CIPS: SKB Pedoman Belum Menjelaskan Pasal Multitafsir di UU ITE
Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) tentang pedoman implementasi atas pasal-pasal yang potensial bermasalah di Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum cukup menjelaskan pasal-pasal multitafsir dalam UU tersebut.
Padahal, SKB ini diharapkan dapat menjadi pedoman pembatasan penafsiran pasal-pasal "karet" dalam UU ITE sembari menunggu proses pembahasan revisi di DPR.
Baca Juga: Respons Pakar Hukum atas Terbitnya SKB Pedoman Implementasi Pasal Karet UU ITE
"Penerbitan SKB ini sebenarnya patut diapresiasi karena artinya pemerintah menyadari bahwa ada peluang multitafsir dalam pasal-pasal di UU ITE yang potensial digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat. Akan tetapi, penerbitan SKB ini tentu saja masih jauh dari cukup untuk menjamin rasa aman bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas online," terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Thomas Dewaranu, dalam keterangan persnya, Jumat (2/7/2021).
Thomas menerangkan beberapa hal yang membuat SKB ini masih perlu diperkuat dengan adanya revisi. Pertama, pembatasan penafsiran atas UU melalui mekanisme SKB dapat memberikan preseden bahwa tafsir pasal dalam peraturan setingkat UU dapat dilakukan hanya dengan menerbitkan panduan bagi kementerian dan lembaga eksekutif yang terkait.
Hal ini membuka peluang terjadinya penyalahgunaan penggunaan SKB untuk kepentingan kekuasaan di masa depan. Maka dari itu, lanjutnya, pembatasan tafsir atas UU sejatinya harus dilakukan dengan revisi UU, bukan dengan SKB yang kekuatan berlakunya terbatas pada kementerian dan lembaga eksekutif yang menyetujui SKB tersebut.
Kedua, SKB tersebut fokus pada implementasi pemidanaan atas pasal-pasal karet dalam UU ITE. Sementara, HAM atas kebebasan berekspresi bagi pengguna internet masih dapat dilanggar melalui perintah pemutusan akses dan penyensoran atas konten-konten online, tanpa disertai jaminan mekanisme due process bagi platform dan user.
Maka dari itu, komitmen perlindungan kebebasan berekspresi di ranah digital harus diterapkan juga dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang membuka ruang penyensoran berlebihan yang melanggar HAM.
Peraturan Menkominto No. 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang keberlakuannya diamandemen dengan Peraturan Kominfo 10/2021, misalnya, belum memberikan mekanisme protes dan keberatan yang dapat diajukan oleh platform dan pengguna internet atas perintah pemutusan akses terhadap konten-konten yang dinilai "terlarang" dalam peraturan tersebut.
Revisi atas Permenkominfo ini seharusnya dapat lebih mudah dilakukan oleh Menkominfo, mengingat proses revisi akan terbebas dari dinamika politik yang terjadi di DPR—sebagaimana terjadi dalam rencana revisi UU ITE.
"Penerbitan SKB tidak boleh menjadi alasan untuk menghentikan rencana revisi UU ITE. Sembari menunggu dinamika politik atas usul revisi UU ITE, pemerintah dapat melakukan hal lain untuk membuktikan komitmen penjunjungan HAM kebebasan berekspresi di ruang digital dengan cara mengamandemen Permenkominfo 5/2020 untuk memberikan due process bagi platform digital dan pengguna internet untuk menyampaikan keberatan terkait perintah pemutusan akses atas konten- konten terlarang yang dilakukan oleh Kemenkominfo," tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bernadinus Adi Pramudita
Editor: Puri Mei Setyaningrum