Kementerian ESDM mengakui program percepatan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap akan mengikis pendapatan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
PLN diperkirakan akan kehilangan potensi penerimaan hingga senilai Rp5 triliun. Hal itu diungkapkan oleh Dirjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dalam diskusi Indonesia Forward yang ditayangkan oleh CNN Indonesia pada Kamis (26/8/2021) malam.
Dadan mengaku pihaknya telah melakukan kalkulasi soal pendapatan tersebut. Untuk mencapai angka 3,6 gigawatt produksi listrik dari PLTS Atap, pihaknya memperkirakan potensi pengurangan penerimaan di PLN mencapai sekitar Rp5 triliun.
“Program ini (PLTS Atap) bisa berjalan, ini memang betul akan terjadi pengurangan pendapatan di PLN. Ini tidak bisa dihindari,” katanya. "Kalau dihitung, 3, 6 gigawatt itu potensi pengurangannya PLN Rp5 triliun."
Walaupun demikian, dia menuturkan, pengurangan ini juga bisa diikuti dengan pengurangan pengeluaran lainnya di BUMN setrum tersebut.
Menurut dia, pemerintah telah berkomitmen bahwa layanan listrik kepada konsumen harus dijaga, sekaligus pula daya belinya.
Dadan memperkirakan, apabila program pengembangan PLTS sebesar 3,6 gigawatt dapat berjalan, akan terjadi pengurangan batu bara hingga 3 juta ton.
Program tersebut juga dinilai dapat menyerap tenaga kerja hingga 121.000 orang serta berpotensi meningkatkan investasi hingga Rp45 triliun–Rp 63 triliun.
Dadan juga memperkirakan pengembangan PLTS tersebut dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,6 juta ton. Di sisi lain, hal ini juga akan mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri yang selama ini belum berkembang dengan baik.
“Juga mendorong terciptanya industri yang semakin hijau, green product. Karena kita lihat banyak industri yang bergeser ke negara tetangga, karena di sana listriknya lebih hijau dari pada kita,” lanjutnya.
Selama 3 tahun terakhir, ujarnya, skema tarif ekspor-impor net metering listrik menggunakan angka 0,65:1.
Selama periode tersebut, produksi energi listrik yang dihasilkan dari PLTS Atap hanya mencapai 35 megawatt dengan jumlah pelanggan sebanyak 4.000 konsumen.
Pihaknya menilai apabila skema tersebut masih tetap diberlakukan, penambahan jumlah produksi energi listrik dari PLTS Atap dan jumlah pelanggannya tidak akan tumbuh signifikan.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan PLN menghadapi potensi kerugian cukup besar yang pada akhirnya akan berdampak pada turunnya pelayanan bagi konsumen.
Marwan menyorot tentang PLTS Atap yang saat ini kian digencarkan oleh pemerintah dan sejumlah pihak terkait.
Kehadiran PLTS Atap yang dapat memasok atau mengekspor listrik kepada PLN di tengah kondisi saat ini dinilai akan membawa dampak bagi pembangkit-pembangkit milik PLN.
“Dengan adanya pasokan (dari PLTS Atap) ini, ada sebagian dari pembangkit PLN yang operasionalnya tidak optimal atau dikurangi. Dengan begitu, operasi dari pembangkit ini menjadi tidak efisien. Artinya di situ ada cost yang lain yang nilainya bisa mencapai triliunan,” ujarnya.
Dia menyebutkan bahwa memang ada pasokan listrik yang tidak dipakai oleh PLN. Namun, lanjutnya, sarana untuk itu telah dibangun sehingga mau tidak mau pembangkit pun diberhentikan sementara.
Ketika sebuah pembangkit berhenti beroperasi, pembangkit tersebut menjadi tidak efisien sehingga menimbulkan biaya.
Tulus Abadi, Ketua Harian Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), menyebutkan bahwa energi terbarukan merupakan suatu keniscayaan yang harus diusung oleh Indonesia. Menurut dia, implementasinya sebaiknya dilakukan pada masa transisi.
Alih-alih digencarkan di daerah-daerah yang sudah surplus listrik seperti di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatra, Tulus menilai sebaiknya implementasi PLTS Atap digencarkan di wilayah-wilayah yang minim listrik.
“Sebetulnya PLTS oke. Tetapi saya kira komposisi skema tarif terdahulu masih cukup fair. Nanti kalaupun mau diformulasikan skema 1:1, saya kira itu lebih fair kalau mau diimplementasikan di luar pulau Jawa yang listriknya masih sangat minim, yang perlu pembangkit-pembangkit alternatif. Kenapa dihantamkan di pulau Jawa yang sudah surplus?” tuturnya.
Apalagi, lanjutnya, pemerintah sendiri yang telah menyebabkan kondisi surplus listrik pada saat ini. Hal itu disebabkan karena pemerintah mendorong PLN untuk membangun listrik 35.000 mega watt.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat