Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Penting! Nggak Bisa Asal Konsumsi, Antibiotik Harus dengan Resep Dokter karena Risikonya...

        Penting! Nggak Bisa Asal Konsumsi, Antibiotik Harus dengan Resep Dokter karena Risikonya... Kredit Foto: Pexels/Anna Shvets
        Warta Ekonomi -

        Perbaikan kebijakan peresepan, praktik penjualan, dan konsumsi antibiotik yang bijak dan rasional semakin dibutuhkan di Indonesia. Terlebih, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter kian banyak hingga menjadi salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba.

        Resistensi antimikroba--mulai dari antibiotik (obat untuk membunuh bakteri), antivirus, antiparasit, dan antijamur--menjadi salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia. Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015.

        Baca Juga: ‘Tubuh Kurus Tidak Akan Kena Diabetes’ Nah Ini Nih, Salah Besar! Tubuh Kurus Dapat…

        Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021 Dr dr Harry Parathon SpOG(K) mengatakan, resistensi terjadi ketika bakteri dalam tubuh sudah tidak mempan lagi dimatikan antibiotik. Resistensi membuat mekanisme tubuh menolak antibiotik sehingga penyakit lebih sulit disembuhkan.

        "Teori yang paling populer, bakteri resisten senang kawin dengan bakteri yang belum resisten," kata Harry dalam diskusi daring  bertajuk "#TUNTASBERITUNTASPAKAI" yang digelar Indonesia One Health University Network bersama Pfizer Indonesia, dikutip Sabtu (6/11).

        Harry mengingatkan, antibiotik harus digunakan dengan bijak dan tepat guna. Untuk menghambat laju resistensi antimikroba, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit.

        Baca Juga: Bukan Main... Survey Menunjukkan Covid-19 Tak Buat Orang Indonesia Berhenti Merokok

        Menurut Harry, dokter perlu memastikan apakah pemberian antibiotik benar-benar diperlukan atau tidak. Lalu, apoteker dan farmasi juga perlu memastikan akurasi peresepannya.

        "Jadi skemanya, dari resep dokter boleh diajukan farmasi ke tim PGA untuk ditinjau lebih lanjut," kata Harry.

        Baca Juga: Apakah Sering Kencing di Malam Hari Mutlak Mengindikasikan Diabetes? Ternyata…

        Tim PGA ini berfungsi membantu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak. Tim bertujuan mendampingi dokter penanggung jawab pelayanan dalam menetapkan diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis, serta rute, saat, dan lama pemberian.

        Harry menjelaskan, tugas dokter penanggung jawab pelayanan adalah menegakkan diagnosis infeksi bakteri dan memberikan antimikroba sesuai dengan panduan pelayanan klinik. Dokter tersebut juga harus bekerja sama dengan tim PGA Kelompok Staf Medis dan tim PGA Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Rumah Sakit.

        "Keterlibatan dari berbagai pihak multisektor, baik dari sektor medis, pasien, dan pemerintah akan meningkatkan pencegahan resistensi antibiotik yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu kesehatan masyarakat Indonesia," kata Prof dr Agus Suwandono  selaku koordinator Indonesia One Health University Network.

        Biaya kesehatan membengkak

        Implikasi dari resistensi antimikroba adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan. Menurut penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies, rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebesar 10.400 dolar AS atau sekitar Rp 149 juta.

        Baca Juga: Diklaim Sehat, Ternyata Oh Ternyata Makanan Ini Berisiko Hadirkan Masalah Kesehatan, Diabetes?

        Nilainya bertambah sebanyak 6.000 dolar AS (Rp 86 juta) bagi pasien yang resistan antibiotik. Penambahan biaya kesehatan itu berasal dari biaya perawatan, diagnosis, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.

        Menurut data dari pengeluaran Unit Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, penggunaan meropenem satu gram pada November 2019 mulai mengalami penurunan setelah diluncurkannya Penatagunaan Antimikroba sebulan sebelumnya. Selain itu, bakteri resistan terhadap karbapenem yang sebelumnya berada di angka 17.19 persen pada Oktober 2019 turun menjadi 10.94 persen pada November dan kian merosot hingga 3.13 persen pada Desember. 

        Peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949. Obat antibiotik hanya boleh diresepkan oleh dokter, dokter gigi, dan dokter hewan.

        UU Obat Keras tersebut menyatakan, obat keras tidak digunakan untuk keperluan teknik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak. Selain itu, disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras wajib mencantumkan kalimat "harus dengan resep dokter" sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977.

        Mengapa antibiotik mudah didapat?

        Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa antibiotik adalah obat mujarab bagi segala penyakit. Di sisi lain, tenaga kesehatan pun masih ada yang belum memahami peruntukan antibiotik.

        Mengutip survei Protecting Indonesia from the Threat of Antimicrobial Resistance yang terbit di jurnal BMJ Global Health, Prof dr Tri Wibawa PhD SpMK(K) mengatakan, terdapat tiga pola penerimaan antibiotik oleh masyarakat. Pertama, antibiotik diberikan bahkan sebelum orang meminta ke toko obat atau apotek (17 persen), misalnya untuk sakit perut, diare, dan batuk pilek.

        "Jadi sebelum minta, sudah diberi terlebih dulu," kata Tri.

        Kategori kedua, konsumen yang meminta dan langsung diberikan oleh pihak penjual (48 persen). Terakhir, penjual menolak memberikan antibiotik karena tidak ada resep dokter (31 persen).

        "Tidak diberikan karena tidak bawa resep dokter," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada ini.

        Secara umum, antibiotik bisa didapatkan di apotek maupun toko obat. Mengapa toko obat mau memberikan antibiotik tanpa adanya resep dokter?

        Menurut Tri, hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain karena salah persepsi bahwa antibiotik bisa menyembuhkan segala penyakit. Lalu, penjual tidak punya kualifikasi memadai karena tidak semua toko obat memiliki apoteker.

        Baca Juga: Wah Jarang Diketahui Nih… Tanaman Mimba Ternyata Punya Manfaat untuk Masalah Diabetes

        Selain itu, adanya kompetisi pasar di mana penjual berpikir konsumen bisa mendapatkan antibiotik dari toko lainnya. Penelitian itu dilakukan pada apotek dan toko obat di daerah perkotaan dan pedesaan.

        Antibiotik yang paling banyak diberikan ialah lini pertama, seperti amoksisilin dan kotrimoksazol. Meski begitu, ada kekhawatiran bahwa antibiotik lini kedua, termasuk sefalosporin, juga diberikan tanpa resep.

        Prof Tri mengatakan, pendekatan multi aspek perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan resistensi antimikroba. Penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara mengendalikan peredaran antibotik di masyarakat.

        "Perlu juga mempertimbangkan faktor-faktor yang menjadi pendorong praktik penjualan antibotik tanpa resep, seperti motivasi untuk memaksimalkan keuntungan dari toko-toko obat, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lainnya," tutur Prof Tri.

        Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan resistensi antimikroba juga diperlukan. Masyarakat perlu menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.

        Baca Juga: Covid Oh Covid... Pria Wajib Waspada! Catat Nih… Covid-19 Berpengaruh pada Kualitas Sperma Anda!

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Bayu Muhardianto

        Bagikan Artikel: