Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Soal Label BPA, Industri AMDK Disemprit: Jangan Kaya Kacang Lupa Kulit

        Soal Label BPA, Industri AMDK Disemprit: Jangan Kaya Kacang Lupa Kulit Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Rencana pelabelan risiko bisfenol-A (BPA) sebagai bahan campuran kimia yang penguat galon justru memperkuat industri dan kepercayaan masyarakat pada keamanan produk air minum dalam kemasan (AMDK). 

        "Keresahan industri AMDK atas rencana Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mudah dimengerti mengingat dominasi pasar dan fakta umumnya galon berbahan polikarbonat, jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA," kata Public Compaigner FMCG Insights Achmad Haris, Senin (13/12/2021). 

        FMCG Insights merupakan sebuah lembaga riset produk konsumen berbasis Jakarta. Seperti diketahui sejumlah asosiasi AMDK memprotes rencana BPOM melabeli galon dengan BPA Free. 

        Alasannya masyarakat dianggap bakal menjauhi galon guna ulang karena alasan kesehatan. 

        Baca Juga: Kurangi Sampah Plastik, Perusahaan Ini Hadir Atasi Sampah Plastik

        Dalam berbagai kesempatan, Ketua Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat menyebutnya sebagai vonis mati bagi pengusaha depot AMDK. 

        Ia pun memetic pernyataan Kementerian Informasi yang menyebut sebagai informasi menyesatkan atau hoaks terhadap pemberitaan BPA Free pada kemasan air minum. 

        Sama halnya dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perekonomian belakangan menganggap BPOM terburu-buru menggelindingkan wacana yang bisa menggangu pertumbuhan ekonomi. 

        Baca Juga: Di Masa Pandemi, Permintaan Plastik Shrink Film Tinggi

        Soal itu, Achmad menduga publik sebaliknya beranggapan sebaliknya. Justru risi dengan semua kekakuan industri AMDK. 

        "Industri AMDK jangan seperti kacang lupa pada kulit, seolah-olah bisa menihilkan peran BPOM hanya karena sebuah perkara yang kebetulan tak sesuai dengan selera,” ujarnya.

        Kepercayaan masyarakat atas produk AMDK tak lepas dari peran aktif BPOM. 

        Kementerian Perindustrian mencatat terdapat 900 perusahaan AMDK mencakup 900 perusahaan dengan pekerja sekitar 40.000 orang.  Pada 2020, penjualan AMDK mencapai 29 miliar liter, melejit dari 25 miliar liter pada 2015. 

        Sekitar 70 persen dari penjualan itu berupa kemasan galon guna ulang. 

        Achmad menyatakan, isu BPA Free sudah menjadi isu lama sejak tahun 90 an. 

        Pemicunya adalah berbagai penelitian yang menunjukkan BPA, dalam level tertentu, bisa memicu risiko kesehatan yang serius. 

        Inilah yang mengawali pengawasan rutin migrasi dan paparan BPA di sejumlah negara. Di Indonesia, BPOM pada 2019 menetapkan batas migrasi BPA maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) untuk kemasan polikarbonat. 

        "Hasil pengawasan BPOM selama lima tahun berturut-turut menunjukkan galon polikarbonat dan tutupnya aman," kata Achmad. 

        “Pernyataan resmi lembaga pada Januari 2021 yang menyebut migrasi BPA masih di level aman, yakni lebih kecil dari 0.01 bpj (10 mikrogram/kg),” imbuhnya. 

        Achmad menyatakan, pihak industry ADMK meyakinkan publik dengan data hasil uji BPOM itu. Tetapi mereka mendadak Ketika BPOM akan menerapkan ketentuan risiko BPA pada label kemasan. 

        Mayoritas galon guna ulang di pasaran berbahan plastik polikarbonat  mudah dikenali dari kode daur ulang 7 di dasar galon. Hanya sebagian kecil galon air minum yang menggunakan Polietilen Tereftalat (PET), jenis plastik bebas BPA dengan kode daur ulang 1. 

        Pihak FMCG Insights mendukung penyelarasan kebijakan pelabelan kemasan AMDK agar publik mendapat informasi akurat. Dalam rancangan BPOM, produsen diizinkan memasang label Bebas BPA untuk produk AMDK dengan kemasan plastik selain Polikarbonat, termasuk Polipropilena (PP) atau PET.

        Sementara label peringatan “Mengandung BPA” diwajibkan untuk galon polikarbonat, kecuali produsen mampu membuktikan sebaliknya. 

        "Redaksi pelabelan itu sudah cukup bersahabat untuk industri AMDK," kata Achmad. 

        Ia membandingkan dengan negara bagian California, Amerika Serikat, yang pada 2015 memasukkan BPA dalam daftar 65 senyawa kimia pemicu kanker dan kerusakan organ reproduksi wanita dan mewajibkan produsen mencantumkan label peringatan pada semua kemasan pangan berbahan polikarbonat. 

        Di Amerika, tercatat 10 negara bagian mengadopsi kebijakan pelabelan BPA meski US Food and Drug Administration, semacam BPOM di Indonesia, pada 2008 menetapkan produk yang mengandung BPA aman digunakan.

        Pilihan pelabelan itu mengacu pada sejumlah penelitian mutakhir terkait efek BPA pada janin, anak dan ibu hamil.

        Sementara itu, Peneliti Balai Teknologi Polimer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Chandra Liza menyatakan, pelabelan BPA dirasa penting dalam perlindungan Kesehatan pada public. 

        "Bila BPOM sampai jadi merevisi ambang batas migrasi BPA, (tentunya) akan sangat positif," katanya. 

        Ia mengharapkan publikasi luas rencana pelabelan, termasuk kajian dampak kebijakan pada industri AMDK. Kendati, dia bilang policy BPOM sejatinya sudah sejalan dengan ketentuan internasional. 

        “Sebenarnya negara kita sangat peduli dan mengikuti perkembangan BPA," katanya menyebut batas migrasi BPA yang diadopsi Indonesia sama dengan di Korea Selatan dan China.

        Di sisi lain, Chandra mengakui jika saat ini bilang belum ada bahan campuran plastik yang seefektif BPA. Kalaupun ada pengganti dari bahan sejenis, dia tidak yakin kemampuannya bisa menyamai karakteristik akhir plastik berbahan BPA yang mudah dibentuk, tahan panas, dan awet. 

        “Sebagai peneliti polimer, saya masih percaya penggunaan BPA belum bisa tergantikan,” katanya. 

        Sementara itu, peneliti dari Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia, Agustino Zulys, berpendapat label kemasan AMDK belum memuat informasi spesifik terkait risiko penggunaan kemasan plastik. 

        Dia mencontohkan galon guna ulang belum menyertakan informasi usia pakai atau batas kadaluwarsa. 

        "Padahal informasi itu sangat penting dan semestinya itu tertera jelas," katanya menyebut perlunya pula ada pengawasan untuk mencegah galon kadaluwarsa beredar di pasaran.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: