Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Catat Baik-Baik! Yang Naik Harga Elpiji Non Subsidi, Masyarakat Pengguna Gas Melon Jangan Panik

        Catat Baik-Baik! Yang Naik Harga Elpiji Non Subsidi, Masyarakat Pengguna Gas Melon Jangan Panik Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean, turut merespons kenaikan harga jual gas Elpiji Non Subsidi oleh Pertamina pada 25 Desember 2021 kemarin.

        Menurutnya, keputusan tersebut akan memicu perdebatan publik atau protes dari sebagaian orang. Bahkan, menciptakan kegaduhan opini menyerang pemerintah. 

        "Tapi yang perlu diketahui adalah, kebijakan ini sama sekali tidak mengganggu hak subsidi kalangan tidak mampu atau masyarakat bawah yang selama ini menggunakan elpiji 3 Kg atau yang suka disebut dengan istilah Gas Melon." katanya, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/12/2021).

        Lanjutnya, ia mengatakan kenaikan harga elpiji Non Subsidi ini hanya untuk elpiji jenis tertentu yang selama ini digunakan oleh kalangan mampu. 

        Baca Juga: Harga Elpiji Nonsubsidi Naik Lagi, Tokoh Papua Kasih Kalimat Menohok, Sampai Bawa-Bawa Ahok

        "Sehingga masyarakat tak perlu memperdebatlan kenaikan ini, bahkan kebijakan kenaikan harga ini sudah tepat supaya kalangan mampu tidak menikmati harga elpiji dibawah harga keekonomian. Dan ini bentuk Keadilan Sosial ditengah masyarakat karena keuntungan yang didapat Pertamina dari kalangan mampu akan digunakan untuk mensubsidi masyarakat bawah." tambahnya.

        Lebih lanjut, ia mengatakan segala kemungkinan tentu saja bisa terjadi dibawah. Misalnya kontroversi atau protes dari pihak-pihak tertentu apalagi kalau ada yang memprovokasi masyarakat dengan informasi hoax atau informasi bohong. 

        "Kami berharap agar Pertamina intens memberikan penjelasan ke publik soal ini, supaya tidak ada masyarakat yang salah pengertian, salah memahami dan akhirnya terjadi kepanikan. Masyarakat harus dijelaskan bahwa yang naik ini harga elpiji non subsidi bagi kalangan mampu bukan elpiji 3 Kg yang biasa disebut Gas Melon," pungkasnya.

        Sebelumnya Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, langkah menaikkan harga LPG sebagai langkah tepat. Namun, mengantisipasi adanya migrasi dari LPG nonsubsidi ke LPG subsidi, ia menyoroti ketersediaan di masyarakat.

        Ia mengamini akan terjadi peralihan penggunaan LPG 12 kg dan 5,5 kg ke LPG subsidi 3kg. Namun porsi pergeserannya tidak akan signifikan.

        “Tapi yang perlu dipastikan jangan sampai pasokan LPG subsidi ini timpang antar wilayah, ini akan pengaruhi daya beli masyarakat. Kalau pasokan ini terganggu, nanti terpaksa harus beli LPG nonsubsidi. Kuncinya, kalau masalah di lapangan jaminan LPG subsidi ini harus proporsional antar wilayah,” katanya.

        Ia menilai, langkah Pertamina menaikkan harga LPG nonsubsidi ini sebagai langkah bisnis biasa. Pasalnya penentuan harga LPG non subsidi mengacu pada biaya pokok produksi (BPP).

        “Artinya tentu Pertamina Patra Niaga berhak melakukan penyesuaian, LPG nonsubsidi ini porsinya kecil, ini masyarakat masih terbantu dengan LPG subsidi,” ujarnya.

        Perubahan harga ini menurunya tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi sosial masyarakat karena masih ada LPG bersubsidi. “yang realitanya (LPG Subsidi) dipakai oleh masyarakat mampu, itu yang menunjukkan kenaikan harga LPG nonsubsidi tak berpengaruh besar,” tukasnya..

        Lebih lanjut, Abra menilai hal ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk peralihan ke energi yang lebih bersih. Misalnya disamping penggunaan kompor gas, masyarakat yang mampu akan melirik kompor listrik atau induksi.

        “Yang paling penting disamping harga komoditas ini yang naik adalah segera dilakukan reformasi subsidi energi. LPG 3kg ini masih mekanismenya (subsidi) terbuka, saya pikir ini momentum subsidi harus lebih terarah,” paparnya.

        “Jadi momentum transisi energi juga, masyarakat non konsumen (subsidi) dia kan ketika menghadapi harga ini akan mulai beralih, yang penting juga pemerintah mesti menyediakan alternatif, mereka disodorkan energi lain,” tambahnya.

        Misalnya, dalam hal ini adalah kompor listrik atau kompor induksi yang digadang-gadang pemerintah memiliki biaya yang lebih murah.

        “Alternatif energi, pemerintah punya mimpi untuk proyek gasifikasi batubara, proyek DME (Dimethyl Ether) saat ini dapat momentum untuk dipercepat, ini jadi semakin luas,” katanya.

        Dengan demikian, ia menuturkan ada tiga hal yang bisa jadi alternatif yakni, DME, Jaringan Pipa Gas (Jargas) dan kompor tenaga listrik atau induksi.

        “Saya pikir kenaikan harga LPG ini harus jadi momentum shifting perilaku masyarakat. Ujungnya bisa lepas dari impor LPG. Diketahui, Konsumsi LPG kita naik, tahun lalu aja, konsumsi 8,8 juta ton, dan tahun sebelumnya 7,7 juta ton,” terangnya.

        “bahkan di 2024 diprediksi naik ke 11,9 juta ton, kalau pemerintah tak siapkan alternatif LPG ini, lama-lama kita akan bergantung dengan LPG. Apalagi harga yang meroket pasti akan bergantung ke impor,” tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: