Setiap pilihan kebijakan akan mengandung risiko. Karena itu, kebijakan yang baik sebaiknya meminimalkan risiko. Itu pula yang harus dipilih dalam transformasi kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) seiring kelahiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengintegasikan lembaga iptek.
Karena transformasi memerlukan waktu yang lama, sebaiknya dipilih yang benar-benar tidak menimbulkan kegaduhan. "Saya ingin transisi tak heboh. Harus benar-benar transisi yang mulus. Sebab, organisasi penelitian itu tak birokratis," urai Bambang Brodjonegoro dalam Alinea Forum bertema ‘Organisasi Riset dan Inovasi Bagi Kemajuan Iptek’, Selasa (3/8).
Mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN itu mengisahkan rencananya waktu itu. Tapi rencana itu tidak kesampaian karena Kemenristek dibubarkan dan urusan ristek digabungkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lewat Peraturan Presiden 33/2021 dibentuk BRIN sebagai lembaga otonom di bawah presiden.
Menurut Bambang, berkaca pada pengalaman saat menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, ada baiknya BRIN bertugas dalam koordinasi kebijakan dan perencanaan. Koordinasi dan sinergi harus diperkuat antara pelaku riset dan inovasi, termasuk lembaga penelitian, swasta, perorangan dan pendidikan tinggi. Sehingga tidak ada redudansi dan duplikasi.
Alasannya, anggaran riset terbatas. Indonesia tidak punya kemewahan anggaran riset seperti negara lain. Selain itu, kata Bambang, resources riset dan inovasi terserap di berbagai tempat. Ada juga perguruan tinggi. Ini semua perlu koordinasi.
Ia mencontohkan riset varietas padi oleh badan litbang Kementerian Pertanian, UGM, IPB dan yang lain. Bedanya hanya tipis. "Dengan koordinasi yang simpel seperti itu anggaran bisa dikelola optimal. Harusnya BRIN memastikan efisiensi. Karena organisasi penelitian dan birokrasi gak bisa klop," kata dia.
Soal transformasi kelembagaan, Bambang menyarankan agar lembaga iptek seperti LIPI, BPPT, LAPAN, dan BATAN tetap ada. Lembaga iptek ini mesti diubah agar tidak birokratis. Cara bekerjanya seperti perguruan tinggi yang tidak mengenal atasan-bawahan. Tapi bersifat kolegial. Ia yakin langkah seperti ini akan membuat gerak BPPT dan yang lain bakal lebih gesit.
Hal ini merespons rencana BRIN mengintegrasikan lembaga iptek, baik lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) maupun badan litbang di kementerian/lembaga. BRIN memberi tiga opsi, yakni bedol desa ke BRIN, transisi program ke BRIN, dan transisi parsial. Targetnya, integrasi ini selesai awal 2022.
Kepala Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian 2010-2015 Haryono mengamini pihaknya akan bergabung ke BRIN. Namun, ia berharap litbang Kementeran bisa bergabung paling akhir. Sebab, kebijakan Kementan perlu pengawalan.
Haryono menegaskan, integrasi harus mengacu pada kaidah transformasi sistem. "Integrasi itu wajib memiliki kaidah transformasi sistem. Tidak mendadak, tetapi bertahap dan memiliki transisi," jelas Haryono.
Haryono menjelaskan, ada dua pilihan integrasi, yakni soft dan hard integration. "Hard integration ini bisa kontraproduktif. Jadi keduanya harus dipakai. Tidak ada transformasi yang dilakukan secara mendadak, pasti bertahap," kata dia.
Wakil Rektor Bidang Inovasi, Bisnis, dan Kewirusahaan IPB University Profesor Erika Budiarti Laconi berharap BRIN dapat mensinergikan hasil karya dari lembaga iptek, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), lembaga pengkajian dan penerapan (jirap), badan usaha, dan penunjang.
Jika merujuk UU 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek, kata dia, BRIN harus mampu mengoptimalkan anggaran ke depan dengan skema penta helix. Dengan begitu, kata Erika, inovasi bukan hanya berupa karya tulis, tetapi produk yang bisa membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
“Selama ini semua lembaga jirap dan litbang kementerian duplikasi dalam riset. Risetnya juga belum tuntas. Jadi, harus kolaborasi dan sinergi. Artinya harus punya payung riset,” ucap Erika.
Berkaca dari Bappenas, kata dia, BRIN seharusnya menyusun program prioritas riset nasional dengan topik terseleksi.
Sebagai Kepala Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB, Erika menyarankan, BRIN mempertimbangkan segi penerimaan dan kesukaan masyarakat, serta daya edar dalam seleksi uji kualitas inovasi.
Sebab, jelas dia, untuk inovasi tertentu harus pula selaras dengan regulasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Di sisi lain, BRIN harus membuat sistem informasi untuk mendata berbagai riset yang telah dikerjakan, hingga jenis peralatan dan lokasi.
Sehingga mitra industri yang berkolaborasi tidak perlu lagi mengembangkan ekosistem riset dan berbagai alatnya.
“(Perlu) ada share resources. Tidak seluruh lembaga punya alat lengkap. Sehingga, tak perlu lagi kirim sampel ke luar negeri. Padahal di dalam negeri kita punya. Alat yang kita punya tadi, karena tidak pernah dipakai itu bisa rusak,” tutur Erika.
BRIN juga perlu memiliki mitra industri untuk menampung berbagai inovasi yang dihasilkan. LKST misalnya, kata dia, hasil inovasi yang potensial bakal diteruskan ke holding company (perusahaan induk) IPB yang memiliki 13 anak perusahaan. Selain itu, inovasi dari LKST juga bakal ditampung mitra industri lain, baik di dalam maupun luar negeri.
“Tentunya ini perjuangan berat karena berbagai paten itu (inovasi yang telah memiliki hak kekayaan intelektual) tidak serta merta industri menerima dan langsung diproduksi. Beberapa kali harus kita lakukan negoisasi dengan industri. Inilah yang sering kami sampaikan bahwa ada lembah kematian dari riset-riset kita kalau kita tidak terus berjuang,” ucapnya.
Senada, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, BRIN harus dapat mengoordinasikan semua hasil riset dan inovasi agar bisa bersaing dengan negara lain.
Makanya, kata dia, setiap lembaga iptek harus bisa bermain dalam orkestrasi sesuai fungsi dan tugas masing-masing.
Kelembagaan iptek dan BRIN, kata Hammam, berada dalam satu kesatuan sistem nasional iptek. Keberadaan kelembagaan iptek yang terdiri dari 5 unsur (perguruan tinggi, lembaga litbang, jirap, badan usaha, dan lembaga penunjang) seperti diatur dalam Pasal 42 UU No. 11/2019 harus ada dalam sistem nasional iptek.
"BRIN berperan mengarahkan dan menyinergikan. BRIN menyusun rencana induk pemajuan iptek, sinergi aspek kebijakan, perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya iptek," kata dia.
UU Sisnas Iptek, jelas Hammam, pada dasarnya tidak menimbulkan beban keuangan negara yang baru. Karena UU ini tidak membentuk lembaga baru. Ia meyakini, keberadaan UU ini justru akan mengoptimalkan fungsi dari lembaga yang telah ada.
Sementara anggota Komisi X DPR RI dan Wakil Ketua Pansus RUU Sisnas Iptek 2014-2019 Marlinda Irwanti menjelaskan, sebenarnya UU Sisnas Iptek didesain untuk memaksimalkan peran iptek dalam pembangunan nasional.
"Dalam UU No. 18 Tahun 2002 itu dinyatakan bahwa iptek hanya untuk kemajuan Iptek, kemudian terjadi perubahan paradigma menjadi UU No.11 Tahun 2019 bahwa Iptek untuk pembangunan nasional," jelas Marlinda.
Presiden Joko Widodo sendiri, kata dia, dalam sejumlah pidatonya menyatakan iptek perlu dimanfaatkan bagi pembangunan nasional dan inovasi Iptek dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Perbedaan paling signifikan dari kedua UU tersebut, jelas Marlinda, terdapat pada kata kunci "inovasi".
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat