Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Setara Institute: Sejak 2019, Negara Jadi Aktor Dominan dalam Pelanggaran Kebebasan Beragama

        Setara Institute: Sejak 2019, Negara Jadi Aktor Dominan dalam Pelanggaran Kebebasan Beragama Kredit Foto: Unsplash/Mohd Danish Hussain
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Peneliti SETARA Institute Syera Anggraeni Buntara menyebut bahwa sejak 2019, ada pergesaran dominasi pelaku pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Jika sebelum 2019 mayoritas pelanggar KBB adalah aktor non-negara, sejak 2019 hingga 2020 aktor yang paling dominan adalah negara.

        "Dari 2007 hingga 2018, SETARA Institute menemukan pola bahwa yang paling banyak melakukan tindakan-tindakan intoleransi dan pelanggaran KBB dalam kurun waktu tersebut adalah aktor non-negara atau masyarakat," kata Syera dalam diskusi daring bertajuk "Kebebasan Beragama di Masa Pandemi" yang diselenggarakan oleh Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia, dan Kemenkumham RI, pada Jumat (8/10).

        Baca Juga: Kasus Penistaan Agama Ditanyakan Lagi di DPR, Kenapa?

        Syera mengatakan, berdasarkan Laporan KBB 2019 dan 2020, aktor negara menjadi yang paling dominan melakukan tindakan-tindakan intoleransi dan pelanggaran KBB. Secara spesifik, tahun 2020 terdapat 422 tindakan pelanggaran, sebanyak 238 di antaranya dilakukan oleh aktor negara. Sementara, 184 tindakan lainnya dilakukan oleh aktor non-negara.

        Ada tujuh tindakan negara tertinggi pelanggaran KBB yang dilakukan oleh aktor negara. Syera merinci, yakni diskriminasi (71 tindakan), penangkapan (21), penetapakan tersangka penodaan agama (20), pelarangan kegiatan (16), condoning (15), penyidikan atas tuduhan penodaan agama (13), dan tuntutan hukum atas penodaan agama (12).

        "Ada tujuh aktor negara tertinggi pelanggaran KBB. Paling banyak adalah Pemerintah Daerah hingga 42 tindakan dan kepolisian yang juga 42 tindakan. Kemudian, Kejaksaan (14), Satpol PP (13), Pengadilan Negeri (9), TNI (9), dan Pemerintah Desa (9)," katanya.

        Syera yang juga Peneliti Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Setara Institute menerangkan, meski dalam kondisi pandemi Covid-19, praktik intoleransi masih kerap terjadi. Berdasarkan data SETARA Institute, sepanjang tahun 2020 telah terjadi 422 dari 120 peristiwa pelanggaran KBB. Berdasarkan data KBB sementara hingga 2021, juga terdapat beberapa kasus pelanggaran KBB.

        Karena itu, pelanggaran KBB yang disebabkan dengan alasan pandemi sangatlah sedikit. Hampir semua peristiwa pelanggaran KBB yang terjadi di tahun 2020 dan 2021 justru disebabkan oleh hal-hal di luar pandemi. Kasus pelarangan kegiatan, gangguan rumah ibadah, dan tuduhan penodaan agama masih menjadi isu dominan.

        Adapun pelanggaran KBB bisa dilakukan oleh aktor negara baik secara aktif (violation by comission) atau pun dilakukan karena melakukan pembiaran (violation by omission). "Jadi, walaupun yang melanggar adalah aktor non-negara, negaralah yang harus bertanggung jawab untuk menindak. Jika membiarkan, negara telah melakukan pelanggaran HAM karena melakukan pembiaran atau violation by omission," Syera menjelaskan.

        Syera mencontohkan kejadian di Sintang, Kalimantan Barat. Berdasarkan video yang merekam aksi pelanggaran KBB kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada 3 September lalu, terlihat pembiaran oleh ratusan aparat kepolisian dan militer yang berjaga.

        Ia menyayangkan dengan jumlah yang banyak, tidak dapat mencegah masjid Miftahul Huda milik warga Ahmadiyah dipersekusi sekaligus dirusak oleh sejumlah massa yang berjumlah sebanyak 70-an.

        Selain itu, negara juga dapat melakukan penerbitan peraturan yang berpeluang melanggar HAM (violation by rule). Syera mencontohkan SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah dan Peraturan pembangunan rumah ibadah.

        Karena itu, Syera berharap masyarakat dapat bersuara sekaligus mengadvokasi pemerintah agar kebijakan-kebijakan diskriminatif atau yang berpotensi memunculkan tindakan pelanggaran KBB segera dihapuskan.

        "Selai hal itu, selaku inidividu kita bisa melakukan banyak hal termasuk mengedepankan dialog untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan tidak membenarkan aksi intoleran," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: