Persoalan sampah menjadi semakin serius di Indonesia. Namun tampaknya Pemerintah Daerah belum juga merasakan sifat kedaruratan dari pola pengelolaan sampah saat ini dan mau mengambil keputusan taktis membangun solusi yang sistematis.
Sementara, dampak lingkungan akibat pengelolaan sampah yang buruk terus-menerus dirasakan masyarakat.
Salah satunya adalah pengelolaan sampah di Kota Tangerang, yang kini menjadi sorotan pemerintah pusat. Ini lantaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing yang dikelola Pemkot Tangerang sudah mengalami kelebihan beban dan menimbulkan dampak lingkungan ke sekitarnya.
Perhatian publik timbul karena Pemerintah Pusat merasa telah memberikan fasilitas dan dukungan terbaik bagi Pemerintah Daerah dengan berbagai dukungan fiskal, insentif, dan paket regulasi, pembelian listrik dengan harga diatas BPP, terutama untuk kota yang rawan darurat sampah seperti Kota Tangerang.
Nyatanya Pemerintah Daerah seperti belum melihat urgency penanganan sampah hingga mencapai titik nadir. Kini, warga Kota Tangerang dihantui masalah sampah akibat pengelolaan sampah yang tak kunjung membaik.
Situasi ini sangat berbeda dengan kondisi beberapa tahun yang lalu. Di awal 2019, dengan selesainya program revitalisasi TPA yang dilakukan Kementrian PUPR untuk mendukung PSEL Kota Tangerang, TPA Rawa Kucing dipuji sebagai TPA terbaik dengan adanya taman-taman indah, lapangan futsal, dan bahkan kebun binatang mini.
Gambaran yang sama terlihat juga di wilayah Tangerang Selatan. Publik belum lupa akan longsor nya badan sampah dari TPA Cipeucang langsung ke sungai Cisadane yang mengakibatkan pencemaran air sungai dan terlepasnya gas-gas berbahaya yang diindikasikan dari baunya yang luar biasa selama berhari-hari.
Dampaknya, warga kota Tangerang Selatan sekarang mengirimkan sampahnya ke Kota Serang dan APBD nya menanggung biaya transportasi dan berbagai kompensasi dampak negatif yang mahal kepada pemerintah lainnya hanya demi dapat membuang sampah.
Sama seperti Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan juga mendapatkan fasilitas akselerasi dan berbagai bantuan dari Pemerintah Pusat untuk mengatasi kedaruratan ini melalui program Pengolah Sampah Energi Listrik, namun realisasinya masih jauh.
Pemkot Tangerang dan Pemkot Tangerang Selatan hanyalah sedikit dari mayoritas Pemerintah Daerah yang belum memprioritaskan penanganan sampah.
Kedua kota ini tidak dengan cepat merespon dukungan atas keinginan Pemerintah Pusat yang memprioritaskan investasi yang mendukung terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dan sehat, yang tentunya dimulai dengan program sanitasi yang baik.
Kementrian dalam negeri mengingatkan bahwa sampah adalah bagian dari pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan, namun sepertinya Pemerintah Daerah belum sepenuhnya memahami tugas ini.
Timbulnya kegaduhan atas penutupan TPS liar di wilayah Neglasari di Kota Tangerang yang sangat berdekatan dengan Bandara Internasional Soekarno Hatta memberikan bukti nyata bahwa Pemerintah Kota Tangerang belum serius memprioritaskan penanganan sampah meskipun berbagai fasilitas telah diberikan melalui berbagai kebijakan dan akselerasi dari Pemerintah Pusat.
Hal ini membuktikan bahwa dukungan keuangan dan kebijakan dari Pemerintah Pusat bukan satu-satunya faktor yang mampu mendorong terlaksananya program-program penting Pemerintah Pusat. Niat baik dari Kepala Daerah dan penegakkan hukum lingkungan adalah faktor kunci berikutnya.
Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Guntur Sitorus, mengamini hal ini dan menilai, perlu keseriusan pemda dalam penanganan masalah sampah.
"Yang paling mendasar adalah prioritas dan keberpihakan terhadap pengelolaan sampah masih kurang, terutama penyediaan anggaran yg memadai, seringkali pemda mengatakan tidak punya uang. Selain itu masih banyak yang menganggap bahwa sampah itu adalah sumber daya yang dapat dijual dan menghasilkan untung, betul bahwa sebagian kecil sampah dapat dijual seperti plastik, kertas, logam, tapi bagian terbesar dari sampah perlu pengelolaan dan membutuhkan biaya,"
"Sehingga secara total hasil yang diperoleh dari sampah tidak dapat menutupi biaya pengelolaan secara keseluruhan. Sehingga tetap diperlukan anggaran untuk biaya pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah adalah kewajiban, cost center, dan bukan profit center, tidak bisa full cost recovery, kalaupun ada hasil dari sampah, itu dianggap bonus aja,” papar Guntur, Jumat (22/10).
Sejatinya, Presiden Joko Widodo sudah berupaya menyelamatkan kedaruratan sampah nasional lewat regulasi pengelolaan sampah di 12 Kota besar melalui pengesahan Peraturan Presiden No. 35/2018, yang diberikan status sebagai Proyek Strategis Nasional dalam Perpres 109/2021.
Daerah-daerah yang sudah darurat pengelolaan sampahnya seperti Jakarta, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Semarang dan Surabaya, diberikan fasilitas prioritas dan fasilitasi khusus untuk membangun instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL).
Selain itu sudah ada Peraturan Pemerintah yang mendorong semua instrumen pemerintahan dari Menteri, Lembaga, Kepala Daerah untuk bekerjasama mendorong dan mempercepat pelaksanaan setiap Proyek Strategis Nasional dengan berbagai kemudahan.
Meskipun demikian, Pemerintah Daerah banyak yang masih gagal melihat kedaruratan yang dilihat oleh Pemerintah Pusat.
Ditegaskan Guntur, karena PLTSa/PSEL adalah bagian Proyek Strategis Nasional (PSN), Pemerintah Pusat perlu konsisten dalam menegakkan peraturan dan menjamin, mendorong, dan memastikan pemda agar tidak ragu dan tidak takut melaksanakan proyek PSEL.
Karena kelihatannya banyak pemda masih ragu dan khawatir untuk melaksanakan program ini, terutama karena kontraknya panjang, 20 – 25 tahun. Sehingga pemda ketika mau tanda tangan berpikirnya menjadi sangat panjang. Padahal jika mandek, masyarakat jelas akan dirugikan.
Sebagaimana diketahui, bahwa pelaksanaan PLTSa/PSEL melibatkan dana investasi badan usaha dalam penyelenggaraannya, sehingga pendanaannya bukan bersumber dari dana APBN atau APBD. Meskipun demikian, Pemda membayar biaya layanan untuk setiap ton sampah yang diolah dalam aset tersebut.
Harapannya, biaya layanan pengolahan sampah ini kedepannya dapat ditutup dengan penarikan retribusi sampah dari masyarakat oleh Pemda. Keterlibatan dana investasi dan retribusi inilah yang membedakan pelaksanaan program PLTSa/PSEL dari program pelaksanaan proyek-proyek lainnya yang sudah jauh lebih dikenal dan dipahami banyak elemen pemerintah daerah.
“Banyak hal yg menyebabkan pembangunan PSEL tidak berjalan mulus bahkan dapat dikatakan mandek. Setiap daerah punya kendala dan masalah masing-masing. Namun demikian secara umum permasalahan tersebut terjadi sejak tahap persiapan, penyusunan pra feasibility study, penyiapan dokumen lelang dan penyusunan kontrak, proses lelang, negosiasi kontrak, penandatangan kontrak dan implementasi kontrak. Pada setiap tahapan tersebut mempunyai masalah sendiri-sendiri, “ ucap Guntur, kepada wartawan.
Disampaikan Guntur, ada pemda sudah punya visi yang baik dalam hal pengelolaan sampah, walaupun sebagian lagi masih belum. Bahkan, seringkali, banyak dalih dikeluarkan pemerintah daerah hingga masalah sampah diabaikan.
Padahal pengelolaan sampah yang mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan dapat diganjar dengan hukuman pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp100 juta sampai dengan Rp 5milyar oleh Undang Undang No. 18 Tahun 2018.
“Kalau PLTSa mandek, artinya masyarakat tidak mendapatkan pelayanan publik yang memadai, sampah yang tidak terkelola dapat berdampak pada kesehatan, perubahan iklim akibat gas rumah kaca, estetika, dan keasrian kota. Apalagi terus-menerus mandek, maka tentunya biaya/kerugian sosial akan terus meningkat tajam. ” tegas Guntur.
Lebih lanjut, UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan Proyek Strategis Nasional merupakan sebuah kewajiban bagi kepala daerah yang ditugaskan. Ada sanksi bagi kepada Kepala Daerah apabila tidak melaksanakan Proyek Strategis Nasional, termasuk pemberhentian dari sementara hingga permanen.
Untuk itu dalam upaya memenuhi aspek pelayanan publik, dalam hal bilamana kepala daerah berhalangan, maka kewajiban pelaksanaan Proyek Strategis Nasional akan dilaksanakan oleh Plt. Kepala Daerah yang menggantikan. Sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya, proyek ITF Sunter tetap dijalankan oleh Plt Gubernur yang ditunjuk Kemandagri karena gubernurnya berhalangan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat