Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Wajibkah DJP Langsung di Bawah Presiden ?

        Wajibkah DJP Langsung di Bawah Presiden ? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pajak saat ini merupakan sebuah instrumen penting dalam jalannya sebuah pemerintahan dan tulang punggung keberlangsungan sebuah negara. Pungutan pajak merupakan sumber utama penerimaan sebuah negara.

        Hal tersebut berlaku pada negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Pungutan pajak menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara dalam APBN. Bahkan nilai penerimaan pajak dapat mencapai lebih dari 80 persen dari total penerimaan negara.

        Ironisnya, dengan peran yang sangat krusial tersebut, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir Indonesia tidak pernah mencapai target penerimaan pajak. Padahal jika dilihat GDP Indonesia terus mengalami peningkatan. Tidak perlu perhitungan analisis-analisis yang rumit untuk menyatakan bahwa ada yang salah dengan sistem perpajakan di Indonesia.

        Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni substansi hukum (substance of the law), struktur hukum (structure of law), dan budaya hukum (legal culture). Substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat. 

        Dalam dunia perpajakan, substansi hukum, khususnya hukum perpajakan di Indonesia diatur secara lengkap mulai dari konstitusi dalam UUD 1945 sampai dengan peraturan menteri sebagai bagian politik hukum implementatifnya. Sedangkan struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum yang menjalankan substansi hukum tersebut. Berbicara mengenai struktur hukum perpajakan, otoritas perpajakan merupakan wakil negara dalam pemungutan pajak atau penerimaan. 

        Pada Oktober 2003, ide reformasi kelembagaan pada reformasi perpajakan sebenarnya bukan hal baru. Guru Besar UGM, Prof. Dr. Miftah Toha dan Ekonomi Indef waktu itu, Drajad H Wibowo sempat melakukan penelitian kelembagaan DJP dan melemparkan usul reformasi kelembagaan DJP tersebut.

        Kemudian, usul tersebut secara eksplisit tercantum pada tanggal 9 Desember 2003 dalam UU Nomor 28 Tahun 2003 tentang APBN 2004. Hal tersebut sejalan dengan usul Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada tahun 2004 yang disampaikan kepada Presiden RI melalui surat nomor B/59/M.PAN/1/2004 tanggal 15 Januari 2004 hal Usul Penyempurnaan Organisasi Departemen Keuangan. 

        Sejalan dengan ide tersebut, RUU KUP yang kemudian disahkan dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 secara implisit juga mengatur reformasi kelembagaan tersebut. Pasal 35A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengatur perlunya dibentuk bank data perpajakan.

        Dalam pasal tersebut diatur bahwa perlu adanya pengaturan pelaksanaan berbentuk peraturan pemerintah (PP). Hal tersebut memberi arti perlunya sebuah lembaga sui generis yang melaksanakan bank data perpajakan tersebut dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. 

        Namun PP tersebut tidak terbentuk, sampai akhirnya Ketua BPK pada tanggal 1 Juni 2011 memberikan usul dan saran. Setelah diminta pendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pemerintah akhirnya menerbitkan PP Nomor 31 Tahun 2012 pada 27 Februari 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.

        PP yang telah terbentuk tersebut tidak serta merta dapat dijalankan. Inkonsistensi pengaturan yang tidak selaras dengan UU diduga menjadi penyebab utama “nyawa” Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 tidak dapat hidup.

        Reformasi struktur kelembagaan DJP tersebut kemudian diungkapkan lagi oleh Bapak Joko Widodo dalam visi mengenai reformasi perpajakan pada saat sebelum menjabat sebagai Presiden, yaitu sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ide tersebut sejalan dengan kajian AUSAID pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa DJP merupakan departemen tradisional yang sifatnya kaku, multi tafsir, kurang dipercaya dan lain sebagainya.  

        Kajian tersebut dikuatkan dengan kajian dari OECD yang menyebutkan bahwa otoritas pajak Indonesia memiliki kewenangan paling sedikit dibandingkan otoritas pajak negara lain. Konsisten dengan ide yang dilontarkan pasangan Bapak Joko Widodo dan Bapak Jusuf Kalla dalam janji kampanye mereka, hal tersebut kemudian dituangkan dalam Nawa Cita Jokowi Jusuf Kalla 2014.

        Nawa cita tersebut kemudian diakomodir ke  dalam  Peraturan  Presiden Nomor  2 Tahun  2015 tentang Rencana  Pembangunan  Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019. RPJMN tersebut kemudian diakomodir Menteri Keuangan melalui  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/20015. 

        Merespon hal tersebut, Dirjen Pajak membentuk Kepdirjen Pajak Nomor 95/PJ/2015 tentang Renstra DJP 2015-2019. Reformasi kelembagaan DJP tersebut kemudian diusulkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo untuk diatur dalam undang-undang melalui surat Presiden nomor R-28/Pres/05/2016 tanggal 4 Mei 2016 hal Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,  RUU  KUP  Pasal  95  ayat  (2)  yang berbunyi  “Lembaga  berada  di  bawah  dan bertanggung jawab kepada Presiden.” Kepada DPR guna mendapatkan persetujuan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: