Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Memahami SIN Sebagai Sistem Informasi yang Terintegrasi

        Memahami SIN Sebagai Sistem Informasi yang Terintegrasi Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaj
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Warga Negara Indonesia saat ini memiliki banyak sekali identitas. Sedikitnya, paling tidak terdapat kemungkinan 32 identitas seorang warga Negara, seperti NIK, nomor KK, nomor SIM, nomor paspor, nomor akta kelahiran, dan lain sebagainya.

        Terlalu banyak nomor yang ada dalam seorang warga Negara tersebut sedikit banyak cukup memberi kesulitan baik dari warga Negara itu sendiri, maupun bagi Negara.

        Kesulitan bagi Negara, khususnya bagi aparat pajak, dengan banyaknya nomor identitas yang tersebar tersebut adalah sulit untuk mengidentifikasi kebenaran SPT mengenai harta seorang wajib pajak yang dilaporkan dalam SPT tersebut.

        Menyadari hal tersebut, pemerintah sejak tahun 2001 telah mencanangkan sebuah nomor bersama sebagai Single Identity Number Pajak yang menyatukan banyak identitas warga Negara ke dalam 1 (satu) nomor bersama. SIN Pajak sendiri mengadopsi konsep transparansi, khususnya transparansi perpajakan. 

        SIN Pajak dibentuk ke dalam sebuah sistem informasi yang terintegrasi dimana berisi data-data baik finansial maupun nonfinansial.

        Dalam UU KUP, konsep SIN sebagai manajemen informasi perpajakan dinyatakan sebagai kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

        Dalam hal data dan informasi yang diberikan dianggap tidak mencukupi, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

        Data yang interkoneksi secara online dan tidak adanya campur tangan manusia dalam pengambilan data dan pengujian link and match menjadikan pengujiannya bersifat obyektif. Mekanisme seperti ini akan dapat membuat penerimaan pajak tercapai.

        Hal tersebut dikarenakan tidak adanya lagi celah bagi Wajib Pajak untuk menyembunyikan sesuatu atau aparat pajak bermain-main karena seluruh celah kecurangan akan dapat diketahui dengan mudah dengan mekanisme pencocokan data pada Pusat Data. 

        Pemetaan tersebut adalah dengan konsep link and match dimana uang atau harta baik dari sumber yang legal maupun ilegal selalu digunakan dalam 3 (tiga) sektor, yaitu konsumi, investasi, dan tabungan. Dalam konsep SIN Pajak, 3 (tiga) sektor tersebut wajib memberikan data dan terhubung secara sistem dengan sistem perpajakan.

        Artinya uang dari sumber yang legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara sempurna dalam sistem perpajakan. WP akan menghitung pajak dan mengirimkan SPT ke DJP. Sehingga SIN Pajak akan dapat memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT.

        Artinya tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh WP. Sehingga WP akan patuh membayar kewajiban perpajakannya, karena tidak adanya celah untuk menghindar dari kewajiban perpajakan.

        Dengan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan tersebut tentu penerimaan perpajakan akan dapat mencapai target, bahkan jika dilihat dari potensi perpajakan yang ada sangat dimungkinkan akan dapat melebihi target pajak yang telah ditetapkan.

        Pajak dan korupsi memiliki pertalian yang sangat kuat, yaitu alasan utama dari keduanya timbul adalah adanya kesempatan, selain itu keduanya memiliki hubungan yang erat dengan keuangan negara.

        Dalam hal perpajakan, kesempatan itu tercipta melalui sebuah sistem pemungutan dengan nama self assessment system. Yang kemudian terjadi adalah, WP merasa mendapatkan kesempatan untuk melakukan manipulasi SPT karena DJP tidak memiliki data pembanding atas SPT tersebut. Sehingga penghindaran pajak dan manipulasi pajak menjadi sangat mungkin dilakukan.

        Hal ini akan membuat Wajib Pajak “terpaksa” jujur (voluntary compliance) secara sistem sehingga pemeriksaan pajak tidak akan diperlukan lagi atau dihapus karena pemeriksaan pajak tersebut telah dilakukan secara oleh sistem data perpajakan.

        Pada saat implemetasi SIN akan menjadikan wajib pajak “terpaksa” untuk jujur karena para wajib pajak tersebut tidak memiliki celah untuk berbohong/memanipulasi laporan pajaknya. Namun keterpaksaan tersebut secara lambat laun akan menjadi sebuah kebiasaan baru.

        Sehingga para wajib pajak akan terbiasa untuk jujur dalam melaporkan harta kekayaannya dalam sebuah SPT.

        Indonesia memang telah memiliki KTP elektronik, namun KTP elektronik tersebut belum dapat menjadi sebuah identitas tunggal karena hanya memuat data-data kependudukan. Hal tersebut berbeda dengan SIN Pajak yang memuat tidak hanya data non finansial, namun juga memuat data finansial dari seorang warga Negara.

        Data tersebutlah yang menjadi dasar bagi aparat pajak untuk melakukan pengujian SPT dari wajib pajak. Di sisi lain, dasar hukum yang telah lengkap tersebut menjadikan SIN Pajak tersebut menjadi lebih kuat untuk dijadikan nomor tunggal yang digunakan secara bersama-sama.

        Namun, dalam implementasi SIN Pajak sebagai bagian dari Bank Data Perpajakan masih memiliki hambatan, antara lain terlihat pada inkonsistensi pengaturan dalam ketentuan UU KUP dengan Peraturan Pelaksananya.

        Dalam ketentuan Pasal 35A UU KUP jelas diatur dengan penggunaan frasa “diatur dengan Peraturan Pemerintah” yang menurut ketentuan yang diatur dalam Angka 203 Bab II Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memiliki arti bahwa pendelegasian pembentukan peraturan turunan Pasal 35A UU KUP diberikan kepada peraturan setingkat Peraturan Pemerintah.

        Pada kenyataannya pasal tersebut juga diatur dengan didelegasikan kembali ke tingkat peraturan menteri.

        Akibat dari inkonsistensi beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, secara langsung akan berdampak pada sebuah kondisi korupsi yang sistemik dan massif, yang peluang terjadinya korupsi justru dilakukan oleh pada oknum aparatur perpajakan itu sendiri. Sehingga perlu dilakukan adanya executive review dari pemerintah agar SIN Pajak ini dapat segera terlaksana.

        Selain itu, mengingat beban DJP yang sangat besar dengan mengemban amanat dari 14 UU dan 1 UUD 1945, perlu adanya reorganisasi institusi perpajakan ke dalam sebuah badan otonom yang langsung bertanggung jawab di bawah Presiden.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: