasi dalam Pembunuhan Massal, Ini Jawaban Langsung Ebrahim Raisi
Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi untuk pertama kalinya membahas soal kaitan dirinya dengan eksekusi massal tahanan politik pada 1988. Eksekusi itu dilakukan ketika ia menjadi wakil jaksa Teheran.
Kelompok hak asasi menyatakan tak lama setelah perang Iran-Irak berakhir, Raisi adalah salah satu anggota "komisi kematian" yang memerintahkan penghilangan dan eksekusi ribuan tahanan. Tahanan yang dieksekusi sebagian besar merupakan anggota Mujaheddin-e-Khalq (MEK), yaitu sebuah organisasi yang mendorong perubahan rezim. Ketika itu, kelompok MEK memimpin serangan militer di Iran.
Baca Juga: Mengenal Ebrahim Raisi, Seorang Jaksa yang Bakal Jadi Presiden Iran Selanjutnya
Dalam konferensi pers pada Senin (21/6/2021), Raisi ditanya tentang keterlibatan dirinya dalam perintah eksekusi tahanan tersebut. Namun Raisi tidak secara langsung mengonfirmasi atau menyangkal tuduhan tersebut.
“Semua yang saya lakukan selama menjabat adalah untuk membela hak asasi manusia,” kata Raisi dilansir Al Jazeera, Selasa (22/6/2021).
Sebagai jaksa dan dalam kapasitas lainnya, Raisi merasa "bangga” karena selalu membela hak asasi manusia. Kini ketika Raisi menjadi presiden, ia berjanji akan terus membela hak asasi manusia.
“Jika seorang ahli hukum, hakim, atau jaksa telah membela hak-hak orang dan keamanan masyarakat, dia harus dipuji dan didorong untuk menjaga keamanan orang dari serangan dan ancaman," kata Raisi.
Rais,i yang merupakan kepala peradilan ultra-konservatif, mengumpulkan 17,92 juta suara dalam pemilihan Jumat (18/6/2021) dan mengalahkan tiga saingannya dengan kemenangan telak. Menurut Kementerian Dalam Negeri, jumlah pemilih adalah 48,8 persen atau terendah dalam sejarah Iran.
Raisi adalah seorang garis keras yang berada di bawah sanksi oleh Amerika Serikat (AS). Dia merupakan seorang kritikus keras negara-negara Barat. Dia berada di bawah sanksi AS karena dugaan keterlibatan dalam eksekusi tahanan politik beberapa dekade lalu.
"Jika terpilih, Raisi akan menjadi presiden Iran pertama yang dikenai sanksi sebelum dia menjabat dan berpotensi dikenai sanksi saat menjabat," kata analis Jason Brodsky dilansir al-Arabiya.
Brodsky mengatakan fakta itu dapat mengkhawatirkan Washington dan Iran liberal, terlebih fokus tajam Presiden AS Joe Biden adalah hak asasi manusia secara global. Raisi adalah seorang tokoh tingkat menengah dalam hierarki ulama Muslim Syiah Iran.
Raisi diangkat oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei sebagai kepala kehakiman pada 2019. Beberapa bulan kemudian, AS menjatuhkan sanksi kepada Raisi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi tahanan politik dan penindasan kerusuhan pada 2009.
Amnesty International dan Human Rights Watch mengatakan terpilihnya Raisi sebagai presiden baru Iran merupakan pukulan bagi hak asasi manusia. Mereka menyerukan agar pihak berwenang membuka penyelidikan atas peran Raisi yang terlibat dalam eksekusi di luar hukum terhadap ribuan tahanan politik pada tahun 1988.
Iran tidak pernah mengakui eksekusi massal dan Raisi tidak pernah secara terbuka membahas tuduhan tentang perannya. Beberapa ulama mengatakan pengadilan itu adil dan memuji penghapusan oposisi bersenjata pada awal revolusi Islam 1979.
"Kami terus menyerukan agar Ebrahim Raisi diselidiki atas keterlibatannya dalam kejahatan masa lalu dan yang sedang berlangsung di bawah hukum internasional, termasuk oleh negara-negara yang menjalankan yurisdiksi universal," ujar Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard.
Hal yang sama juga disuarakan oleh Wakil Direktur Timur Tengah Human Right Watch, Michael Page. Dia menyebut pihak berwenang Iran membuka jalan bagi Ebrahim Raisi untuk menjadi presiden melalui penindasan dan pemilihan yang tidak adil.
"Sebagai kepala Kehakiman yang represif Iran, Raisi mengawasi beberapa kejahatan paling keji dalam sejarah Iran baru-baru ini, yang pantas diselidiki dan dipertanggungjawabkan daripada pemilihan jabatan tinggi," ujar Page.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: