Baru 37 Tahun, Cucu Pendiri Lippo Group, Caroline Riady Sukses Pimpin 39 Rumah Sakit Siloam
Generasi ketiga Lippo Group, Caroline Riady, mengaku sempat gerogi saat diamanahkan untuk mengurus jaringan Rumah Sakit Siloam. Namun, berkat kerja kerasnya, rumah sakit tersebut kini berdiri tegak dan sukses besar.
Wanita berusia 37 tahun ini merupakan cucu dari Mochtar Riady yang merupakan pendiri Lippo Group. Kini, ia memimpin jaringan Rumah Sakit Siloam yang berjumlah 39 rumah sakit di seluruh Indonesia.
"Kaya cepat itu tabu di mata Pak Mochtar. Beliau mengatakan, gampang dapat, pasti akan gampang hilang juga. Kalau mau sesuatu, bangun, build. Selalu membangun," ujar Caroline dalam video YouTube bertajuk 'Cerita Generasi Ketiga Lippo: Deg-degan di Bisnis Rumah Sakit'.
Baca Juga: Bye-Bye Tekor! Siloam Hospital Milik Konglomerat Riady Berubah Nasib dari Buntung Jadi Untung!
Caroline mengaku, meski ia perempuan, ia tak pernah merasa tak bisa.
"Jadi, ya sama aja lah perempuan laki tetap aja bisa ya. Bahkan Siloam itu lebih banyak perempuannya daripada laki," ujarnya lagi.
Mulanya, Caroline mengaku tak memilih untuk terjun ke dunia kesehatan, namun ia lebih ingin untuk terjun ke dunia pendidikan. Karena itulah Caroline mengambil jurusan pendidikan di Amerika, setelah lulus ia mengajar beberapa tahun dan bergabung dengan Teachers College Universitas Pelita Harapan.
Kemudian suatu hari, Caroline menjadi pasien di Rumah Sakit Siloam. Namun, ia melihat banyak hal yang perlu diperbaiki dan banyak pelayanan yang perlu ditingkatkan. Akhirnya, Caroline pun bergabung pada tahun 2012. Seharusnya, ia hanya bergabung 8 bulan, tetapi karena melihat dokter dan perawat yang sangat menyayangi pasien dan kepuasan pasien akan rumah sakit Siloam sehingga membuat Caroline bertahan hingga saat ini hampir 10 tahun.
Caroline terinspirasi karena ia melihat Rumah Sakit Siloam memiliki dampak yang baik kepada pasien, keluarga pasien bahkan pada saat pasien pulang. Baginya, Siloam tak hanya memberikan 'penyembuhan' kepada pasien yang sakit, tetapi juga pemulihan, yang tak hanya pada fisik, tetapi juga perkataan yang keluar.
Caroline sadar betul bahwa Tuhan memberikan tubuh yang sempurna kepada manusia, mulai dari fisik, rohani dan mental. Namun, karena dunia yang kita tinggali juga berdosa, maka dari itu timbullah penyakit dan stress yang membuat orang-orang cemas, marah dan takut. Dari situlah Caroline ingin memberikan pelayanan pemulihan kepada seluruh pasien dan keluarga pasien di Siloam.
"Orang memikirkan terapi itu obat yang diberikan, atau operasi yang dijlankan, tetapi ternyata tidak. Tapi perkataan yang keluar dari perawat itu terapi, makanna yang diberikan adalah terapi, karena untuk pasien makanan juga kan obat sebenarnya, layout gedung, flow, dan lighting yang membawa suasana teduh juga menjadi bagian dari terapi," tukas Caroline.
"Maka dari itu dari A sampai Z, dari datang sampai pasien pulang, itu menjadi terapi pemulihannya," lanjut Caroline.
Karena itulah, Siloam memiliki pelatihan staf dan nakes agar mereka yang sudah terjun di lapangan sudah handal, memiliki kompetensi yang tepat, training yang tepat, bisa melakukan prosedur dengan baik. Tak ketinggalan dengan sarana dan prasarana yang dipelihara, IT support, kapabilitas IT yang mendukung, semua adalah pelayanan yang diupayakan oleh Siloam.
Meski demikian, Caroline mengakui bahwa bisnis rumah sakit membutuhkan modal awal yang besar karena kebutuhan akan peralatan medis yang mahal, terlebih alat juga memiliki jangka waktu sehingga dalam 10-12 tahun perlu diganti. Karena itu sangat diperlukan mengelola keuangan dengan baik agar mampu mempertahankan mutu yang terbaik. Itu sebabnya Caroline melakukan restrukturisasi dalam 5 tahun terakhir.
Di keluarganya, Caroline mengaku tumbuh dan tinggal bersama dengan Mochtar Riady. Ia belajar banyak tentang kesederhanaan. Bahkan semasa kecil, Caroline tidak tahu sebesar apa bisnis yang telah ditumbuhkan oleh Mochtar.
Saat Caroline beranjak dewasa, ia belajar kebijaksanaan dari Mochtar Riady yang selalu menyebut soal prinsip hidup. Mochtar Riady mengatakan jangan pernah takut susah. Karena, Mochtar mengingatkan kepada anak cucunya bahwa kekayaan tidak turun menurun kepada tiga generasi.
"Beliau mengatakan jangan lihat apa yang ada sekarang, lihat apa yang bisa kita lakukan untuk menolong orang lain. Bisnis yang tidak menolong orang lain, pasti hancur," ujar Caroline mengutip perkataan Mochtar Riady.
Caroline menceritakan bagaimana masa kecil Mochtar Riady yang dipenuhi dengan kematian keluarganya. Mulai dari kakek-neneknya, ibunya, adiknya hingga ayahnya, karena itulah Siloam hadir di berbagai kota hingga kota terpencil untuk dapat memberikan akses kesehatan terbaik untuk semua.
"Kami akan terus mengembangkan untuk ke daerah-daerah seperti ini," ujar Caroline.
Adapun tenaga kesehatannya telah dididik terlebih dahulu. Caroline mengungkapkan bahwa selain rumah sakit, ada pendidikan yang juga ia kerahkan melalui Teachers College UPH dan Fakultas Perawat UPH.
"Jadi di desa-desa itu ada sekolah dan klinik," ujar Caroline.
Para tenaga kesehatan dan pengajar yang dikirimkan ke Papua juga tidak dipaksa. Bahkan, mereka sendiri yang meminta. Bagi mereka, berada di sana adalah panggilan.
Setiap hari, Caroline bekerja penuh dengan semangat karena ia hanya ingin bekerja sama dengan timnya. Meski lelah, tetapi mereka saling menguatkan. Meski terkadang lelah karena 'buah' nya belum terlihat, tetapi begitu buahnya terlihat, Caroline melihat timnya semakin giat lagi.
Buah yang dimaksud Caroline pun bukan hanya soal finansial, tetapi juga ketika melihat pasien pulang dengan pulih dan bisa melanjutkan hidup dengan maksimal.
Keadaan pandemi Covid-19 merupakan tahun penuh tantangan bagi Caroline. Ketika banyak sektor bisnis bisa tutup, rumah sakit justru harus berjuang di tengan krisis ini. Terlebih saat itu APD minim, test and tracing yang juga minim, dan lain sebagainya. Caroline pun memutuskan untuk melindungi staf terlebih dahulu karena mereka lah garda terdepan.
Hingga suatu hari cashflow yang dimiliki Siloam hanya tinggal 21 hari. Namun, tidak ada pasien yang datang berobat, dengan cashflow yang tinggal 21 hari, mereka masih harus membeli APD yang harganya mahal dan harus memasang negative pressure di ruangan-ruangan, membangun gedung baru untuk Covid, hingga membeli ventilator.
"Justru pada saat keuangan kita macet kita harus melakukan investasi. Makanya, pada saat itu kita putuskan kita all out mendukung pemerintah, apa yang pemerintah butuhkan kita akan dukung," tandas Caroline. "Ini yang akan kita lakukan, dan sampai hari ini saya tidak sesali keputusan itu," lanjut Caroline.
Adapun Caroline memperkirakan investasi tersebut berjumlah ratusan miliar.
"Secara cashflow kita masih bisa jaga cashflow, cuma makin lama memang makin tipis. Apakah negatif? Sudah jelas negatif. Tapi kita bisa menjaga, dan mendapat bantuan dari beberapa bank yang sangat suportif," ujar Caroline.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: