Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menangani Konflik saat Integrasi Pascamerger

        Menangani Konflik saat Integrasi Pascamerger Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Merger, akuisisi, dan holdingisasi adalah istilah umum untuk menjelaskan mengenai konsolidasi perusahaan atau aset melalui berbagai jenis transaksi keuangan. Alasan melakukan merger, akuisisi, dan holdingisasi (M&A) adalah untuk membuat pertumbuhan anorganik dalam menciptakan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan membangun sendiri dari tahun ke tahun. Pertambahan nilai ini bukan hanya dari sisi keuangan, melainkan juga dapat dari sisi brand, image, keunggulan persaingan, keunggulan pasar, keunggulan produk, keunggulan inovasi, dan keunggulan R&D.

        Proses M&A dimulai dari keinginan manajemen dan pemegang saham untuk melakukan M&A dengan tujuan tertentu, diikuti dengan Due Diligence, penilaian, negosiasi, transaksi M&A, dan diikuti dengan Integrasi Pasca M&A. Banyak pelaku merger yang melupakan tahap Integrasi Pasca Merger sehingga tujuan merger yang diharapkan tidak tercapai.

        Baca Juga: Ciptakan Ekosistem Hotel Tangguh, Artotel Group Akuisisi Dafam Hotels Management

        Integrasi pasca merger (IPM) merupakan fase penting sekaligus paling kritis. Jika akuisisi baru berpotensi menciptakan value, integrasi menciptakan value yang sebenarnya. Integrasi pada hakikatnya menyatukan dua perusahaan menjadi satu "perusahaan baru" yang memiliki nilai lebih tinggi. IPM mensyaratkan orang-orang dari perusahaan yang merger untuk bekerja sama agar merger efektif dibutuhkan komitmen yang besar dari pengakuisisi maupun target.

        IPM perlu memilih tipe integrasi yang tepat, lingkup elemen yang diintegrasikan, mengikuti tahapan secara benar, dan memahami tantangan yang bisa terjadi. Integrasi adalah proses interaktif di mana orang-orang dari dua organisasi harus bekerja sama. Manajemen tertinggi perusahaan pengakuisisi terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada tim manajemen perusahaan target, menerapkan standar, peraturan, dan ekspektasi mereka. Sering kali perusahaan pengakuisisi lebih dominan, cenderung membuat keputusan sepihak, memaksakan budaya sendiri, dan tidak memberikan otonomi kepada manajemen perusahaan target. Akibatnya, perusahaan target merasa dikuasai hingga berakibat pada konflik.

        Konflik yang terjadi dalam proses manajemen rutin merupakan bagian yang umum dari kehidupan organisasi dan bila dapat diatasi dapat membuat organisasi makin bertumbuh. Akan tetapi, konflik yang timbul saat integrasi pascamerger merupakan titik kritis yang harus diantisipasi agar tujuan M&A dapat tercapai. Bila konflik tidak teratasi, perusahaan pascamerger akan memiliki risiko kehilangan SDM berbakat, terjadi ketidaksinkronan dalam operasional dan pemasaran yang akhirnya menurunkan kinerja keuangan perusahaan pascamerger.

        Contoh kegagalan M&A adalah Bank Mandiri dan Bank Danamon, dua raksasa perbankan hasil merger BPPN saat krisis moneter tahun 1999. Kedua bank tersebut tiba-tiba menjadi raksasa dari segi aset dan kualitas kredit. Namun, tahap Integrasi Pasca Merger tidak ditangani dengan baik dan sampai sekarang masih tersisa bekasnya di mana pejabatnya hanya mengutamakan kelompok dari bank tempat dia berasal. Padahal, generasi milenial di bawahnya sama sekali tidak mengenal bank lama tempat si pejabat itu berasal. Sebentar saja kinerja keuangan Bank Mandiri dan Bank Danamon berhasil dilewati oleh Bank BCA dan Bank BRI baik dari segi pasar maupun citra. Satu generasi harus dihabisi agar Bank Mandiri dan Bank Danamon dapat memiliki budaya kerja yang baru hanya karena ketidakpedulian menangani tahap Integrasi Pasca-Merger.

        Dari hasil pengamatan terhadap perilaku bisnis terkait integrasi pascamerger, akuisisi, dan holdingisai sedikitnya terdapat 5 konflik yang sering terjadi. Sebetulnya masih ada beberapa konflik lainnya, tetapi kurang signifikan dampaknya terhadap kinerja keuangan. Solusi yang dibahas dalam hal ini hanya bersifat usulan dan masih perlu penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasnya.

        Konflik pertama yang paling sering terjadi adalah kegagalan untuk memperbaiki fasilitas kerja yang kondusif. Perusahaan target berharap dengan adanya penggabungan usaha akan terjadi perubahan yang signifikan baik dari sisi fasilitas kerja, alat operasi, maupun kesejahteraan karyawan perusahaan target yang setidaknya menyamai kondisi yang ada di perusahaan peng-akuisisi. Namun ternyata, perusahaan peng-akuisisi tidak mengakomodasi harapan dari perusahaan target. 

        Tambahan alat operasi, tambahan fasilitas kerja, dan tambahan kesejahteraan karyawan perusahaan target yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja ternyata pupus yang mengakibatkan karyawan eks perusahaan target kehilangan motivasi kerja, bahkan kemungkinan keluar dari perusahaan. Bahkan, ada perusahaan peng-akuisisi yang membuat nol tahun masa kerja bagi eks karyawan perusahaan target, sementara yang bersangkutan sudah puluhan tahun bekerja. Hal ini berbahaya bagi perusahaan pasca-akuisisi apabila menimpa karyawan berpotensi (talented). Perusahaan pasca-akuisisi harus melakukan pembinaan lagi dari nol dan ini merupakan investasi mahal.

        Untuk mengatasi hal tersebut, Tim Integrasi Manajemen Office (IMO) harus melakukan inventarisasi kebutuhan alat operasi, perbaikan fasilitas kerja, dan pemerataan kesejahteraan karyawan. Tim IMO harus melakukan komunikasi intens terhadap seluruh karyawan dan menjamin bahwa perusahaan pasca-akuisisi akan menjadi perusahaan baru bagi seluruh insan perusahaan. Tim IMO harus melakukan koordinasi baik dengan unit fungsi maupun dengan unit operasional dalam mengatasi konflik tersebut. Koordinasi dan komunikasi merupakan kata kunci bagi tim IMO dalam integrasi pascamerger.

        Konflik berikutnya yang sering terjadi, tetapi disepelekan oleh perusahaan peng-akuisisi adalah penyerapan teknologi dari perusahaan target (kebalikannya dari transfer knowledge). Perusahaan target umumnya adalah perusahaan yang mapan, tetapi memiliki ketidakstabilan keuangan sehingga perlu diakuisisi. Dengan demikian, perusahaan target sebenarnya sudah memiliki standar operasi yang baku, yang mungkin lebih baik dan lebih efisien dari perusahaan peng-akuisisi.

        Bisa jadi juga, proses litbang yang ada di perusahaan target juga lebih baik dibandingkan perusahaan peng-akuisisi. Arogansi karyawan perusahaan peng-akuisisi menyebabkan mereka tidak memedulikan standar operasi yang sudah berjalan di perusahaan target dan memaksakan standar operasi dari perusahaan peng-akuisisi. Akibatnya, karyawan eks perusahaan target menjadi frustasi.

        Baca Juga: Usai Merger, PPI Tancap Gas Menuju Integrasi Trading logistic Terdigitalisasi

        Tim IMO harus peka terhadap hal ini. Survei pendahuluan yang dilakukan tim IMO dapat menjaring permasalahan tersebut sehingga tim IMO dapat melakukan koordinasi dan komunikasi dengan unit operasional dan unit fungsi terkait. Tugas tim IMO BUKAN UNTUK MENDEFINISIKAN PROSES PRODUKSI BARU, melainkan hanya memonitor bahwa seluruh aspirasi baik dari perusahaan peng-akuisisi maupun perusahaan target telah diakomodasi dengan baik dan telah didiskusikan untuk mencapai kesepakatan mengenai proses produksi baru.

        Konflik ketiga dalam Integrasi Pasca-Merger adalah dampak negatif dari perbedaan budaya yang signifikan. Orang Medan jelas berbeda dengan orang Makassar meski sama-sama memiliki suara yang keras saat berbicara. Tata krama orang Medan yang terstruktur tentu akan berbenturan dengan orang Makassar yang lebih santai dan cenderung bersikap se-enaknya saja. Bila dibiarkan, hal ini dapat membuat frustasi kedua pihak, baik bagi karyawan perusahaan perng-akuisisi maupun perusahaan target.

        Tugas tim IMO paling berat adalah dalam penyelarasan budaya perusahaan. Tim IMO harus sering melakukan komunikasi dengan semua pihak untuk menggali nilai-nilai baru perusahaan pascamerger dan menyelaraskannya dengan kepentingan semua pihak. Dari nilai-nilai baru perusahaan kemudian disusun budaya perusahaan yang baru yang sesuai dengan kondisi perusahaan pascamerger. Tim IMO juga harus mengakomodasi dampak perubahan yang terjadi sehingga semua pihak mau menerima budaya perusahaan baru yang diusulkan oleh Tim IMO. Dalam hal inilah peran konsultan independen yang dapat melihat dari luar kondisi yang terjadi di dalam perusahaan sehingga dapat membantu tim IMO dalam menyusun budaya perusahaan yang baru dan menekan dampak perubahan yang ditimbulkan saat penerapannya.

        Konflik keempat yang cukup penting dalam integrasi pascamerger adalah reaksi emosi dari perusahaan target terhadap perubahan kepemimpinan dan sikap penerimaan terhadap orang dari luar daerah. Arogansi dari perusahaan peng-akuisisi yang menyepelekan perusahaan target dapat menimbulkan konflik saat melakukan restrukturisasi organisasi. Pemaksaan untuk menempatkan karyawan eks perusahaan peng-akuisisi untuk menjadi pimpinan lokal di perusahaan target dapat menimbulkan dampak negatif bagi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Misalnya, mengangkat manajer bercelana cungkring dan berjidat hitam menjadi kepala cabang di Manado ataupun Sorong.

        Tugas tim IMO adalah melakukan koordinasi dan komunikasi dengan unit fungsi maupun unit operasional untuk menjamin bahwa restrukturisasi organisasi yang dilakukan bertujuan untuk membuat perusahaan pascamerger lebih baik sehingga tujuan merger dapat tercapai. Tim IMO harus menjamin bahwa pelaksanaan restrukturisasi organisasi telah dilakukan secara fair dan mempertimbangkan seluruh aspek yang diperlukan bagi kemaslahatan hidup orang banyak.

        Konflik terakhir yang juga sering terjadi saat integrasi pascamerger adalah perbedaan sikap politik dan kepentingan dari pemerintah/pemerintah daerah. Untuk skala internasional, perbedaan politik tersebut memerlukan kajian terpisah. Untuk skala nasional, Aceh, Jogja, Bali, Papua, dan Papua Barat adalah lima provinsi yang perlu ditangani secara hati-hati. Perbedaan sikap politik dan kepentingan dari pemerintah daerah perlu diakomodasi untuk kepentingan perusahaan khususnya untuk bidang industri tertentu misalnya pelabuhan.

        Pelabuhan sebagai pintu gerbang masuk ke dalam provinsi menjadikannya sebagai objek vital di mana banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya termasuk pemerintah daerah. Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur bahwa Izin Usaha Bongkar Muat Pelabuhan harus mendapat izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II seolah diabaikan begitu saja oleh Pelindo pascamerger. Hal ini membuat sakit hati banyak pihak di daerah dan dapat menjadi ganjalan bagi kepentingan perusahaan secara luas dan berdampak bagi kinerja keuangan perusahaan. Dalam hal ini, Pertamina lebih bijak dengan menggandeng Pemerintah Daerah untuk mengelola tambang di wilayahnya.

        Tugas tim IMO adalah melakukan koordinasi dan komunikasi dengan para pemangku kepentingan untuk menyelaraskan kepentingan semua pihak sehingga dapat diakomodasikan dalam perusahaan pascamerger. Tim IMO juga harus memonitor setiap perubahan operasional yang terjadi yang berdampak pada kepentingan Pemerintah Daerah dan mengingatkan kepada unit operasiona untuk bersikap bijak terhadap Pemerintah Daerah.

        Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa peran dan tugas Tim IMO amat penting dalam mengelola Integrasi Pasca-Merger agar tujuan merger dapat tercapai. Pemilihan anggota tim IMO yang baik dan andal merupakan syarat awal dalam menunjang keberhasilan merger dan akuisisi. Sedapat mungkin anggota tim IMO harus berasal dari tim Due Diligence yang memahami tujuan dilaksanakannya merger dan akuisisi. Peran konsultan independen menjadi penting dalam melihat kondisi perusahaan dari luar dan menuntun tim IMO agar dapat berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: