Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Industri dan Kemenperin tolak wacana pelabelan PBA

        Industri dan Kemenperin tolak wacana pelabelan PBA Kredit Foto: Cahyo Prayogo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pengusaha dan Pemerintah mulai beraksi keras atas wacana yang digulirkan BPOM untuk membuat kebijakan pencantuma label free BPA. Selain tidak memiliki urgensi juga dinilai memberatkan industri yang tengah berjuang memulihkan kondisi bisnis. 

        Franky Welirang dari Indofood yang memproduksi AMDK galon dengan brand CLub ini meminta semua pihak, termasuk para pengusaha agar tidak menjadikan isu BPA untuk persiangan usaha. Dia juga menyarankan agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak menelan mentah-mentah semua isu yang beredar di masyarakat selama ini terkait BPA dalam kemasaan pangan itu. 

        “Sebaiknya (BPOM) pelajari dampak dari yang sudah ada dari produk-produk kemasan pangan yang ada bahan BPA-nya, apakah ada study yang sudah menyatakan dampak dari BPA dalam kemasan pangan itu atau itu hanya sekedar mendapatkan hasil study di luar negeri saja,” kata Franky, sapaan Franciscus Welirang menanggapi pernyataan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB Arzetti Bilbina yang mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan aturan tentang larangan penggunaan Bisphenol A (BPA) dalam pembuatan wadah plastik makanan. 

        Penolakan tegas juga disampaikan kemenperin selaku Kementerian yang mengampu pertumbuhan industri di Indonesia. Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar), Edy Sutopo, dengan tegas mengatakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak setuju dengan sertifikasi atau labelisasi BPA Free pada kemasan pangan. Menurutnya, sertifikasi BPA itu hanya akan menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia. 

        Substansi isunya sendiri menurutnya masih debatable, sebenarnya, yang diperlukan itu adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA dengan benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri.

        “Jadi, menurut kami sertifikasi BPA saat ini belum diperlukan. Sertifikasi BPA itu  hanya  akan menambah cost  atau mengurangi daya saing  Indonesia,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (11/11).

        Dia mengutarakan seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.  Misalnya, kata Edy, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan. 

        “Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya.  

        Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan pangan yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen. Seharusnya, kata Edy, BPOM  perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. 

        “Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” ucapnya.

        Lebih lanjut Franky menegaskan banyak negara yang masih menggunakan kemasan pangan berbahan BPA itu yang exist saat ini. Jadi, janganlah  membuat-buat isu BPA tersebut jadi isu karena persaingan. Karena, itu  akan merusak iklim investasi di Indonesia. 

        Karenanya, dia mengajak semua pihak untuk bisa berpikir secara wajar dan logik dalam menangani isu BPA ini. Kita seharinya berpikir secara wajar dan logis, tidak bertindak secara emosional dan mematikan ekonomi. Karena rangkaiannya panjang dan banyak tenaga kerja yang akan terdampak. 

        Perlu diketahui bahwa ambang batas migrasi BPA di Indonesia (0,6 bpj) masih sangat sesuai dengan mayoritas ambang batas negara-negara maju di dunia lainnya, seperti Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), RRC (0,6 bpj) dan USA (tidak ada batasan spesifik).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: